Perjuangan MH Thamrin, Pahlawan Asal Jakarta untuk Persija
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan sepak bola VoetBal Boemipoetera (VBB) yang kemudian hari berubah namanya menjadi Voertbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) dan pada 1942 menjadi Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta ( Persija ). Perubahan nama itu tidak luput dari campur tangan Mohammad Husni Thamrin.
Pertama kali Persija bermarkas di lapangan VIJ yang beralamat di Jalan Petojo VI No 2 RT3/6, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat adalah saksi sejarah lahirnya klub kebanggaan masyarakat ibu kota.
Mohammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894 dari pasangan Thamrin Muhammad Thabri dan Nurhamah di Kampung Sawah Besar, Batavia. Saat itu ia tinggal tidak jauh dari pusat kota baru Batavia dan merasakan betul sistem rasis kota kolonial. Sedangkan, keluarganya adalah peranakan Eropa.
Ia sering disebut sebagai kaum elite, super kaya Betawi dan ayahnya pejabat dalam struktur pemerintahan kolonial. Sebab itu Thamrin bersekolah Belanda. Pertama ia memasuki Bijbelschool Pasar Baru, semacam sekolah kanak-kanak Kristen. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Koning Willem Drie (KW III). Keduanya sekolah berbahasa Belanda.
Meski dididik secara Eropa, bahkan di sekolah, Thamrin memiliki nama Belanda, yaitu Jacob, tetapi kedekatan hatinya terutama pada kampung dan manusianya yang memanggil ia dengan sebutan Matseni.
Karena itulah, dalam sepak terjangnya ketika masih sangat muda di politik, maka ideologi pembelaannya jelas yaitu rakyat kecil. Dia menuntut pemerintah kolonial menganggarkan puluhan ribu gulden untuk perbaikan kampung. Thamrin berbicara lantang, "Sejak kecil, walau saya anak wedana, saya bergaul dengan anak-anak jelata".
Sejak kecil, pahlawan nasional asal Jakarta itu dihadapkan pada kenyataan pahit kehidupan. Banjir menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Thamrin melihat sendiri betapa buruk kampung dan jalan tempatnya bermain.
Tetapi, sebagai politikus di Gemeenteraad dan Volksraad, kepedulian Thamrin tak melulu seperti yang sering didengungkan yaitu pada soal kampung dan kemiskinan, tetapi juga diutarakan lewat sepak bola. Ia sendiri adalah pencandu sepak bola. Sebagai anggota Gemeenteraad dan Volkraad yang dianggap paling berbahaya, Thamrin mendesak pemerintah kota untuk memperhatikan dunia persepakbolaan di kalangan orang kampung.
Sepakbola dan Thamrin lahir ditandai oleh gemuruh arus masuknya elemen-elemen aufklarung, yaitu ideologi-ideologi besar, seperti sosialisme, komunisme, nasionalisme dan islamisme. Seperti ideologi-ideologi itu yang begitu tiba di Hindia Belanda menjadi "agama baru", demikian juga sepak bola tumbuh menjadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat dan sejarah kolonial.
Sebab itu sebagaimana pergerakan politik yang tumbuh pada awal ke-20, begitu berbagai bond atau klub sepak bola yang bermunculan di saatyang hapir bersamaan juga segera diliputi semua sifat khas zaman itu yang menurut sejawaran Ben Anderson: muda, maju, dan sadar.
Tak ayal sepakbola dan peregrakan kebangsaan dekat sekali. Thamrin adalah gambaran kedekatan itu. Sebab itu dialah yang dicari manakala klub sepakbola pribumi menghadapi masalah-masalah, seperti politik ras di lapangan sepakbola. Ini terlihat jelas manakala klub sepak bila pribumi tidak boleh merumput di lapangan bond sepakbola Eropa di Batavia, meskipun tujuannya untuk pertandingan amal menolong korban kebakaran.
Sejarawan JJ Rizal yang juga Ketua Festival 125 Tahun MH Thamrin mengatakan, Thamrin sebagai penyambung semangat Kongres Pemuda Oktober 1928 ke dalam klub sepak bola pribumi agar mengadopsi semangat persatuan.
Sebab itu, sebulan setelah peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, berdirilah perkumpulan sepak bola VBB, kemudian berubah menjadi VIJ hingga akhirnya menjadi nama Persija.
Penggunaan kata Indonesia sudah cukup menjelaskan bagaimana kuatnya pengaruh politik pergerakan di dalam VIJ.
Apalagi kemudian Thamrin pun diangkat sebagai pelindung VIJ. Thamrin mendesak agar pemerintah kolonial memperhatikan sepak bola bumiputera di Gemeente dan Volksraad. Sebab VIJ mengalami masalah pelik tidak punya lapangan bola yang baik dan sesuai standar. Bahkan tak cukup hanya bicara, Thamrin juga menyumbangkan 2.000 gulden dari kantong pribadinya untuk membuat lapangan sepakbola yang layak bagi kaum pribumi.
Berkat inilah bond sepakbola pribumi pertama kali memiliki stadion sepakbola yang representatif dan berstandar internasional dengan tribun juga ruang makan. Lapangan di Laan Triveli inilah yang menjadi markas VIJ.
VIJ kemudian mendorong terjadinya persatuan yang lebih luas klub-klub sepakbola pribumi. Mereka aktif berkorespodensi dengan klub-klub pribumi lainnya dan mengontak secara khusus Ir Soeratin agar angan-angan persatuan klub sepak bola pribumi itu terbentuk.
Hasilnya adalah pada 19 April 1930 terbentuklah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sementara itu bersamaan Thamrin telah bertindak menjadi jembatan dunia pergerakan dan sepakbola dalam skala yang lebih luas. Ia seringkali mengajak para koleganya di Dewan Rakyat maupun di luarnya untuk ikut menghadiri pertandingan yang diselenggarakan VIJ maupun PSSI.
Bahkan mereka pun diajak ikut bermain dalam pertandingan persahabatan. Kehadiran elite politik tersebut merupakan bentuk dukungan moril terhadap perjuangan bangsa Indonesia melalui sepak bola.
Abdillah Afiif, salah seorang tim penulis buku Gue Persija & Abidin-Side Fanzine menyebut, dalam perjalananannya tercatat nama-nama politikus lainnya, seperti Mr. Hadi, Iskandar Brata, Mr. Kusuma Atmaja, Dr. Moewardi dan Dr. A. Halim yang juga ikut membentengi perjuangan VIJ. Tak bisa dimungkiri bahwa sejarah sepak bola Indonesia tidak terlepas dari perjuangan politik para elite gerakan nasional Indonesia saat itu.
Thamrin, bahkan telah membawa tokoh pergerakan bangsa dan proklamator Sukarno ke dalam stadion VIJ. Pada saat pertandingan final antara VIJ dan PSIM, Thamrin secara khusus meminta Sukarno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin untuk melakukan tendangan pertama tanda dimulainya pertandingan. Ini sesungguhnya melambangkan visi nasionalisme Thamrin bahwa sepak bola bukan medan kepentingan, melainkan perjuangan dan ujung tombak gerakan kebangsaan.
Artefak sepakbola dan gerakan kebangsaan sebagai warisan MH Thamrin itu sampai hari ini kita masih bisa saksikan yaitu Stadion VIJ.
Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita, mengatakan penamaan Stadion Persija dengan M.H. Thamrin adalah penghormatan khusus kepada orang Betawi karena Thamrin adalah pahlawan besar dari Betawi. Thamrin sebagai pahlawan nasional dari Betawi perjuangan politiknya harus diingat lagi di masa kini agar menjadi teladan.
Ketua Perkumpulan Betawi Kita, Roni Adi mengatakan penamaan Stadion Persija dengan MH Thamrin adalah penghormatan khusus kepada orang Betawi karena Thamrin adalah pahlawan dari Betawi. Thamrin sebagai pahlawan nasional dari Betawi perjuangan politiknya harus diingat lagi di masa kini agar menjadi teladan.
Berlatarbelakang itu semua, Festival 125 Tahun MH Thamrin yang mengambil tema “125 Tahun MH Thamrin: Jungkir Balik demi Jakarta” ini dilaksanakan. Seminar yang mengambil subtema “Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin: Thamrin Memulai, Anies Mewujudkan” dengan pembicara JJ Rizal (sejarawan), Abdillah Afiif (tim penulis buku Gue Persija & Abidin-Side Fanzine),Wahyu Afandi (Direktur Operasional Jakpro), serta moderator Kojek Rap Betawi.
Pada Sabtu 16 Februari 2019, akan ada pula pameran foto dengan subtema “Sejarah VIJ hingga Persija: MH Thamrin, Politik dan Sepak Bola Kebangsaan” di Lapangan Sepak Bola VIJ, Jalan Petojo VI No 2 Rt 3 Rw 6, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat. Juga pertandingan persahabatan Warga Kampung feat Gubernur dan Sekda DKI Jakarta dengan Persija Oldstar, pertandingan sepak bola perempuan “Persijap Kartini Jepara vs Putri BMIFA Banten”, lomba stand up comedy dengan tema “Sepak Bola dan Orang Kampung”, ditambah hiburan gambang rancak, orkes Melayu, dan band Gondal-Gandul. Acara berlangsung di Lapangan Sepak Bola VIJ mulai pukul 07.00 – 16.00 WIB. Acara terlaksana berkat sokongan penuh Pemprov DKI Jakarta dan seluruh BUMD DKI Jakarta. Informasi ini dikutip dari www.betawikita.id.
Pertama kali Persija bermarkas di lapangan VIJ yang beralamat di Jalan Petojo VI No 2 RT3/6, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat adalah saksi sejarah lahirnya klub kebanggaan masyarakat ibu kota.
Mohammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894 dari pasangan Thamrin Muhammad Thabri dan Nurhamah di Kampung Sawah Besar, Batavia. Saat itu ia tinggal tidak jauh dari pusat kota baru Batavia dan merasakan betul sistem rasis kota kolonial. Sedangkan, keluarganya adalah peranakan Eropa.
Ia sering disebut sebagai kaum elite, super kaya Betawi dan ayahnya pejabat dalam struktur pemerintahan kolonial. Sebab itu Thamrin bersekolah Belanda. Pertama ia memasuki Bijbelschool Pasar Baru, semacam sekolah kanak-kanak Kristen. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Koning Willem Drie (KW III). Keduanya sekolah berbahasa Belanda.
Meski dididik secara Eropa, bahkan di sekolah, Thamrin memiliki nama Belanda, yaitu Jacob, tetapi kedekatan hatinya terutama pada kampung dan manusianya yang memanggil ia dengan sebutan Matseni.
Karena itulah, dalam sepak terjangnya ketika masih sangat muda di politik, maka ideologi pembelaannya jelas yaitu rakyat kecil. Dia menuntut pemerintah kolonial menganggarkan puluhan ribu gulden untuk perbaikan kampung. Thamrin berbicara lantang, "Sejak kecil, walau saya anak wedana, saya bergaul dengan anak-anak jelata".
Sejak kecil, pahlawan nasional asal Jakarta itu dihadapkan pada kenyataan pahit kehidupan. Banjir menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Thamrin melihat sendiri betapa buruk kampung dan jalan tempatnya bermain.
Tetapi, sebagai politikus di Gemeenteraad dan Volksraad, kepedulian Thamrin tak melulu seperti yang sering didengungkan yaitu pada soal kampung dan kemiskinan, tetapi juga diutarakan lewat sepak bola. Ia sendiri adalah pencandu sepak bola. Sebagai anggota Gemeenteraad dan Volkraad yang dianggap paling berbahaya, Thamrin mendesak pemerintah kota untuk memperhatikan dunia persepakbolaan di kalangan orang kampung.
Sepakbola dan Thamrin lahir ditandai oleh gemuruh arus masuknya elemen-elemen aufklarung, yaitu ideologi-ideologi besar, seperti sosialisme, komunisme, nasionalisme dan islamisme. Seperti ideologi-ideologi itu yang begitu tiba di Hindia Belanda menjadi "agama baru", demikian juga sepak bola tumbuh menjadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat dan sejarah kolonial.
Sebab itu sebagaimana pergerakan politik yang tumbuh pada awal ke-20, begitu berbagai bond atau klub sepak bola yang bermunculan di saatyang hapir bersamaan juga segera diliputi semua sifat khas zaman itu yang menurut sejawaran Ben Anderson: muda, maju, dan sadar.
Tak ayal sepakbola dan peregrakan kebangsaan dekat sekali. Thamrin adalah gambaran kedekatan itu. Sebab itu dialah yang dicari manakala klub sepakbola pribumi menghadapi masalah-masalah, seperti politik ras di lapangan sepakbola. Ini terlihat jelas manakala klub sepak bila pribumi tidak boleh merumput di lapangan bond sepakbola Eropa di Batavia, meskipun tujuannya untuk pertandingan amal menolong korban kebakaran.
Sejarawan JJ Rizal yang juga Ketua Festival 125 Tahun MH Thamrin mengatakan, Thamrin sebagai penyambung semangat Kongres Pemuda Oktober 1928 ke dalam klub sepak bola pribumi agar mengadopsi semangat persatuan.
Sebab itu, sebulan setelah peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, berdirilah perkumpulan sepak bola VBB, kemudian berubah menjadi VIJ hingga akhirnya menjadi nama Persija.
Penggunaan kata Indonesia sudah cukup menjelaskan bagaimana kuatnya pengaruh politik pergerakan di dalam VIJ.
Apalagi kemudian Thamrin pun diangkat sebagai pelindung VIJ. Thamrin mendesak agar pemerintah kolonial memperhatikan sepak bola bumiputera di Gemeente dan Volksraad. Sebab VIJ mengalami masalah pelik tidak punya lapangan bola yang baik dan sesuai standar. Bahkan tak cukup hanya bicara, Thamrin juga menyumbangkan 2.000 gulden dari kantong pribadinya untuk membuat lapangan sepakbola yang layak bagi kaum pribumi.
Berkat inilah bond sepakbola pribumi pertama kali memiliki stadion sepakbola yang representatif dan berstandar internasional dengan tribun juga ruang makan. Lapangan di Laan Triveli inilah yang menjadi markas VIJ.
VIJ kemudian mendorong terjadinya persatuan yang lebih luas klub-klub sepakbola pribumi. Mereka aktif berkorespodensi dengan klub-klub pribumi lainnya dan mengontak secara khusus Ir Soeratin agar angan-angan persatuan klub sepak bola pribumi itu terbentuk.
Hasilnya adalah pada 19 April 1930 terbentuklah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sementara itu bersamaan Thamrin telah bertindak menjadi jembatan dunia pergerakan dan sepakbola dalam skala yang lebih luas. Ia seringkali mengajak para koleganya di Dewan Rakyat maupun di luarnya untuk ikut menghadiri pertandingan yang diselenggarakan VIJ maupun PSSI.
Bahkan mereka pun diajak ikut bermain dalam pertandingan persahabatan. Kehadiran elite politik tersebut merupakan bentuk dukungan moril terhadap perjuangan bangsa Indonesia melalui sepak bola.
Abdillah Afiif, salah seorang tim penulis buku Gue Persija & Abidin-Side Fanzine menyebut, dalam perjalananannya tercatat nama-nama politikus lainnya, seperti Mr. Hadi, Iskandar Brata, Mr. Kusuma Atmaja, Dr. Moewardi dan Dr. A. Halim yang juga ikut membentengi perjuangan VIJ. Tak bisa dimungkiri bahwa sejarah sepak bola Indonesia tidak terlepas dari perjuangan politik para elite gerakan nasional Indonesia saat itu.
Thamrin, bahkan telah membawa tokoh pergerakan bangsa dan proklamator Sukarno ke dalam stadion VIJ. Pada saat pertandingan final antara VIJ dan PSIM, Thamrin secara khusus meminta Sukarno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin untuk melakukan tendangan pertama tanda dimulainya pertandingan. Ini sesungguhnya melambangkan visi nasionalisme Thamrin bahwa sepak bola bukan medan kepentingan, melainkan perjuangan dan ujung tombak gerakan kebangsaan.
Artefak sepakbola dan gerakan kebangsaan sebagai warisan MH Thamrin itu sampai hari ini kita masih bisa saksikan yaitu Stadion VIJ.
Roni Adi, Ketua Perkumpulan Betawi Kita, mengatakan penamaan Stadion Persija dengan M.H. Thamrin adalah penghormatan khusus kepada orang Betawi karena Thamrin adalah pahlawan besar dari Betawi. Thamrin sebagai pahlawan nasional dari Betawi perjuangan politiknya harus diingat lagi di masa kini agar menjadi teladan.
Ketua Perkumpulan Betawi Kita, Roni Adi mengatakan penamaan Stadion Persija dengan MH Thamrin adalah penghormatan khusus kepada orang Betawi karena Thamrin adalah pahlawan dari Betawi. Thamrin sebagai pahlawan nasional dari Betawi perjuangan politiknya harus diingat lagi di masa kini agar menjadi teladan.
Berlatarbelakang itu semua, Festival 125 Tahun MH Thamrin yang mengambil tema “125 Tahun MH Thamrin: Jungkir Balik demi Jakarta” ini dilaksanakan. Seminar yang mengambil subtema “Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin: Thamrin Memulai, Anies Mewujudkan” dengan pembicara JJ Rizal (sejarawan), Abdillah Afiif (tim penulis buku Gue Persija & Abidin-Side Fanzine),Wahyu Afandi (Direktur Operasional Jakpro), serta moderator Kojek Rap Betawi.
Pada Sabtu 16 Februari 2019, akan ada pula pameran foto dengan subtema “Sejarah VIJ hingga Persija: MH Thamrin, Politik dan Sepak Bola Kebangsaan” di Lapangan Sepak Bola VIJ, Jalan Petojo VI No 2 Rt 3 Rw 6, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat. Juga pertandingan persahabatan Warga Kampung feat Gubernur dan Sekda DKI Jakarta dengan Persija Oldstar, pertandingan sepak bola perempuan “Persijap Kartini Jepara vs Putri BMIFA Banten”, lomba stand up comedy dengan tema “Sepak Bola dan Orang Kampung”, ditambah hiburan gambang rancak, orkes Melayu, dan band Gondal-Gandul. Acara berlangsung di Lapangan Sepak Bola VIJ mulai pukul 07.00 – 16.00 WIB. Acara terlaksana berkat sokongan penuh Pemprov DKI Jakarta dan seluruh BUMD DKI Jakarta. Informasi ini dikutip dari www.betawikita.id.
(mhd)