Sengketa Lahan di Roxy, Duta Pertiwi: Ambil Alih Lahan Sesuai Hukum
A
A
A
JAKARTA - PT Duta Pertiwi Tbk angkat bicara mengenai kasus sengketa lahan seluas 29,361 hektare di Roxy, Jakarta yang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (11/6/2019). Pihak penggugat yakni ahli waris, dengan tergugat PT Duta Pertiwi Tbk dan Badan Pertahanan Nasional (BPN) Jakarta Pusat.
Penasihat hukum PT Duta Pertiwi, Kemas Herman menegaskan kliennya merupakan pemilik sah atas tanah yang digugat para ahli waris. Menurutnya, selama ini Duta Pertiwi mengambil alih tanah itu berdasarkan hukum dan prosedur yang berlaku.
Kliennya, kata Kemas Herman, memiliki tiga sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang terdiri dari sertifikat nomor 2233, 2230 dan 2232. PT Duta Pertiwi mendapatkan kepemilikan tanah tersebut secara legal dari Kementerian Agraria dan BPN dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Keluarnya sertifikat HGB itu ada alas haknya," katanya.
Di samping itu, masih terdapat banyak lagi SPH (surat pengakuan hak) dari mereka yang menempati lahan. "Bukti kami lebih dari 1.500 (item)," sambungnya.
Sidang sendiri oleh majelis hakim memutuskan sidang ditunda hingga dua pekan ke depan. "Ini baru libur Lebaran, dan hakim anggota masih ada yang cuti, maka kita tunda sidang ini hingga 25 Juni mendatang," kata Hakim Ketua, John Tony Hutauruk.
Seusai mengetuk palunya, John Tony Hutauruk sempat mengungkapkan harapannya agar dalam dua pekan ke depan sebelum persidangan, pihak yang bersengketa bisa menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan atau berdamai.
Selepas persidangan, penasihat hukum ahli waris, Wellyantina Waloni menyambut terbuka anjuran untuk berdamai dengan pihak tergugat.
"Tadi secara tersirat sebenarnya kita ini di pihak yang benar. Kalau tidak benar enggak mungkin majelis hakim menganjurkan untuk berdamai," kata dia saat ditemui luar ruang sidang PN Jakarta Pusat.
"Dari keluarga berharap Duta Pertiwi itu ada niat atau iktikad baik, artinya berdamailah. Sebagaimana juga majelis hakim sudah mengajurkan untuk berdamai, dan itu tidak sekali. Berkali-kali majelis hakim sudah meminta agar berdamai," jelas Wellyantina.
Menurutnya, berdamai merupakan win-win solution, karena pihaknya memahami jika Duta Pertiwi telah mengeluarkan dana buat para penggarap. "Sudah membayar para penggarap untuk mengosongkan lahan, tapi yang belum dibayarkan adalah hak milik dari ahli waris," tambahnya.
Disebutkan juga bahwa saat awal sidang mediasi Oktober tahun lalu, pihak penggugat menawarkan penggantian sebesar Rp8 juta per petak, yang dari awalnya Rp12 juta. Namun, tawaran tersebut ditolak dan kasus ini dilanjutkan di persidangan.
"Kita bisa rembukan masalah harga. Memang harga NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) itu Rp28 juta per meter untuk yang di depan, terus ada yang 17, 18, sampai yang paling belakang yang sudah masuk wilayah Tambora atau Pasar Tambora itu harganya Rp7 juta. Tapi kita bisa negosiasilah. Realistis. Kami juga sudah memahami ya. Artinya kita juga tidak dalam rangka mau memeras pihak Duta Pertiwi, tidak. Hanya berikanlah secara wajar," tandasnya.
Selanjutnya Wellyantina menunggu respons dari pihak tergugat. Apabila tidak ada respons, maka pihaknya enggan memaksa Duta Pertiwi berdamai. Terlepas dari hal itu, Wellyantina merasa aneh, karena data yang dimiliki tergugat berdasarkan surat pernyataan.
"Ketika kita minta dasar menerbitkan sertifikat (untuk Duta Pertiwi), itu dari BPN enggak ada dasarnya. Tetapi bukti dari pihak Duta Pertiwi, itu buktinya hanya surat pernyataan, bukan hak. Itu kan kalau pemilik tanah kan harusnya ada Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, Hak Milik atau Hak Guna Usaha, tapi ini tidak ada, hanya pernyataan dari warga," terangnya.
Sementara itu, Wellyantina juga mengungkapkan, sebagian tanah yang berkasus itu sudah tercatat di Verponding Indonesia (sebutan untuk catatan tanah di awal kemerdekaan). Salah satu buktinya, BPN pernah menerbitkan sertifikat untuk tanah milik saudara ahli waris yang lokasinya berdekatan dan sama-sama tercatat dalam Verponding Indonesia.
"BPN kan semestinya sebagai aparatur negara yang mengetahui, memiliki data seluruh tanah di Indonesia mestinya pihak BPN tinggal bantah, seperti bilang begini, 'eh tanahmu bukan di situ, tanahmu di sini'. Sebenarnya BPN itu justru juri, juri yang paling akurat, karena mereka yang tahu betul datanya," ucapnya.
Penasihat hukum PT Duta Pertiwi, Kemas Herman menegaskan kliennya merupakan pemilik sah atas tanah yang digugat para ahli waris. Menurutnya, selama ini Duta Pertiwi mengambil alih tanah itu berdasarkan hukum dan prosedur yang berlaku.
Kliennya, kata Kemas Herman, memiliki tiga sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang terdiri dari sertifikat nomor 2233, 2230 dan 2232. PT Duta Pertiwi mendapatkan kepemilikan tanah tersebut secara legal dari Kementerian Agraria dan BPN dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Keluarnya sertifikat HGB itu ada alas haknya," katanya.
Di samping itu, masih terdapat banyak lagi SPH (surat pengakuan hak) dari mereka yang menempati lahan. "Bukti kami lebih dari 1.500 (item)," sambungnya.
Sidang sendiri oleh majelis hakim memutuskan sidang ditunda hingga dua pekan ke depan. "Ini baru libur Lebaran, dan hakim anggota masih ada yang cuti, maka kita tunda sidang ini hingga 25 Juni mendatang," kata Hakim Ketua, John Tony Hutauruk.
Seusai mengetuk palunya, John Tony Hutauruk sempat mengungkapkan harapannya agar dalam dua pekan ke depan sebelum persidangan, pihak yang bersengketa bisa menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan atau berdamai.
Selepas persidangan, penasihat hukum ahli waris, Wellyantina Waloni menyambut terbuka anjuran untuk berdamai dengan pihak tergugat.
"Tadi secara tersirat sebenarnya kita ini di pihak yang benar. Kalau tidak benar enggak mungkin majelis hakim menganjurkan untuk berdamai," kata dia saat ditemui luar ruang sidang PN Jakarta Pusat.
"Dari keluarga berharap Duta Pertiwi itu ada niat atau iktikad baik, artinya berdamailah. Sebagaimana juga majelis hakim sudah mengajurkan untuk berdamai, dan itu tidak sekali. Berkali-kali majelis hakim sudah meminta agar berdamai," jelas Wellyantina.
Menurutnya, berdamai merupakan win-win solution, karena pihaknya memahami jika Duta Pertiwi telah mengeluarkan dana buat para penggarap. "Sudah membayar para penggarap untuk mengosongkan lahan, tapi yang belum dibayarkan adalah hak milik dari ahli waris," tambahnya.
Disebutkan juga bahwa saat awal sidang mediasi Oktober tahun lalu, pihak penggugat menawarkan penggantian sebesar Rp8 juta per petak, yang dari awalnya Rp12 juta. Namun, tawaran tersebut ditolak dan kasus ini dilanjutkan di persidangan.
"Kita bisa rembukan masalah harga. Memang harga NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) itu Rp28 juta per meter untuk yang di depan, terus ada yang 17, 18, sampai yang paling belakang yang sudah masuk wilayah Tambora atau Pasar Tambora itu harganya Rp7 juta. Tapi kita bisa negosiasilah. Realistis. Kami juga sudah memahami ya. Artinya kita juga tidak dalam rangka mau memeras pihak Duta Pertiwi, tidak. Hanya berikanlah secara wajar," tandasnya.
Selanjutnya Wellyantina menunggu respons dari pihak tergugat. Apabila tidak ada respons, maka pihaknya enggan memaksa Duta Pertiwi berdamai. Terlepas dari hal itu, Wellyantina merasa aneh, karena data yang dimiliki tergugat berdasarkan surat pernyataan.
"Ketika kita minta dasar menerbitkan sertifikat (untuk Duta Pertiwi), itu dari BPN enggak ada dasarnya. Tetapi bukti dari pihak Duta Pertiwi, itu buktinya hanya surat pernyataan, bukan hak. Itu kan kalau pemilik tanah kan harusnya ada Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, Hak Milik atau Hak Guna Usaha, tapi ini tidak ada, hanya pernyataan dari warga," terangnya.
Sementara itu, Wellyantina juga mengungkapkan, sebagian tanah yang berkasus itu sudah tercatat di Verponding Indonesia (sebutan untuk catatan tanah di awal kemerdekaan). Salah satu buktinya, BPN pernah menerbitkan sertifikat untuk tanah milik saudara ahli waris yang lokasinya berdekatan dan sama-sama tercatat dalam Verponding Indonesia.
"BPN kan semestinya sebagai aparatur negara yang mengetahui, memiliki data seluruh tanah di Indonesia mestinya pihak BPN tinggal bantah, seperti bilang begini, 'eh tanahmu bukan di situ, tanahmu di sini'. Sebenarnya BPN itu justru juri, juri yang paling akurat, karena mereka yang tahu betul datanya," ucapnya.
(poe)