Penyitaan Aset First Travel untuk Negara Dinilai Keliru dan Berbahaya
A
A
A
JAKARTA - Keputusan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa barang bukti pada perkara First Travel disita negara terus menuai sorotan. Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih mengatakan, keputusan pengadilan ini sangat mengecewakan, dan dinilai keliru serta berbahaya.
”Ini keliru dan berbahaya nanti karena sejak awal penegak hukum tidak mau menggunakan TPPU. Padahal TPPU itu mengoptimalkan yang tadinya hanya pidana biasa, tapi bagaimana uang hasil kejahatan itu dirampas kembali dari yang merampas, kemudian dikembalikan kepada yang dirampas,” ujarnya dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Ideal Aset Fist Travel Disita Negara?” di Media Center MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Yenti mengilustrasikan putusan ini seperti ada orang yang melapor kepada penegak hukum karena menjadi korban kejahatan dan harta bendanya raib akibat kejahatan tersebut. Namun begitu laporan diproses dan berhasil, uang hasil kejahatan itu dirampas lagi dan masuk kas negara.
”Terus pelapornya hanya bisa bengong. Ini gak bisa. Tidak mungkin negara diuntungkan dari hasil kejahatan. Apa negara mau dikatakan menampung pencucian uang? katanya.
Selain itu, upaya menghimpun dana masyarakat tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal itu merupakan sebuah kejahatan. “Ini bukan hanya lagi melawan hukum yang perdata,” katanya.
Menurut Yenti, kejanggalan dan keributan kalau diteliti sejak awal pemerintah juga ada masalah. Misalnya ketika pada 2017 mulai ada masalah dan muncul keributan dalam kasus First Travel, namun oleh pemerintah izinnya tetap diperpanjang.
”Ini ada ada gejolak, ada ketidakpuasan para calon jamaah, tetapi ternyata pemiliknya malah foya-foya. Malah uangnya digunakan sana sini. Jadi bayangan gambaran kita orang pidana pada waktu itu, karena sudah mulai ada yang, ini bukan lagi masalah perdata, ingkar janji atau apa, tetapi mulai ada perasaan bahwa korban rakyat merasa ditipu. Ada penipuan,” katanya.
Yenti mengatakan, untuk kepentingan para korban First Travel maka langkah yang bisa dilakukan yaitu melalui peninjauan kembali (PK). ”Mungkin ya satu-satunya jalan ya PK itu, walaupun dilarang tapi demi kepentingan umum, dan ini bukan pertama kali dilakukan,” katanya.
”Ini keliru dan berbahaya nanti karena sejak awal penegak hukum tidak mau menggunakan TPPU. Padahal TPPU itu mengoptimalkan yang tadinya hanya pidana biasa, tapi bagaimana uang hasil kejahatan itu dirampas kembali dari yang merampas, kemudian dikembalikan kepada yang dirampas,” ujarnya dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Ideal Aset Fist Travel Disita Negara?” di Media Center MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Yenti mengilustrasikan putusan ini seperti ada orang yang melapor kepada penegak hukum karena menjadi korban kejahatan dan harta bendanya raib akibat kejahatan tersebut. Namun begitu laporan diproses dan berhasil, uang hasil kejahatan itu dirampas lagi dan masuk kas negara.
”Terus pelapornya hanya bisa bengong. Ini gak bisa. Tidak mungkin negara diuntungkan dari hasil kejahatan. Apa negara mau dikatakan menampung pencucian uang? katanya.
Selain itu, upaya menghimpun dana masyarakat tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal itu merupakan sebuah kejahatan. “Ini bukan hanya lagi melawan hukum yang perdata,” katanya.
Menurut Yenti, kejanggalan dan keributan kalau diteliti sejak awal pemerintah juga ada masalah. Misalnya ketika pada 2017 mulai ada masalah dan muncul keributan dalam kasus First Travel, namun oleh pemerintah izinnya tetap diperpanjang.
”Ini ada ada gejolak, ada ketidakpuasan para calon jamaah, tetapi ternyata pemiliknya malah foya-foya. Malah uangnya digunakan sana sini. Jadi bayangan gambaran kita orang pidana pada waktu itu, karena sudah mulai ada yang, ini bukan lagi masalah perdata, ingkar janji atau apa, tetapi mulai ada perasaan bahwa korban rakyat merasa ditipu. Ada penipuan,” katanya.
Yenti mengatakan, untuk kepentingan para korban First Travel maka langkah yang bisa dilakukan yaitu melalui peninjauan kembali (PK). ”Mungkin ya satu-satunya jalan ya PK itu, walaupun dilarang tapi demi kepentingan umum, dan ini bukan pertama kali dilakukan,” katanya.
(ysw)