Urgensi Vaksin Tangkal Virus Hoaks

Senin, 23 Maret 2020 - 08:05 WIB
Urgensi “Vaksin”...
Urgensi Vaksin Tangkal Virus Hoaks
A A A
Wiendy Hapsari
(Head Of Research & Development SINDO Media)

Penyebaran virus corona (Covid-19) yang semakin masif menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Ironisnya, dalam situasi tersebut, masyarakat masih harus terpapar dengan ribuan pesan hoaks yang membuat tingkat kecemasan semakin tinggi.

Informasi yang tersebar dalam berbagai bentuk, seperti teks, video, foto, gambar hingga meme didominasi pesan-pesan yang tidak sesuai fakta, berisi kebohongan, manipulatif, dan bahkan bersifat provokatif. Pesan-pesan tersebut tersebar dengan mudahnya di media sosial dan bisa dikonsumsi dengan sama mudahnya oleh semua lapisan masyarakat.

Laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan, pada awal Maret 2020 jumlah hoaks mengenai virus corona yang beredar di Indonesia mencapai angka 177 kasus. Dari jumlah tersebut, mayoritas pesan hoaks yang ditemukan adalah disinformasi. “Ada yang mengaitkan ke mistik, bahkan ada juga yang ke iluminasi,” ujar Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan seperti dikutip Sindonews.com.

Pada perkembangannya, per 20 Maret 2020, data Kominfo menunjukkan peningkatan jumlah laporan hoaks yang mencapai angka 286 kasus. Banyaknya konten menyesatkan yang “menggempur” masyarakat secara simultan tak pelak menimbulkan dampak luar biasa bagi publik. Hoaks tak ubahnya seperti virus yang masuk ke tubuh khalayak dan kemudian menimbulkan dampak negatif secara menyeluruh, tak hanya pada aspek kognitif dan afektif, tetapi juga perilaku khalayak. Contoh beberapa hoaks yang sempat membuat gempar adalah saat beredarnya kumpulan video yang di dalamnya memuat tayangan sejumlah orang terkapar di tempat umum, seperti mal dan stasiun kereta. (Baca: Marak Hoaks, Publik Diminta Bijak Sharing Informasi Soal Corona)

Disebut-sebut, orang-orang itu meninggal karena virus korona. Selain itu, disebutkan pula bahwa tayangan video tersebut berlokasi di Indonesia. Faktanya, pada satu video, lokasi kejadian bukanlah di Indonesia, melainkan di negara Asia lainnya. Sementara pada video lain dengan lokasi di stasiun kereta, PT KAI sudah mengklarifikasi bahwa orang yang terlihat di video hanya terkena gangguan kesehatan ringan, bukan orang terjangkit virus korona. Sebelum adanya klarifikasi dari pihak-pihak terkait, publik sempat dibuat khawatir dengan beredarnya video tersebut yang bahkan bisa memengaruhi aktivitas sosial mereka sehari-hari.

Hal ini menunjukkan betapa dahsyat dampak yang ditimbulkan. Hoaks tidak semata-mata mampu memengaruhi individu dalam tiga aspek personalnya (kognitif, afektif, perilaku), tapi juga mampu mengundang friksi antarindividu dan kelompok yang bisa berujung pada terjadinya konflik horizontal. Kondisi ini merupakan bahaya laten yang bisa mengancam stabilitas nasional. Terlebih dalam kondisi genting seperti saat ini di mana semua orang bisa menjadi sangat sensitif sehingga mudah tersulut oleh info tertentu yang bahkan tidak masuk akal sekalipun. Jika melihat fenomena hoaks yang berkembang saat ini, faktanya peningkatan jumlah hoaks juga diimbangi dengan peningkatan “kemasan” dari hoaks yang beredar.

Banyak konten yang tersebar seolah sudah dirancang dan diolah secara sistematis serta terpola dan bahkan sudah memanfaatkan saluran komunikasi yang komprehensif dan terorganisasi. Tak hanya “dimainkan” di media sosial, hoaks juga tersebar sangat masif melalui saluran komunikasi lain, seperti SMS, email, hingga grup beberapa aplikasi chat. Konten yang beredar juga digarap serius dengan memanfaatkan berbagai celah yang ada. Hal ini seolah menunjukkan bahwa kejahatan komunikasi ini dijalankan pelaku secara fokus, rapi, dan terencana.

Dalam perspektif kriminologi, pola kejahatan semacam ini menjadi salah satu ciri dari organized crime, yaitu bentuk kejahatan di mana para pelaku melakukan tindakan kejahatannya dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen, seperti adanya perencanaan, koordinasi, pengarahan, dan pengawasan yang dikendalikan oleh kelompok mereka (Darmawan, 2007). Sifatnya yang terorganisasi membuka kemungkinan bahwa kejahatan ini dilakukan lebih dari satu orang atau secara berkelompok dan dengan memanfaatkan momen-momen krusial.

Sebagaimana dikutip dari situs UNODC, kejahatan terorganisasi diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu. Para pelaku tersebut bertindak bersama dengan tujuan memperoleh secara langsung atau tidak langsung manfaat finansial, material lainnya atau nonmaterial. Dalam kasus hoaks terkait virus korona misalnya, penyebaran hoaks memiliki misi untuk mengacaukan situasi di Tanah Air agar masyarakat resah. Di tengah situasi demikian, pelaku kemudian mengambil manfaat yang bisa menguntungkan diri serta kelompoknya. (Baca juga: Video Hoaks Penumpang KRL Terpapar Corona, Begini Faktanya)

Perlindungan Bagi Masyarakat

Kejahatan yang terorganisasi harus disikapi dengan upaya yang juga terorganisasi. Terlebih, hoaks telah memakan korban sangat banyak dan cakupannya tak hanya pada level individu serta kelompok, namun juga bangsa dan negara. Oleh karenanya, perlindungan masyarakat dari bahaya hoaks menjadi langkah yang perlu diperhatikan.

Ancel (1954) seorang kriminolog asal Prancis membeberkan pentingnya pengamanan masyarakat (social defense) dari ancaman kejahatan. Menurutnya, pengamanan masyarakat harus diwujudkan dengan penindakan secara mantap dan sungguh-sungguh terhadap tindak kejahatan tersebut. Dari pengertian itu, tersirat suatu makna bahwa ada kebutuhan utama terselenggaranya keamanan masyarakat yang terwujud dalam pentingnya penindakan yang tegas terhadap para pelanggar hukum melalui pemberian hukuman pidana (Darmawan, 2007).

Terkait dengan hukum pidana, Indonesia sendiri sudah memiliki payung hukum yang mengatur masalah hoaks. Para penyebar bisa diancam salah satunya dengan Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19/2016. Dalam UU tersebut, pada Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 dinyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar”.

Hukuman yang sama juga diterapkan bagi orang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA (Pasal 45A ayat 2). Sayangnya, meski hukuman yang tercantum dalam UU tampak berat, nyatanya ancaman pidana ini belum ampuh menghadang penyebaran hoaks. Bahkan, gelombang aksi penyebar hoaks justru semakin merajalela.

Kondisi ini mengisyaratkan perlunya semua pihak untuk bersatu membuat langkah penanganan yang terorganisasi dengan melibatkan semua elemen, baik dari pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, akademisi, dan seluruh masyarakat. Di tengah situasi seperti sekarang ini, maka seluruh komponen tersebut perlu bergerak bersama menciptakan “vaksin” antihoaks. Salah satunya melalui program kampanye stop hoaks yang sekaligus bisa menjadi sarana edukasi kepada masyarakat.

Masyarakat umum merupakan target utama dari program ini mengingat publik bisa berposisi ganda dalam fenomena ini. Di satu sisi masyarakat bisa menjadi pihak yang rentan menjadi korban hoaks, sedangkan di sisi lain bisa terseret menjadi pelaku hoaks jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup mengenai hoaks dan bahayanya.

Program edukasi tentu harus dikawal dengan kontrol dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Pengawasan yang ketat terhadap penyebaran hoaks bisa mempersempit ruang gerak peredaran hoaks. Ditambah dengan adanya sanksi tegas, adil, serta mampu menghasilkan efek jera (deterrence), yang sasarannya tak hanya ditujukan bagi pelaku, tapi juga masyarakat secara umum agar tidak terpancing untuk ikut memproduksi dan menyebarkan hoaks. Kolaborasi yang baik antara semua pihak tersebut dipastikan bisa menjadi vaksin ampuh untuk menghentikan laju peredaran virus hoaks di Tanah Air.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1328 seconds (0.1#10.140)