Puluhan Tahun Bekerja di Radiasi Nuklir, Ini Suka Duka Salah Seorang Pekerja
A
A
A
TANGERANG - Dua puluh tahun bekerja jadi petugas proteksi radiasi nuklir di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) Batan, tidak membuat Adelili Hermana (48) takut. Sebaliknya, pria yang ikut dalam tim Batan melakukan pengerukan tanah yang tercemar radiasi nuklir industri cosium 137 di Perumahan Batan Indah ini tampak masih bisa tertawa senang dan bersenda gurau.
"Saya mulai ikut melakukan pengerukan sejak hari Minggu 16 Februari 2020. Saya bekerja tim, satu tim 7 orang. Satu tim bekerja 1 jam," kata Adelili kepada SINDOnews, Selasa (18/2/2020).
Setiap kali melakukan pekerjaan pengerukan tanah yang tercemar limbah nuklir, dirinya juga ikut tercemar limbah nuklir. Hari ini saja, dirinya terpapar radioaktif hingga 8 mikroSv. Diakhinya, tidak ada tanda fisik yang dirasa.
"Tadi saya dapat 8 mikrosv selama 1 jam. Saya mengangkut 28 drum. Paling tinggi hari pertama, 92 mikrosv perwaktu kerja. Tidak ada gejala fisik yang dirasa. Kalau buat saya, sebagai pekerja radiasi, ini kecil," paparnya.
Selama 20 tahun bekerja sebagai petugas proteksi radiasi nuklir, Adelili tidak merasakan adanya gejala fisik pada dirinya. Anaknya pun, berhasil lahir tanpa cesar alias normal.
"Jadi istilahnya, kalau kita kena radiasi lebih dari 20 mililem perhari, terlampau dalam 1 hari, satu minggu jangan kena terus-terusan. Ya, istirahat. Enggak takut, ngapain takut. Saya umur 48, anak saya lahir normal," jelasnya.
Namun, Adelili mengaku kehilangan 4 anak, karena istrinya mengalami keguguran diduga akibat terlalu letih, karena bekerja. Dia pun menampik, hal itu terjadi akibat radiasi nuklir.
"Saya punya lisensi dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). Saya kerja sudah hampir 20 tahun, dari 92. Anak saya kalau jadi ada 7, tapi hanya 3. Itu faktor kelelahan istri, bukan faktor saya. Saya kerja sebagai petugas proteksi radiasi," tukasnya.
"Saya mulai ikut melakukan pengerukan sejak hari Minggu 16 Februari 2020. Saya bekerja tim, satu tim 7 orang. Satu tim bekerja 1 jam," kata Adelili kepada SINDOnews, Selasa (18/2/2020).
Setiap kali melakukan pekerjaan pengerukan tanah yang tercemar limbah nuklir, dirinya juga ikut tercemar limbah nuklir. Hari ini saja, dirinya terpapar radioaktif hingga 8 mikroSv. Diakhinya, tidak ada tanda fisik yang dirasa.
"Tadi saya dapat 8 mikrosv selama 1 jam. Saya mengangkut 28 drum. Paling tinggi hari pertama, 92 mikrosv perwaktu kerja. Tidak ada gejala fisik yang dirasa. Kalau buat saya, sebagai pekerja radiasi, ini kecil," paparnya.
Selama 20 tahun bekerja sebagai petugas proteksi radiasi nuklir, Adelili tidak merasakan adanya gejala fisik pada dirinya. Anaknya pun, berhasil lahir tanpa cesar alias normal.
"Jadi istilahnya, kalau kita kena radiasi lebih dari 20 mililem perhari, terlampau dalam 1 hari, satu minggu jangan kena terus-terusan. Ya, istirahat. Enggak takut, ngapain takut. Saya umur 48, anak saya lahir normal," jelasnya.
Namun, Adelili mengaku kehilangan 4 anak, karena istrinya mengalami keguguran diduga akibat terlalu letih, karena bekerja. Dia pun menampik, hal itu terjadi akibat radiasi nuklir.
"Saya punya lisensi dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). Saya kerja sudah hampir 20 tahun, dari 92. Anak saya kalau jadi ada 7, tapi hanya 3. Itu faktor kelelahan istri, bukan faktor saya. Saya kerja sebagai petugas proteksi radiasi," tukasnya.
(whb)