Molenvliet, dari Malaria ke Banjir Jakarta

Senin, 09 Maret 2020 - 06:57 WIB
Molenvliet, dari Malaria...
Molenvliet, dari Malaria ke Banjir Jakarta
A A A
JAKARTA - “Byur byur byur” bunyi jeburan air terhempas ke bibir Kali Molenviet yang berada di antara Jalan Gajah Mada - Gajah Mada, Taman Sari, Jakarta Barat.

Tiga anak kecil yakni Parmin, Romli, dan Said tampak bermain sore itu. Meski tak banyak pohon yang ditanam, namun suasana bibir kali masih sejuk. Angin sepoy berhembus, tak ada polusi dan kemacetan, membuat anak-anak asyik berenang di kawasan itu.

Sementara, ibu mereka mencuci pakaian, yang lokasinya tak jauh dari anak-anak berenang. “Biasanya saat sore hari,” kata Said (76), mengenang masa kecilnya di Jalan Kebon Jeruk II yang sekitar 500 meter dari Kali Molenvliet, Senin (9/3/2020).

Said mengenang di akhir tahun 50-an kawasan Kali Molenvliet masih sangat sejuk. Aliran kali yang dangkal tampak begitu jernih dan mengalir. Tak ada lumpur maupun sampah.

Menjelang sore hari orang dari kampung di pinggir jalan mulai beraktivitas di pinggir kali. Meski beberapa rumah warga terdapat sumur, tapi banyak warga memilih beraktivitas di sekitar kali, bahkan beberapa di antaranya sampai mencuci sepeda ontelnya.

“Tapi, ibu-ibu kita enggak kayak di film-film pake selendang. Pakaian biasa saja, paling dasteran,” ucapnya.

Di pertengahan awal 1960-an setelah nasionalisasi kedua dimulai, nama Jalan Molenvliet kemudian diubah dari Molenvliet West menjadi Gajah Mada di sisi barat dan Molenvliet Oost menjadi Hayam Wuruk di sisi timur. Dua nama itu demi mengingat sejarah Kerajaan Majapahit.

Berdasarkan buku Menyisir Jejak Betawi-Windoro Adi tahun 2010, Kali Molenvliet dibangun setelah konflik internal di Kesultanan Banten kian tak terbendung di abad 17 atau tahun 1600-an. Kondisi ini dianggap tak menguntungkan Perusahaan Dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Gubernur keempat VOC kala itu, Jan Pieterszoo Coen (JP Coen) lantas memindahkan armadanya ke Batavia atau Jakarta yang kala itu masuk tahap pembangunan. Mereka dipusatkan di kota lama Kampung Aquarium atau sekitaran Museum Bahari.

Aktivitas yang tinggi membuat warga kesulitan mendapatkan air tawar. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya rawa yang dipenuhi sampah. Lambat laun warga mulai terserang malaria.

JP Coen kemudian meminta Kapten China Phoa Ben Gan untuk membantu mengatasinya. Dengan ilmu keirigasiannya, Phoa Ben Gan mulai merancang kanal menuju Teluk Jakarta di kawasan Kampung Aquarium.

Kanal Molenvliet

Dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, Alwi Shihab – 2013, sodetan dibangun dari Kali Ciliwung dekat Masjid Istiqlal hingga kawasan Glodok. Dalam pembangunannya, Phoa Ben Gan mengajak warga sekitar Molenvliet untuk membantu menggali kanal yang berada di tengah Jalan Molenvliet.

Kanal selebar 25 meter itu kemudian tersambung hingga ke kawasan Kali Besar hingga tembus ke galangan VOC.

Pembangunan kanal dilakukan untuk mendapatkan debit air yang banyak demi mengairi kawasan yang penuh rawa dan dipenuhi sampah yang menyebabkan sarang nyamuk.

Di sisilain, keberadaan kanal di sana membantu transportasi dan suplai barang yang kala itu murni dilakukan melalui perairan.

“Setelah itu, Mookevart menjadi kawasan paling sibuk di Batavia. Transportasi murni dari air. Bahkan, pengangkutan kayu diantar melalui air,” kata Sejarawan Chandrian Attahiriyat.

Pecinan dan Trem

Seiring meningkatnya aktivitas di kawasan Mookevart sekitar abad 18 para pelaku ekonomi berdatangan. Pecinan kemudian muncul di sekitar Glodok. Toko-toko kemudian bermunculan menghidupkan ekonomi di kawasan itu.

Tak hanya itu, pejabat dan bangsawan Belanda mulai membangun rumah di luar kota Batavia atau sekitar Molenvliet. Salah satu yang nampak yakni vila Gubernur VOC 1777-1790, Reinier de Klerk seluas 27 ribu m2 di tahun 1760. Vila ini kemudian menjadi gedung Arsip tahun 1925.

Menjelang abad 19 atau 20 April 1869, sebuah trem kuda mulai dioperasikan Bataviasche Tramweg Maatschappij (BTM). Trem itu menampung 40 penumpang ditarik 3-4 kuda. Hingga September 1869, penumpang yang terangkut 7.000 penumpang.

Pada 1880 kendala yang terjadi BTM membuat jasa transportasi diambil Firma Dummler and Co. Dua tahun kemudian tepatnya 19 September 1881 BTM resmi berganti nama menjadi Nederlands-Indische Tramweg Maatschappij (NITM) dan mengambil alih layanan trem Jakarta.

Perombakan armada dan prasarana dilakukan secara bertahap. Lokomotif uap produksi Hohenzollern kemudian dioperasikan pada 1 Juli 1883 dengan lintas Jakarta Kota–Harmoni.

Empat tahun setelahnya trem listrik di bawah operasi Batavia Elektrische Tram Maatschappij (BETM) menjadikannya sebagai pesaing trem uap milik NITM.

BETM kemudian mengekspansi hingga ke Ragunan pada 1899. Dari sini muncul jaringan trem listrik di luar Batavia ke Gunung Sahari dan Tanah Abang.

Persaingan antara BETM dan NITM kian sengit di tahun 1920. Kondisi ini menyebabkan harga tiket kian tinggi. Pemerintah Batavia kemudian meminta NITM meningkatkan pelayanan menjadi trem listrik, namun ditolak. Puncaknya di tahun 1930 kemudian membuat NITM dengan BTM merger membentuk Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVM).

Hasil dari pembentukan BVM tersebut menggabungkan satu lijn trem uap, dua lijn trem listrik, dan tujuh rute bus yang dioperasikan NITM dan BETM.

Di bawah kendali BVM, trem Jakarta meningkat, membuat waktu tempuh Jakarta Kota ke Jatinegara menjadi 47 menit, memangkas waktu 10 menit. BVM mengalami kejayaan pada 1934 dimana mengoperasikan lima lijn trem listrik dengan total panjang 41 kilometer.

Masalah keuangan yang terjadi di tahun 1935 membuat kemunduran era trem Jakarta. Kondisi ini diperburuk munculnya moda transportasi seperti bemo dan oplet.

Meski sempat ditutup barulah tahun 1941 layanan bus BVM kembali dibuka. Setelah Jepang menduduki Indonesia, BVM dikelola Tentara Jepang berubah nama menjadi
Seibu Rikuyo Batavia Shiden kemudian menjadi Jakaruta Shiden.

Setelah proklamasi, perusahaan ini menjadi Trem Djakarta-Kota yang pada 1957 dinasionalisasi menjadi Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD). Namun, tidak cocok dengan tata ruang kota besar.

Pengendali Banjir

Kembali lagi ke Molenvliet. Hingga kini Molenvliet telah banyak berubah. Kali yang membelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk pun telah mengalami perubahan. Empat jembatan kemudian dibangun untuk menjadi putar balik kendaraan.

Sayang dalam pengendalian kanal pembangunan banjir di sana terputus sejauh 200 meter tepatnya dari Lindeteves Trade Centre (LTC) hingga Glodok Plaza.

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan saat ini ada banyak pintu air yang terdapat di kawasan Kali Molenvliet. Pintu ini menjadi pengendali air di saat hujan deras melanda Jakarta.

Saat zaman kolonial, banyak sistem irigasi yang berfungsi untuk pengairan, transportasi air, dan pengendali banjir.

Karena terawat dan terjaga hingga kini Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk terbebas dari banjir. Terlebih Kali Molenvliet diketahui melintasi Istana Negara sehingga pengendalian air membuat kawasan ini terlindungi.

Meski terlindungi, namun Nirwono mengingatkan Pemprov DKI tak lengah karena banyak aliran kali yang dibuat Belanda masih terputus. Sebagian besar kawasan dari Monas ke arah Jakarta Utara seperti Kali Angke, Kali Sunter, dan anak kali lainnya.

“Kalau diaudit atau ditelusuri akan banyak ditemukan yang terputus,” tuturnya.

Untuk transportasi, pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) akan dilanjutkan hingga kawasan Kota Tua dan Kampung Bandan. Artinya MRT nantinya melintasi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Hanya saja Nirwono mengingatkan pengembangan MRT harus diiringi pengembangan Transit Oriented Development (TOD) maupun hunian vertikal yang terjangkau.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1292 seconds (0.1#10.140)