IPB Sebut Ikan dari Teluk Jakarta Tak Layak Dikonsumsi
A
A
A
BOGOR - Kondisi tingkat pencemaran dan jumlah bahan toksik (zat yang dapat menyebabkan fungsi tubuh menjadi tidak normal) yang terdapat di Teluk Jakarta sebagai tempat bermuaranya 13 sungai, tiap tahun terus meningkat tajam.
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Etty Riani dalam konferensi pers pra orasi ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Kamis (21/2/2019).
Menurutnya, Teluk Jakarta bukan hanya mendapatkan bahan pencemar dari dari darat yang masuk melalui sungai saja, akan tetapi dari kegiatan diperairan juga berkontribusi atas tingginya tingkat pencemaran.
"Sebagai contoh dari kegiatan pelabuhan disumbang bahan pencemar toksik dan non toksik yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb, Cr dan Sn dalam sedimen dan biota khususnya kerang hijau, meningkat sangat tajam hampir menyerupai kurva eksponensial," terangnya.
Menurutnya, logam berat dapat masuk ke dalam ikan, melalui permukaan tubuhnya. Kemudian sel chlorid pada insang, atau melalui proses makan memakan (biomagnifikasi) yang selanjutnya terakumulasi dalam organ tubuh dan bersifat irreversible (tak dapat dilepas).
"Akumulasi logam berat, dan kerusakan organ yang lebih parah terjadi pada ikan barakuda, pepetek, sokang, beloso dan kerang hijau di Teluk Jakarta. Bahan-bahan toksik tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya kecacatan pada sironomid di Waduk Saguling dan kerang hijau Teluk Jakarta," jelasnya.
Kandungan baham tersebut, lanjut dia, mengakibatkan ikan tak aman lagi untuk dikonsumsi secara bebas. Namun ikan yang ada di Pulau Seribu walau dagingnya sudah terkontaminasi logam berat namun konsentrasinya sangat kecil, sehingga masih relatif aman dikonsumsi.
"Oleh karena itu, mengkonsumsi daging ikan dari Teluk Jakarta berpotensi untuk terkena penyakit kanker dan penyakit degeneratif non kanker," ungkapnya.
Prilaku manusia, kata dia, sering mengakibatkan perubahan dramatis pada lingkungan apalagi di wilayah DKI Jakarta dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang kegiatan antropogeniknya sangat beragam dan kompleks, serta terdapat berbagai konflik kepentingan.
"Maka dari itu, perlu melakukan pengelolaan lingkungan agar dapat memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif. Terkait hal tersebut maka opsi pengelolaan wilayah berupa melakukan perencanaan pengelolaan terpadu antara sungai, pesisir, dan laut sebagai kesatuan atau dikenal Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management," tuturnya.
Namun yang terpenting dari semuanya agar pembangunan menjadi berkelanjutan adalah komitmen dan implementasi dari rencana pengelolaan yang sudah dibuat dengan sangat baik serta menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai budaya.
"Sehingga selain dapat memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudharat dari pembangunan berkelanjutan sekaligus terhindar dari tuduhan sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan kebijakan namun miskin komitmen dan implementasi," pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar IPB lainnya Irmanida Batubara memaparkan tentang seleksi biofarmaka untuk kebugaran dapat diekplorasi melalui pendekatan kimia bioanalitik yang merupakan cabang ilmu kimia.
"Teknik bioasai sebagai salah satu bagian kimia bioanalitik digunakan dalam eksplorasi biofarmaka berpotensi," katanya. (Baca Juga: Pulau Reklamasi Teluk Jakarta Disarankan Jadi Kompleks Olahraga
Menurutnya, Indonesia saat ini telah menuju tingkat kehidupan yang lebih baik dan sudah saatnya Indonesia memperhatikan kebugaran masyarakat.
"Sumber biofarmaka berpotensi kebugarab telah ditemukan melalui kerja sama antar pihak di dalam maupun luar negeri yang dilakukan dengan memperhatikan konvensi keanekaragaman hayati," tuturnya.
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Etty Riani dalam konferensi pers pra orasi ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Kamis (21/2/2019).
Menurutnya, Teluk Jakarta bukan hanya mendapatkan bahan pencemar dari dari darat yang masuk melalui sungai saja, akan tetapi dari kegiatan diperairan juga berkontribusi atas tingginya tingkat pencemaran.
"Sebagai contoh dari kegiatan pelabuhan disumbang bahan pencemar toksik dan non toksik yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb, Cr dan Sn dalam sedimen dan biota khususnya kerang hijau, meningkat sangat tajam hampir menyerupai kurva eksponensial," terangnya.
Menurutnya, logam berat dapat masuk ke dalam ikan, melalui permukaan tubuhnya. Kemudian sel chlorid pada insang, atau melalui proses makan memakan (biomagnifikasi) yang selanjutnya terakumulasi dalam organ tubuh dan bersifat irreversible (tak dapat dilepas).
"Akumulasi logam berat, dan kerusakan organ yang lebih parah terjadi pada ikan barakuda, pepetek, sokang, beloso dan kerang hijau di Teluk Jakarta. Bahan-bahan toksik tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya kecacatan pada sironomid di Waduk Saguling dan kerang hijau Teluk Jakarta," jelasnya.
Kandungan baham tersebut, lanjut dia, mengakibatkan ikan tak aman lagi untuk dikonsumsi secara bebas. Namun ikan yang ada di Pulau Seribu walau dagingnya sudah terkontaminasi logam berat namun konsentrasinya sangat kecil, sehingga masih relatif aman dikonsumsi.
"Oleh karena itu, mengkonsumsi daging ikan dari Teluk Jakarta berpotensi untuk terkena penyakit kanker dan penyakit degeneratif non kanker," ungkapnya.
Prilaku manusia, kata dia, sering mengakibatkan perubahan dramatis pada lingkungan apalagi di wilayah DKI Jakarta dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang kegiatan antropogeniknya sangat beragam dan kompleks, serta terdapat berbagai konflik kepentingan.
"Maka dari itu, perlu melakukan pengelolaan lingkungan agar dapat memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif. Terkait hal tersebut maka opsi pengelolaan wilayah berupa melakukan perencanaan pengelolaan terpadu antara sungai, pesisir, dan laut sebagai kesatuan atau dikenal Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management," tuturnya.
Namun yang terpenting dari semuanya agar pembangunan menjadi berkelanjutan adalah komitmen dan implementasi dari rencana pengelolaan yang sudah dibuat dengan sangat baik serta menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai budaya.
"Sehingga selain dapat memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudharat dari pembangunan berkelanjutan sekaligus terhindar dari tuduhan sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan kebijakan namun miskin komitmen dan implementasi," pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar IPB lainnya Irmanida Batubara memaparkan tentang seleksi biofarmaka untuk kebugaran dapat diekplorasi melalui pendekatan kimia bioanalitik yang merupakan cabang ilmu kimia.
"Teknik bioasai sebagai salah satu bagian kimia bioanalitik digunakan dalam eksplorasi biofarmaka berpotensi," katanya. (Baca Juga: Pulau Reklamasi Teluk Jakarta Disarankan Jadi Kompleks Olahraga
Menurutnya, Indonesia saat ini telah menuju tingkat kehidupan yang lebih baik dan sudah saatnya Indonesia memperhatikan kebugaran masyarakat.
"Sumber biofarmaka berpotensi kebugarab telah ditemukan melalui kerja sama antar pihak di dalam maupun luar negeri yang dilakukan dengan memperhatikan konvensi keanekaragaman hayati," tuturnya.
(mhd)