Festival Palang Pintu Kemang Cara Jitu Mempertahankan Tradisi Betawi
A
A
A
JAKARTA - Festival Palang Pintu XIV kembali digelar di Kemang, Jakarta Selatan. Festival ini sengaja rutin digelar sejak tahun 2005 silam untuk mempertahankan tradisi masyarakat Betawi.
Pendiri Padepokan Seni Budaya Manggar Kelape dan Pencetus Festival Palang Pintu, Edy menjelaskan, Palang Pintu telah ada sekitar tahun 1933, saat itu Palang Pintu dahulu digunakan untuk menyambut tamu dari daerah lain. Sambutannya yang pertama adalah pihak laki-laki memberi salam dan pihak perempuan menjawab salam dan bertanya apa maksud dan tujuannya datang.
"Setelah itu baru debat pantun, membaca ayat suci Alquran dan dilanjutkan dengan adu silat. Dulu yang memakai adat ini adalah orang-orang kaya karena membutuhkan dana yang besar untuk alat musik dan segala macam," kata Edy pada SINDOnews pada Minggu (28/4/2019).
Edy melanjutkan, sekarang ini Palang Pintu kerap disaksikan untuk proses acara pernikahan. Upacara pernikahan bertujuan untuk memenuhi kewajiban dan perintah dari ajaran agama, yakni, Islam yang banyak dianut warga Betawi.
Adanya rangkaian upacara pernikahan pada adat Betawi dimaksudkan untuk memberi pesan kepada masyarakat bahwa pernikahan merupakan serangkaian ritual yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Oleh sebab itu, ada beberapa tahapan persyaratan tertentu yang harus dilakukan oleh pasangan pengantin saat melangsungkan prosesi pernikahan.
"Palang Pintu merupakan tradisi masyarakat Betawi untuk membuka penghalang orang lain untuk masuk ke daerah tertentu. Di mana daerah tersebut mempunyai jawara dan biasa dipakai di pernikahan. Perlengkapan pada tradisi palang pintu adalah rebana ketimpring, kembang kelape, petasan, sirih dare, pantun, sikeh, dan silat Betawi," ujarnya.
"Dahulu mohon maaf masih sangat tradisional secara ekonomi, kostum, jadi masih secara alami. Perkembangan modernnya sejak awal tahun 2000-an karena sudah ada perapihan kostum antara pemantun, pesilat dan yang lain," ujar pegiat budaya Betawi yang memiliki padepokan di Kemang Selatan 10 A RT 3/2 tersebut.
Terkait kegiatan Festival Palang Pintu, Edy mengungkapkan, festival ini digelar dari keprihatinannya pada 2004 silam, di mana saat itu masyarakat Jakarta khususnya Kemang yang dikenal religius dan berbudaya itu mulai terkikis, karena Kemang merupakan kampung ekspatriat.
Berawal dari situ, Edy mencoba membangun kekuatan, untuk mempertahankan tradisi masyarakat Kemang, yaitu mendirikan sanggar budaya bernama Manggar Kelape. Setelah mendirikan sanggar dan membina, Edy memperkenalkan pada masayarakat yang kala itu belum mengenal Palang Pintu.
"Saya inisiatif menggelar suatu event agar merajut seluruh lapisan masyarkat," ungkapnya. Pada tahun 2005 akhirnya menjadi event pertama Festival Palang Pintu, yang berlanjut hingga menjadi agenda rutin.
Festival Palang Pintu yang digelar pada tahun 2005 kala itu, bertujuan untuk mengubah masyarakat yang terhipnotis dengan hiburan dangdut."Mengubah karakter masyarakat pada kala itu hiburannya hanya dangdut. Kita ubah dengan acara hiburan Lenong lalu ditengahnya ada bazar-bazar kecil dan di dalamnya ada lomba budaya, palang pintu dimana menjadi daya tarik," ucapnya.
Pendiri Padepokan Seni Budaya Manggar Kelape dan Pencetus Festival Palang Pintu, Edy menjelaskan, Palang Pintu telah ada sekitar tahun 1933, saat itu Palang Pintu dahulu digunakan untuk menyambut tamu dari daerah lain. Sambutannya yang pertama adalah pihak laki-laki memberi salam dan pihak perempuan menjawab salam dan bertanya apa maksud dan tujuannya datang.
"Setelah itu baru debat pantun, membaca ayat suci Alquran dan dilanjutkan dengan adu silat. Dulu yang memakai adat ini adalah orang-orang kaya karena membutuhkan dana yang besar untuk alat musik dan segala macam," kata Edy pada SINDOnews pada Minggu (28/4/2019).
Edy melanjutkan, sekarang ini Palang Pintu kerap disaksikan untuk proses acara pernikahan. Upacara pernikahan bertujuan untuk memenuhi kewajiban dan perintah dari ajaran agama, yakni, Islam yang banyak dianut warga Betawi.
Adanya rangkaian upacara pernikahan pada adat Betawi dimaksudkan untuk memberi pesan kepada masyarakat bahwa pernikahan merupakan serangkaian ritual yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Oleh sebab itu, ada beberapa tahapan persyaratan tertentu yang harus dilakukan oleh pasangan pengantin saat melangsungkan prosesi pernikahan.
"Palang Pintu merupakan tradisi masyarakat Betawi untuk membuka penghalang orang lain untuk masuk ke daerah tertentu. Di mana daerah tersebut mempunyai jawara dan biasa dipakai di pernikahan. Perlengkapan pada tradisi palang pintu adalah rebana ketimpring, kembang kelape, petasan, sirih dare, pantun, sikeh, dan silat Betawi," ujarnya.
"Dahulu mohon maaf masih sangat tradisional secara ekonomi, kostum, jadi masih secara alami. Perkembangan modernnya sejak awal tahun 2000-an karena sudah ada perapihan kostum antara pemantun, pesilat dan yang lain," ujar pegiat budaya Betawi yang memiliki padepokan di Kemang Selatan 10 A RT 3/2 tersebut.
Terkait kegiatan Festival Palang Pintu, Edy mengungkapkan, festival ini digelar dari keprihatinannya pada 2004 silam, di mana saat itu masyarakat Jakarta khususnya Kemang yang dikenal religius dan berbudaya itu mulai terkikis, karena Kemang merupakan kampung ekspatriat.
Berawal dari situ, Edy mencoba membangun kekuatan, untuk mempertahankan tradisi masyarakat Kemang, yaitu mendirikan sanggar budaya bernama Manggar Kelape. Setelah mendirikan sanggar dan membina, Edy memperkenalkan pada masayarakat yang kala itu belum mengenal Palang Pintu.
"Saya inisiatif menggelar suatu event agar merajut seluruh lapisan masyarkat," ungkapnya. Pada tahun 2005 akhirnya menjadi event pertama Festival Palang Pintu, yang berlanjut hingga menjadi agenda rutin.
Festival Palang Pintu yang digelar pada tahun 2005 kala itu, bertujuan untuk mengubah masyarakat yang terhipnotis dengan hiburan dangdut."Mengubah karakter masyarakat pada kala itu hiburannya hanya dangdut. Kita ubah dengan acara hiburan Lenong lalu ditengahnya ada bazar-bazar kecil dan di dalamnya ada lomba budaya, palang pintu dimana menjadi daya tarik," ucapnya.
(whb)