Kurang Tiga Bulan, Lima Warga Kota Bogor Meninggal Akibat DBD
A
A
A
BOGOR - Korban tewas akibat ganasnya serangan penyakit virus dengue yang dibawa nyamuk aides aegypti di Kota Bogor terus bertambah. Pasalnya, belum genap triwulan atau tiga bulan di tahun ini, korban meninggal akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD ) sudah mencapai lima orang.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor terhitung sejak awal Januari hingga 10 Maret tercatat sudah lima orang meninggal dunia akibat DBD. Ironis seluruh korban meninggal masih anak-anak. (Baca juga: Dua Warga Bogor Meninggal Akibat DBD, Waspadai Pancaroba)
"Pada periode Januari hingga 10 Maret kemarin, di Kota Bogor ada 130 kasus, dengan jumlah kematian sudah lima orang. Sebelumnya ada empat, nambah satu hari ini," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno, Jumat (13/3/2020).
Wanita yang ditunjuk Wali Kota Bogor sebagai Juru Bicara dalam penanganan kasus wabah virus Corona atau COVID-19 ini menjelaskan korban terakhir merupakan bocah berusia lima tahun asal Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor.
"Korban meninggal dunia di RS PMI Kota Bogor. Secara keseluruhan, rata-rata korban sudah dalam kondisi Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kondisi itu penderita DBD mengalami drop kritis itu hari ke empat ke lima mereka akan drop, kurang asupan cairan kondisi terus menurun dan dia akan masuk dalam tahap shock," ujarnya
Jika sudah dalam kondisi DSS, pada umumnya pasien akan sulit ditolong meskipun sudah mendapat perawatan hingga di ruang ICU atau PICU. "Karena itu, kita sudah koordinasi dengan rumah sakit untuk menekankan agar pasien yang datang dalam keadaan demam lebih dari dua hari agar dicek darah dan trombosit secara berkala. Supaya bisa diketahui dan bisa diantisipasi lebih awal," katanya.
Dia menjabarkan, untuk korban meninggal paling banyak terjadi di bulan Maret yang baru berjalan dua pekan. Sedangkan sebelumnya, pada Januari dan Februari masing-masingnya satu orang.
Distribusi kasus DBD ini tersebar di seluruh enam kecamatan yang ada di Kota Bogor. Pada Januari, Februari hingga 10 Maret sebanyak 130 kasus dan itu terbanyak di Kecamatan Tanah Sareal yakni 37 kasus, disusul Bogor Barat sebanyak 33 kasus, Bogor Selatan 26 kasus, Bogor Utara tercatat 19 kasus, Bogor Tengah ada 9 kasus dan Bogor Timur sebanyak 6 kasus.
Jumlah tersebut kemungkinan bertambah karena pancaroba atau proses peralihan cuaca dari musim hujan ke kemarau di Kota Bogor masih dan sedang terjadi. Bahkan korban meninggal di periode yang sama tahun lalu Januari-Maret 2019, Pemkot mencatat ada 5 orang juga dari 170 kasus.
"Tapi sepanjang 2019 lalu, total kasus DBD yang dirawat disejumlah rumah sakit dan puskesmas fasilitas rawat inap sebanyak 621 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 10 orang. Sedangkan di tahun sebelumnya yakni 2018 jumlah kasus lebih banyak lagi yaitu 727 kasus, namun korban meninggal hanya lima orang," ungkapnya.
Dia mengingatkan kepada warga agar selalu waspada atas bahaya penyakit. Terlebih virus dengue yang setiap tahun mewabah ini jangan sampai tertutup dengan isu Virus Covid-19.
Bahkan dia menilai justru DBD lebih berbahaya dibandingkan virus Corona. Untuk itu pihaknya meminta masyarakat agar mengantisipasinya dengan giat menggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.
"Giat PSN ini sudah dilakukan di tingkat wilayah kecamatan, puskesmas dan bagian pemerintahan terbawah untuk memutus mata rantai agar tidak mewabah. Sebab, Kota Bogor sendiri hampir setiap tahun masuk daerah endemis DBD. Berkaca dari tahun 2019, ada dua wilayah yaitu Bogor Barat dan Bogor Selatan," ujarnya.
Terkait edukasi, Sri menerangkan DBD itu disebabkan virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dengan gejala awalnya panas dan demam yang hampir sama dengan penyakit lain.
"Memang jika hari pertama di cek laboratorium hasilnya masih normal. Tapi insfeksi DBD baru akan diketahui jika selama tiga hari suhu panas tubuh tidak juga turun. Maka kita sarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dengan melihat trombositnya karena itu yang paling bahaya," jelasnya.
Setelah itu, pada hari ke empat dan kelima sebagai masa kritis biasanya trombosit penderita akan drop disertai pendarahan yang tidak khas. "Bahkan tidak harus mimisan (keluar darah dari hidung), pendarahan bisa saja terjadi di dalam. Jika sudah kondisi seperti itu ditambah asupan cairan yang kurang akan menyebabkan DSS. Nah Umumnya orang tua membawa pasien DBD ke rumah sakit dalam keadaan DSS," katanya.
Ditempat terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus DBD Pemkot Bogor bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) serta stakeholders terus melakukan pemantauan, pengawasan dan edukasi kepada warga.
"Penanganan DBD di Kota Bogor tidak berbeda jauh dengan penanganan virus Convid-19. Bahkan, jika melihat data, korban meninggal akibat DBD terus bertambah sehingga perlu perhatian serius dan langkah antisipasinya harus terus ditingkatkan," ungkap Ade.
Terkait tindakan fogging atau pengasapan, ia menjelaskan tindakan tersebut hanya membunuh nyamuk dewasa tetapi tidak memutus rantai siklus hidup nyamuk dengan kata lain jentik nyamuk tidak akan mati. "Lebih baik memberantas jentik-jentiknya karena itu sumber penularannya. Fogging tidak ubahnya semprotan anti nyamuk pada umumnya. Gerakan PSN dan kebersihan lingkungan lebih efektif dibanding mengandalkan fogging," katanya.Kurang Tiga Bulan, Lima Warga Kota Bogor Meninggal Akibat DBD
Korban tewas akibat ganasnya serangan penyakit virus dengue yang dibawa nyamuk aides aegypti di Kota Bogor terus bertambah. Pasalnya, belum genap triwulan atau tiga bulan di tahun ini, korban meninggal akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sudah mencapai lima orang.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor terhitung sejak awal Januari hingga 10 Maret tercatat sudah lima orang meninggal dunia akibat DBD. Ironis seluruh korban meninggal masih anak-anak.
"Pada periode Januari hingga 10 Maret kemarin, di Kota Bogor ada 130 kasus, dengan jumlah kematian sudah lima orang. Sebelumnya ada empat, nambah satu hari ini," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno, Jumat (13/3/2020).
Wanita yang ditunjuk Wali Kota Bogor sebagai Juru Bicara dalam penanganan kasus wabah virus Corona atau COVID-19 ini menjelaskan korban terakhir merupakan bocah berusia lima tahun asal Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor.
"Korban meninggal dunia di RS PMI Kota Bogor. Secara keseluruhan, rata-rata korban sudah dalam kondisi Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kondisi itu penderita DBD mengalami drop kritis itu hari ke empat ke lima mereka akan drop, kurang asupan cairan kondisi terus menurun dan dia akan masuk dalam tahap shock," ujarnya
Jika sudah dalam kondisi DSS, pada umumnya pasien akan sulit ditolong meskipun sudah mendapat perawatan hingga di ruang ICU atau PICU. "Karena itu, kita sudah koordinasi dengan rumah sakit untuk menekankan agar pasien yang datang dalam keadaan demam lebih dari dua hari agar dicek darah dan trombosit secara berkala. Supaya bisa diketahui dan bisa diantisipasi lebih awal," katanya.
Dia menjabarkan, untuk korban meninggal paling banyak terjadi di bulan Maret yang baru berjalan dua pekan. Sedangkan sebelumnya, pada Januari dan Februari masing-masingnya satu orang.
Distribusi kasus DBD ini tersebar di seluruh enam kecamatan yang ada di Kota Bogor. Pada Januari, Februari hingga 10 Maret sebanyak 130 kasus dan itu terbanyak di Kecamatan Tanah Sareal yakni 37 kasus, disusul Bogor Barat sebanyak 33 kasus, Bogor Selatan 26 kasus, Bogor Utara tercatat 19 kasus, Bogor Tengah ada 9 kasus dan Bogor Timur sebanyak 6 kasus.
Jumlah tersebut kemungkinan bertambah karena pancaroba atau proses peralihan cuaca dari musim hujan ke kemarau di Kota Bogor masih dan sedang terjadi. Bahkan korban meninggal di periode yang sama tahun lalu Januari-Maret 2019, Pemkot mencatat ada 5 orang juga dari 170 kasus.
"Tapi sepanjang 2019 lalu, total kasus DBD yang dirawat disejumlah rumah sakit dan puskesmas fasilitas rawat inap sebanyak 621 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 10 orang. Sedangkan di tahun sebelumnya yakni 2018 jumlah kasus lebih banyak lagi yaitu 727 kasus, namun korban meninggal hanya lima orang," ungkapnya.
Dia mengingatkan kepada warga agar selalu waspada atas bahaya penyakit. Terlebih virus dengue yang setiap tahun mewabah ini jangan sampai tertutup dengan isu Virus Covid-19.
Bahkan dia menilai justru DBD lebih berbahaya dibandingkan virus Corona. Untuk itu pihaknya meminta masyarakat agar mengantisipasinya dengan giat menggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.
"Giat PSN ini sudah dilakukan di tingkat wilayah kecamatan, puskesmas dan bagian pemerintahan terbawah untuk memutus mata rantai agar tidak mewabah. Sebab, Kota Bogor sendiri hampir setiap tahun masuk daerah endemis DBD. Berkaca dari tahun 2019, ada dua wilayah yaitu Bogor Barat dan Bogor Selatan," ujarnya.
Terkait edukasi, Sri menerangkan DBD itu disebabkan virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dengan gejala awalnya panas dan demam yang hampir sama dengan penyakit lain.
"Memang jika hari pertama di cek laboratorium hasilnya masih normal. Tapi insfeksi DBD baru akan diketahui jika selama tiga hari suhu panas tubuh tidak juga turun. Maka kita sarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dengan melihat trombositnya karena itu yang paling bahaya," jelasnya.
Setelah itu, pada hari ke empat dan kelima sebagai masa kritis biasanya trombosit penderita akan drop disertai pendarahan yang tidak khas. "Bahkan tidak harus mimisan (keluar darah dari hidung), pendarahan bisa saja terjadi di dalam. Jika sudah kondisi seperti itu ditambah asupan cairan yang kurang akan menyebabkan DSS. Nah Umumnya orang tua membawa pasien DBD ke rumah sakit dalam keadaan DSS," katanya.
Ditempat terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus DBD Pemkot Bogor bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) serta stakeholders terus melakukan pemantauan, pengawasan dan edukasi kepada warga.
"Penanganan DBD di Kota Bogor tidak berbeda jauh dengan penanganan virus Convid-19. Bahkan, jika melihat data, korban meninggal akibat DBD terus bertambah sehingga perlu perhatian serius dan langkah antisipasinya harus terus ditingkatkan," ungkap Ade.
Terkait tindakan fogging atau pengasapan, ia menjelaskan tindakan tersebut hanya membunuh nyamuk dewasa tetapi tidak memutus rantai siklus hidup nyamuk dengan kata lain jentik nyamuk tidak akan mati.
"Lebih baik memberantas jentik-jentiknya karena itu sumber penularannya. Fogging tidak ubahnya semprotan anti nyamuk pada umumnya. Gerakan PSN dan kebersihan lingkungan lebih efektif dibanding mengandalkan fogging," katanya. haryudi
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor terhitung sejak awal Januari hingga 10 Maret tercatat sudah lima orang meninggal dunia akibat DBD. Ironis seluruh korban meninggal masih anak-anak. (Baca juga: Dua Warga Bogor Meninggal Akibat DBD, Waspadai Pancaroba)
"Pada periode Januari hingga 10 Maret kemarin, di Kota Bogor ada 130 kasus, dengan jumlah kematian sudah lima orang. Sebelumnya ada empat, nambah satu hari ini," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno, Jumat (13/3/2020).
Wanita yang ditunjuk Wali Kota Bogor sebagai Juru Bicara dalam penanganan kasus wabah virus Corona atau COVID-19 ini menjelaskan korban terakhir merupakan bocah berusia lima tahun asal Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor.
"Korban meninggal dunia di RS PMI Kota Bogor. Secara keseluruhan, rata-rata korban sudah dalam kondisi Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kondisi itu penderita DBD mengalami drop kritis itu hari ke empat ke lima mereka akan drop, kurang asupan cairan kondisi terus menurun dan dia akan masuk dalam tahap shock," ujarnya
Jika sudah dalam kondisi DSS, pada umumnya pasien akan sulit ditolong meskipun sudah mendapat perawatan hingga di ruang ICU atau PICU. "Karena itu, kita sudah koordinasi dengan rumah sakit untuk menekankan agar pasien yang datang dalam keadaan demam lebih dari dua hari agar dicek darah dan trombosit secara berkala. Supaya bisa diketahui dan bisa diantisipasi lebih awal," katanya.
Dia menjabarkan, untuk korban meninggal paling banyak terjadi di bulan Maret yang baru berjalan dua pekan. Sedangkan sebelumnya, pada Januari dan Februari masing-masingnya satu orang.
Distribusi kasus DBD ini tersebar di seluruh enam kecamatan yang ada di Kota Bogor. Pada Januari, Februari hingga 10 Maret sebanyak 130 kasus dan itu terbanyak di Kecamatan Tanah Sareal yakni 37 kasus, disusul Bogor Barat sebanyak 33 kasus, Bogor Selatan 26 kasus, Bogor Utara tercatat 19 kasus, Bogor Tengah ada 9 kasus dan Bogor Timur sebanyak 6 kasus.
Jumlah tersebut kemungkinan bertambah karena pancaroba atau proses peralihan cuaca dari musim hujan ke kemarau di Kota Bogor masih dan sedang terjadi. Bahkan korban meninggal di periode yang sama tahun lalu Januari-Maret 2019, Pemkot mencatat ada 5 orang juga dari 170 kasus.
"Tapi sepanjang 2019 lalu, total kasus DBD yang dirawat disejumlah rumah sakit dan puskesmas fasilitas rawat inap sebanyak 621 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 10 orang. Sedangkan di tahun sebelumnya yakni 2018 jumlah kasus lebih banyak lagi yaitu 727 kasus, namun korban meninggal hanya lima orang," ungkapnya.
Dia mengingatkan kepada warga agar selalu waspada atas bahaya penyakit. Terlebih virus dengue yang setiap tahun mewabah ini jangan sampai tertutup dengan isu Virus Covid-19.
Bahkan dia menilai justru DBD lebih berbahaya dibandingkan virus Corona. Untuk itu pihaknya meminta masyarakat agar mengantisipasinya dengan giat menggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.
"Giat PSN ini sudah dilakukan di tingkat wilayah kecamatan, puskesmas dan bagian pemerintahan terbawah untuk memutus mata rantai agar tidak mewabah. Sebab, Kota Bogor sendiri hampir setiap tahun masuk daerah endemis DBD. Berkaca dari tahun 2019, ada dua wilayah yaitu Bogor Barat dan Bogor Selatan," ujarnya.
Terkait edukasi, Sri menerangkan DBD itu disebabkan virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dengan gejala awalnya panas dan demam yang hampir sama dengan penyakit lain.
"Memang jika hari pertama di cek laboratorium hasilnya masih normal. Tapi insfeksi DBD baru akan diketahui jika selama tiga hari suhu panas tubuh tidak juga turun. Maka kita sarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dengan melihat trombositnya karena itu yang paling bahaya," jelasnya.
Setelah itu, pada hari ke empat dan kelima sebagai masa kritis biasanya trombosit penderita akan drop disertai pendarahan yang tidak khas. "Bahkan tidak harus mimisan (keluar darah dari hidung), pendarahan bisa saja terjadi di dalam. Jika sudah kondisi seperti itu ditambah asupan cairan yang kurang akan menyebabkan DSS. Nah Umumnya orang tua membawa pasien DBD ke rumah sakit dalam keadaan DSS," katanya.
Ditempat terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus DBD Pemkot Bogor bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) serta stakeholders terus melakukan pemantauan, pengawasan dan edukasi kepada warga.
"Penanganan DBD di Kota Bogor tidak berbeda jauh dengan penanganan virus Convid-19. Bahkan, jika melihat data, korban meninggal akibat DBD terus bertambah sehingga perlu perhatian serius dan langkah antisipasinya harus terus ditingkatkan," ungkap Ade.
Terkait tindakan fogging atau pengasapan, ia menjelaskan tindakan tersebut hanya membunuh nyamuk dewasa tetapi tidak memutus rantai siklus hidup nyamuk dengan kata lain jentik nyamuk tidak akan mati. "Lebih baik memberantas jentik-jentiknya karena itu sumber penularannya. Fogging tidak ubahnya semprotan anti nyamuk pada umumnya. Gerakan PSN dan kebersihan lingkungan lebih efektif dibanding mengandalkan fogging," katanya.Kurang Tiga Bulan, Lima Warga Kota Bogor Meninggal Akibat DBD
Korban tewas akibat ganasnya serangan penyakit virus dengue yang dibawa nyamuk aides aegypti di Kota Bogor terus bertambah. Pasalnya, belum genap triwulan atau tiga bulan di tahun ini, korban meninggal akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sudah mencapai lima orang.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor terhitung sejak awal Januari hingga 10 Maret tercatat sudah lima orang meninggal dunia akibat DBD. Ironis seluruh korban meninggal masih anak-anak.
"Pada periode Januari hingga 10 Maret kemarin, di Kota Bogor ada 130 kasus, dengan jumlah kematian sudah lima orang. Sebelumnya ada empat, nambah satu hari ini," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno, Jumat (13/3/2020).
Wanita yang ditunjuk Wali Kota Bogor sebagai Juru Bicara dalam penanganan kasus wabah virus Corona atau COVID-19 ini menjelaskan korban terakhir merupakan bocah berusia lima tahun asal Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor.
"Korban meninggal dunia di RS PMI Kota Bogor. Secara keseluruhan, rata-rata korban sudah dalam kondisi Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kondisi itu penderita DBD mengalami drop kritis itu hari ke empat ke lima mereka akan drop, kurang asupan cairan kondisi terus menurun dan dia akan masuk dalam tahap shock," ujarnya
Jika sudah dalam kondisi DSS, pada umumnya pasien akan sulit ditolong meskipun sudah mendapat perawatan hingga di ruang ICU atau PICU. "Karena itu, kita sudah koordinasi dengan rumah sakit untuk menekankan agar pasien yang datang dalam keadaan demam lebih dari dua hari agar dicek darah dan trombosit secara berkala. Supaya bisa diketahui dan bisa diantisipasi lebih awal," katanya.
Dia menjabarkan, untuk korban meninggal paling banyak terjadi di bulan Maret yang baru berjalan dua pekan. Sedangkan sebelumnya, pada Januari dan Februari masing-masingnya satu orang.
Distribusi kasus DBD ini tersebar di seluruh enam kecamatan yang ada di Kota Bogor. Pada Januari, Februari hingga 10 Maret sebanyak 130 kasus dan itu terbanyak di Kecamatan Tanah Sareal yakni 37 kasus, disusul Bogor Barat sebanyak 33 kasus, Bogor Selatan 26 kasus, Bogor Utara tercatat 19 kasus, Bogor Tengah ada 9 kasus dan Bogor Timur sebanyak 6 kasus.
Jumlah tersebut kemungkinan bertambah karena pancaroba atau proses peralihan cuaca dari musim hujan ke kemarau di Kota Bogor masih dan sedang terjadi. Bahkan korban meninggal di periode yang sama tahun lalu Januari-Maret 2019, Pemkot mencatat ada 5 orang juga dari 170 kasus.
"Tapi sepanjang 2019 lalu, total kasus DBD yang dirawat disejumlah rumah sakit dan puskesmas fasilitas rawat inap sebanyak 621 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 10 orang. Sedangkan di tahun sebelumnya yakni 2018 jumlah kasus lebih banyak lagi yaitu 727 kasus, namun korban meninggal hanya lima orang," ungkapnya.
Dia mengingatkan kepada warga agar selalu waspada atas bahaya penyakit. Terlebih virus dengue yang setiap tahun mewabah ini jangan sampai tertutup dengan isu Virus Covid-19.
Bahkan dia menilai justru DBD lebih berbahaya dibandingkan virus Corona. Untuk itu pihaknya meminta masyarakat agar mengantisipasinya dengan giat menggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.
"Giat PSN ini sudah dilakukan di tingkat wilayah kecamatan, puskesmas dan bagian pemerintahan terbawah untuk memutus mata rantai agar tidak mewabah. Sebab, Kota Bogor sendiri hampir setiap tahun masuk daerah endemis DBD. Berkaca dari tahun 2019, ada dua wilayah yaitu Bogor Barat dan Bogor Selatan," ujarnya.
Terkait edukasi, Sri menerangkan DBD itu disebabkan virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dengan gejala awalnya panas dan demam yang hampir sama dengan penyakit lain.
"Memang jika hari pertama di cek laboratorium hasilnya masih normal. Tapi insfeksi DBD baru akan diketahui jika selama tiga hari suhu panas tubuh tidak juga turun. Maka kita sarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium dengan melihat trombositnya karena itu yang paling bahaya," jelasnya.
Setelah itu, pada hari ke empat dan kelima sebagai masa kritis biasanya trombosit penderita akan drop disertai pendarahan yang tidak khas. "Bahkan tidak harus mimisan (keluar darah dari hidung), pendarahan bisa saja terjadi di dalam. Jika sudah kondisi seperti itu ditambah asupan cairan yang kurang akan menyebabkan DSS. Nah Umumnya orang tua membawa pasien DBD ke rumah sakit dalam keadaan DSS," katanya.
Ditempat terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus DBD Pemkot Bogor bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) serta stakeholders terus melakukan pemantauan, pengawasan dan edukasi kepada warga.
"Penanganan DBD di Kota Bogor tidak berbeda jauh dengan penanganan virus Convid-19. Bahkan, jika melihat data, korban meninggal akibat DBD terus bertambah sehingga perlu perhatian serius dan langkah antisipasinya harus terus ditingkatkan," ungkap Ade.
Terkait tindakan fogging atau pengasapan, ia menjelaskan tindakan tersebut hanya membunuh nyamuk dewasa tetapi tidak memutus rantai siklus hidup nyamuk dengan kata lain jentik nyamuk tidak akan mati.
"Lebih baik memberantas jentik-jentiknya karena itu sumber penularannya. Fogging tidak ubahnya semprotan anti nyamuk pada umumnya. Gerakan PSN dan kebersihan lingkungan lebih efektif dibanding mengandalkan fogging," katanya. haryudi
(cip)