Tak Laksanakan Putusan PK Kasus Chuck, Haris Sebut Kejagung Panik

Minggu, 29 September 2019 - 18:03 WIB
Tak Laksanakan Putusan...
Tak Laksanakan Putusan PK Kasus Chuck, Haris Sebut Kejagung Panik
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menyayangkan sikap Kejagung yang tidak bisa melaksanakan putusan Peninjauan Kembali (PK) kliennya, jaksa senior Chuck Suryosumpeno. Adapun alasan Kejagung tidak bisa melaksanakan putusan PK lantaran Chuck sudah dicopot sebagai PNS, sesuai putusan BKN.

"Kejaksaan sepertinya berpura-pura tidak tahu keberadaan MA sebagai lembaga pengadilan tertinggi. Keputusan Jaksa Agung atas pemecatan Chuck jika dibuka malah akan membuat masyarakat lebih heran lagi. Bayangkan, Chuck dipecat karena dituduh tidak masuk kerja selama 28 hari, coba Undang-Undang ASN mana yang menyatakan seorang ASN dapat dipecat karena 28 hari tidak masuk kerja tanpa adanya selembarpun surat peringatan dari pimpinannya," kata Haris di Jakarta, Minggu, 29 September 2019.

Secara sederhana, kata Haris, Kapuspen Kejagung perlu belajar membaca lagi dasar-dasar KUHP dan KUHAP. Sebab menurut dia, putusan MA sudah menunjukkan pertimbangannya bahwa Chuck saat melakukan tugas ada izin dari atasan, sehingga itu bisa menjadi dasar.
Haris menandaskan, jika digunakan beberapa dasar hukum yaitu Pasal 116 ayat 7, ayat 2. Pasal 72 ayat 1, pasal 81 ayat 2, pasal 83 dan 84 pada UU Administrasi Pemerintahan, maka sanksi administratif ke Chuck bisa dianggap sebagai bentuk sesat pikir.

Haris menduga pernyataan Kejagung ini sebagai bentuk kepanikan karena telah memperlakukan Chuck Suryosumpeno sewenang-wenang. “Patut dipahami, Chuck ini tidak seperti para pejabat Kejagung yang saat ini menduduki posisi sebagai pimpinan. Mereka takut jika tidak punya jabatan lagi. Chuck tidak berharap jabatan, dia hanya fokus bahwa siapapun di bumi pertiwi ini tidak layak untuk diperlakukan semena-mena,” tandasnya.

Haris pun menganggap Kejagung lupa atau pura-pura lupa soal larangan kriminalisasi terhadap kebijakan pemerintah yang dikeluarkan Presiden Jokowi pada Juli 2016 lalu. "Karena instruksi ini ditujukan kepada seluruh jajaran penegak hukum, tak terkecuali Kejaksaan. Jadi Jaksa Agung saat ini sudah melanggar perintah Presiden," kata dia.

Sementara itu, pakar hukum Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, berpendapat, putusan PK Chuck bisa dikatakan sebagai suatu dasar yang cukup kuat. "Kalau bicara tentang perbuatan Chuck, ini sebagai suatu perbuatan administrasi negara atau tata usaha negara, maka sudah selesai karena sudah diputuskan di pengadilan tata usaha negara," kata Jamin.

Artinya, kata dia, tidak ada lagi unsur yang menyatakan adanya tindakan melawan hukum yang dimaksudkan dalam pasal 2 UU Tipikor.
"Kenapa demikian? karena seperti yang tadi saya katakan, karena putusan di TUN sudah memiliki kekuatan hukum tetap," ujarnya.

Sebagai pejabat hukum, ia menilai Jaksa Agung Prasetyo dalam menyikapi kasus Chuck sudah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. "Artinya, jika tidak patuh terhadap ketentuan yang mengatur tentang harus melaksanakan suatu putusan yang sah. Maka dia sudah saya katakan sebagai perbuatan melawan hukum," kata dia.

Sebagai solusi, lanjutnya, maka bisa dilakukan yang namanya upaya paksa agar pejabat tersebut mau melakukannya. Sebab setiap orang yang tidak mau sukarela melaksanakan putusan TUN dalam konteks hukum acara tetap maka bisa dilakukan upaya paksa. "Dan ada instrumen untuk melakukan upaya paksa tersebut sesuai UU yang berlaku," imbuhnya.

Ia pun mengatakan, presiden harus turun tangan mengatasi kekalutan hukum yang dilakukan oleh tindakan jaksa agung yang sembrono ini. Karena kewenangan jaksa agung berada langsung di bawah pengawasan presiden.

Chuck merupakan mantan Ketua Satuan Tugas Khusus Penyelesaian Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi pada Kejaksaan Agung, serta mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. Chuck menjadi terdakwa tindak pidana korupsi penyelesaian barang rampasan dan barang eksekusi di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejagung Jakarta Selatan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6100 seconds (0.1#10.140)