Antisipasi Banjir, DKI Pastikan Semua Pompa Standby Saat Hujan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengandalkan pompa untuk mengatasi genangan atau banjir akibat hujan. Semua pompa harus dipastikan memiliki cadangan agar tidak terjadi genangan atau banjir.
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dalam instagramnya Sabtu 9 Maret 2019 mengecek kesiapan pintu air dari Istiqlal hingga Ancol untuk memastikan kembali semua pompa bekerja dengan baik
Anies menyatakan, berbagai wilayah Indonesia beberapa hari ini mengalami cuaca ekstrim, termasuk di Jakarta. Curah hujan ekstrim, kiriman air dari hulu dan ditambah rob pasang laut tinggi adalah sebuah kombinasi yang cukup menantang.
Apalagi bila terjadi kerusakan pompa, sehingga tidak bisa surut cepat seperti pada 5 Maret lalu. Ketika pompa terganggu, kecepatan mengalirkan berkurang maka terjadilah genangan.
Anies beralasan pompa diperlukan lantaran
Permukaan tanah lebih rendah daripada permukaan air sungai. Jadi ketika curah hujan tinggi di daerah yang tanahnya rendah itu air harus dialirkan ke sungai dengan pompa. Mengapa permukaan air sungai lebih tinggi daripada permukaan tanah di samping sungai?Karena beberapa wilayah di utara Jakarta mengalami percepatan penurunan permukaan tanah selama beberapa dekade terakhir.
Apalagi jika ada rob: permukaan air sungai bisa lebih rendah daripada permukaan air laut. Lagi-lagi, perlu pompa utk mengalirkan air sungai ke laut jawa.
Itu sebabnya DKI memiliki lebih dari 450 pompa raksasa untuk mengalirkan air dari pemukiman ke sungai dan mengalirkan dari sungai ke laut.
Menurut BMKG curah hujan di DKI Jakarta masih tinggi sepanjang Maret 2019, DKI terus siaga untuk memastikan tidak terjadi banjir.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Rodia Renaningrum mengatakan, upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi banjir atau genangan yang terjadi akibat hujan saat ini memang memaksimalkan rumah pompa serta pengerukan saluran penghubung makro dan mikro. Termasuk embung, setu dan waduk.
Rodia menyatakan, penanganan banjir itu dilakukan dari hulu ke hilir. Di hulu menormalisasi waduk dan embung, di hilir menggunakan pompa. Selain itu, pembuatan sumur resapan atau drainasee vetikal juga dilakukan secara masif agar tidak semua air hujan dialirkan ke laut.
"Kami telah membuat 76 sumur resapan di dekat rumah pompa yang sudah dikerjakan dari rencana 140 tambah 100 dikawasan monas. Air hujan sebanyak-banyaknya harus disimpan di dalam tanah," kata Rodia saat dihubungi, Senin (11/3/2019).
Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Yusmada Faisal mengatakan, genangan yang terjadi beberapa waktu lalu akibat tidak berfungsinya pompa. Seperti yang terjadi di kawasan Mangga Dua, Jakarta Pusat. Menurutnya, apabila pompa mobile yang disiagakan sebagai pengganti rusaknya pompa utama berfungsi otomatis, banjir tersebut tentunya dapat diminimalisir.
Jadi, kata Yusmada, antispasi untuk penanganan genangan di jakarta ini salah satunya pompa harus operasi atau standby mengingat permukaan tanah saat ini berada dibawah sungai atau Kali.
"Mangga Dua ini kan ada pompa yang utama mestinya harus ada backup itu yang harus kita pikirkan. Semua pompa kita harus sedapat mungkin ada backup pompanya," ujarnya.
Yusmada menjelaskan, kapasitas pompa stationer berbeda dengan pompa mobile. Dimana, pompa stationer lebih besar sekitar 1,8 meter kubik dibandingkan pompa mobile yang hanya sekitar 1 meter kubik. Akibatnya, genangan membutuhkan waktu untuk surut.
Untuk itu, lanjut Yusmada, pihaknya menyiapkan pompa mobile lebih dari satu untuk membackup pompa stationer. Di Mangga Dua sendiri, saat ini sedikitnya ada empat pompa mobile, tiga milik Dinas SDA dan satu milik Pemadam Kebakaran (damkar).
"Seluruh pompa stanby. Hanya tiga yang rusak, yaitu Mangga Dua, Muara Angke dan Setia Budi Barat. Ketiganya dalam perbaikan dan Kita stanby kan pompa mobile," ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengevaluasi Kepala SDA dan menganntinya dengan yangg lebih baik, inovatif, dan peduli lingkungan akan pentingnya air bagi kota. Sebab, selama ini SDA fokus mengalirkan air sebanyak-banyaknya ke laut melalui normalisasi.
Nirwono menyebutkan lima penanganan banjir yang harus dilakukan. Pertama, naturalisasi 13 sungai bukan normalisasi atau betonisasi sungai. Kedua, revitalisasi 44 waduk dan 14 situ yang masih terlantar. Ketiga, Rehabilitasi seluruh saluran air dari skala mikro, meso, makro agar terhubun baik dan lancar tidak ada yang tersumbat.
Keempat, optimaisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sudah ada sebagai daerah resapan air dan terus menambah RTH baru, bukan Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA). Terakhir, optimaisasi halaman rumah, kantor, dan lain-lain sebagai daerah resapan air.
"Intinya tidak ada air hujan yang terbuang, tetapi semua diresapkan dalam tanah atau ditampung di dalam kolam penampungan sebagai cadangan air," ungkapnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dalam instagramnya Sabtu 9 Maret 2019 mengecek kesiapan pintu air dari Istiqlal hingga Ancol untuk memastikan kembali semua pompa bekerja dengan baik
Anies menyatakan, berbagai wilayah Indonesia beberapa hari ini mengalami cuaca ekstrim, termasuk di Jakarta. Curah hujan ekstrim, kiriman air dari hulu dan ditambah rob pasang laut tinggi adalah sebuah kombinasi yang cukup menantang.
Apalagi bila terjadi kerusakan pompa, sehingga tidak bisa surut cepat seperti pada 5 Maret lalu. Ketika pompa terganggu, kecepatan mengalirkan berkurang maka terjadilah genangan.
Anies beralasan pompa diperlukan lantaran
Permukaan tanah lebih rendah daripada permukaan air sungai. Jadi ketika curah hujan tinggi di daerah yang tanahnya rendah itu air harus dialirkan ke sungai dengan pompa. Mengapa permukaan air sungai lebih tinggi daripada permukaan tanah di samping sungai?Karena beberapa wilayah di utara Jakarta mengalami percepatan penurunan permukaan tanah selama beberapa dekade terakhir.
Apalagi jika ada rob: permukaan air sungai bisa lebih rendah daripada permukaan air laut. Lagi-lagi, perlu pompa utk mengalirkan air sungai ke laut jawa.
Itu sebabnya DKI memiliki lebih dari 450 pompa raksasa untuk mengalirkan air dari pemukiman ke sungai dan mengalirkan dari sungai ke laut.
Menurut BMKG curah hujan di DKI Jakarta masih tinggi sepanjang Maret 2019, DKI terus siaga untuk memastikan tidak terjadi banjir.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Rodia Renaningrum mengatakan, upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi banjir atau genangan yang terjadi akibat hujan saat ini memang memaksimalkan rumah pompa serta pengerukan saluran penghubung makro dan mikro. Termasuk embung, setu dan waduk.
Rodia menyatakan, penanganan banjir itu dilakukan dari hulu ke hilir. Di hulu menormalisasi waduk dan embung, di hilir menggunakan pompa. Selain itu, pembuatan sumur resapan atau drainasee vetikal juga dilakukan secara masif agar tidak semua air hujan dialirkan ke laut.
"Kami telah membuat 76 sumur resapan di dekat rumah pompa yang sudah dikerjakan dari rencana 140 tambah 100 dikawasan monas. Air hujan sebanyak-banyaknya harus disimpan di dalam tanah," kata Rodia saat dihubungi, Senin (11/3/2019).
Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Yusmada Faisal mengatakan, genangan yang terjadi beberapa waktu lalu akibat tidak berfungsinya pompa. Seperti yang terjadi di kawasan Mangga Dua, Jakarta Pusat. Menurutnya, apabila pompa mobile yang disiagakan sebagai pengganti rusaknya pompa utama berfungsi otomatis, banjir tersebut tentunya dapat diminimalisir.
Jadi, kata Yusmada, antispasi untuk penanganan genangan di jakarta ini salah satunya pompa harus operasi atau standby mengingat permukaan tanah saat ini berada dibawah sungai atau Kali.
"Mangga Dua ini kan ada pompa yang utama mestinya harus ada backup itu yang harus kita pikirkan. Semua pompa kita harus sedapat mungkin ada backup pompanya," ujarnya.
Yusmada menjelaskan, kapasitas pompa stationer berbeda dengan pompa mobile. Dimana, pompa stationer lebih besar sekitar 1,8 meter kubik dibandingkan pompa mobile yang hanya sekitar 1 meter kubik. Akibatnya, genangan membutuhkan waktu untuk surut.
Untuk itu, lanjut Yusmada, pihaknya menyiapkan pompa mobile lebih dari satu untuk membackup pompa stationer. Di Mangga Dua sendiri, saat ini sedikitnya ada empat pompa mobile, tiga milik Dinas SDA dan satu milik Pemadam Kebakaran (damkar).
"Seluruh pompa stanby. Hanya tiga yang rusak, yaitu Mangga Dua, Muara Angke dan Setia Budi Barat. Ketiganya dalam perbaikan dan Kita stanby kan pompa mobile," ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengevaluasi Kepala SDA dan menganntinya dengan yangg lebih baik, inovatif, dan peduli lingkungan akan pentingnya air bagi kota. Sebab, selama ini SDA fokus mengalirkan air sebanyak-banyaknya ke laut melalui normalisasi.
Nirwono menyebutkan lima penanganan banjir yang harus dilakukan. Pertama, naturalisasi 13 sungai bukan normalisasi atau betonisasi sungai. Kedua, revitalisasi 44 waduk dan 14 situ yang masih terlantar. Ketiga, Rehabilitasi seluruh saluran air dari skala mikro, meso, makro agar terhubun baik dan lancar tidak ada yang tersumbat.
Keempat, optimaisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sudah ada sebagai daerah resapan air dan terus menambah RTH baru, bukan Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA). Terakhir, optimaisasi halaman rumah, kantor, dan lain-lain sebagai daerah resapan air.
"Intinya tidak ada air hujan yang terbuang, tetapi semua diresapkan dalam tanah atau ditampung di dalam kolam penampungan sebagai cadangan air," ungkapnya.
(whb)