Penjelasan BMKG terkait Kualitas Udara Jakarta yang Dinilai Memburuk
A
A
A
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberi penjelasan terkait kualitas udara Jakarta yang memburuk dan menempati peringkat 1 versi air quality index (AQI) dunia. Penilaian ini didasarkan pada aplikasi pemantau kualitas udara global AirVisual yang pada bulan Juni hingga Juli tahun ini mengindikasikan indeks kualitas udara yang masuk ke dalam kategori tidak sehat.
"Memang patut kita sadari bersama bahwa kondisi udara Jakarta tengah menurun kualitasnya dan memasukkan Jakarta ke dalam kota-kota papan atas dalam urutan kota terburuk kualitas udaranya, meskipun terdapat kritik dalam metodologi pemeringkatan dan penilaian AirVisual tersebut," ujar Plh Deputi Bidang Klimatologi, BMKG, Nasrullah, Selasa (30/7/2019).
Ia menjelaskan, pemeringkatan AQI Airvisual dilakukan setiap jam dan menghasilkan peringkat kota berudara dengan kualitas terburuk dengan sangat dinamis.
"Pada pagi hari biasanya KU Jakarta memang menurun drastis dan sering menembus peringkat 1. Akan tetapi hal tersebut tidak permanen dan berubah seiring waktu ketika menuju siang hingga malam," ucapnya.
Menurut Nasrullah, AQI pada AirVisual untuk Jakarta melibatkan 8 lokasi pengukuran konsentrasi PM2.5 (debu polutan bsrukuran ~2.5 mikron) yang meliputi 3 lokasi berasal dari pengukuran instrumen terstandar internasional milik lembaga pemerintah, yakni 1 di BMKG Kemayoran dan 2 di US Embassy. Sedangkan lainnya menggunakan instrumen low cost sensor milik Greenpeace dan perseorangan.
Pengukuran menggunakan instrumen low cost sensor berbeda dengan pengukuran instrumen standar konvensional dan terkalibrasi. "Pengukuran menggunakan instrumen yang tidak terstandar dan tidak terkalibrasi umumnya menghasilkan tingkat akurasi yang lebih rendah disebabkan metode pengukuran yang lebih sederhana," tuturnya.
Akibatnya, konsentrasi partikulat hasil pengukuran low cost sensor memiliki nilai penyimpangan yang besar apabila dibandingkan dengan instrumen standar yang dimiliki umumnya oleh lembaga-lembaga pemerintah," pungkasnya.
"Memang patut kita sadari bersama bahwa kondisi udara Jakarta tengah menurun kualitasnya dan memasukkan Jakarta ke dalam kota-kota papan atas dalam urutan kota terburuk kualitas udaranya, meskipun terdapat kritik dalam metodologi pemeringkatan dan penilaian AirVisual tersebut," ujar Plh Deputi Bidang Klimatologi, BMKG, Nasrullah, Selasa (30/7/2019).
Ia menjelaskan, pemeringkatan AQI Airvisual dilakukan setiap jam dan menghasilkan peringkat kota berudara dengan kualitas terburuk dengan sangat dinamis.
"Pada pagi hari biasanya KU Jakarta memang menurun drastis dan sering menembus peringkat 1. Akan tetapi hal tersebut tidak permanen dan berubah seiring waktu ketika menuju siang hingga malam," ucapnya.
Menurut Nasrullah, AQI pada AirVisual untuk Jakarta melibatkan 8 lokasi pengukuran konsentrasi PM2.5 (debu polutan bsrukuran ~2.5 mikron) yang meliputi 3 lokasi berasal dari pengukuran instrumen terstandar internasional milik lembaga pemerintah, yakni 1 di BMKG Kemayoran dan 2 di US Embassy. Sedangkan lainnya menggunakan instrumen low cost sensor milik Greenpeace dan perseorangan.
Pengukuran menggunakan instrumen low cost sensor berbeda dengan pengukuran instrumen standar konvensional dan terkalibrasi. "Pengukuran menggunakan instrumen yang tidak terstandar dan tidak terkalibrasi umumnya menghasilkan tingkat akurasi yang lebih rendah disebabkan metode pengukuran yang lebih sederhana," tuturnya.
Akibatnya, konsentrasi partikulat hasil pengukuran low cost sensor memiliki nilai penyimpangan yang besar apabila dibandingkan dengan instrumen standar yang dimiliki umumnya oleh lembaga-lembaga pemerintah," pungkasnya.
(thm)