Pembangunan Pembangkit Listrik Sampah Solusi Penanganan Sampah Plastik
A
A
A
JAKARTA - Langkah sejumlah pemerintahan daerah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai merupakan langkah jitu sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah sampah, terutama sampah plastik. Inisiatif tersebut sekaligus mendukung program kelistrikan nasional.
Sejumlah pemda yang sudah berkomitmen membangun pembangkit listrik berbahan baku sampah tersebut, di antaranya Kota Semarang, Denpasar, Tangerang, Tangerang Selatan, dan sejumlah kota besar lainnya.
Progress paling cepat adalah yang dilakukan Pemkot Semarang, yang menargetkan PLTSa Jatibarang dapat beroperasi pada April 2019 ini. PLTSa tersebut direncanakan akan memproduksi arus listrik sebesar 1,3 megawatt dengan menggunakan teknologi insinerator dan landfill gas (LFG), yang saling terintegrasi.
"Teknologi insinerator bisa mengurangi sampah secara signifikan karena mampu mereduksi hingga 90%. Jadi, nantinya hanya akan tersisa residu sampah 10%," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang Muthohar dalam siaran tertulis yang diterima SINDOnews pada Senin (14/1/2018).
Begitupula halnya dengan Pemkot Tangerang Selatan dan Pemkab Tangerang, keduanya mempercepat proses pembangunan PLTSa di masing-masing wilayah. Pemkot Tangsel saat ini tengah melakukan proses seleksi terhadap 12 perusahaan yang akan membangun PLTSa di Cipeucang, Tangsel.
Sebagian besar perusahaan tersebut berasal dari luar negeri. Diharapkan, proses seleksi tersebut bisa segera selesai dan pembangunan serta operasional PLTSa tersebut bisa berproduksi pada 2021. Sementara, Pemkot Tangerang tengah melakukan studi kelayakan terutama biaya pengelolaan sampah alias tipping fee yang akan ditawarkan ke investor.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementrian ESDM, Andriah Febby Misna mengatakan, hasil survei yang dilakukan terdapat sekitar 15 kota yang memiliki sampah dengan jumlah besar, di antaranya DKI Jakarta dengan potensi sampah yang mencapai 7.000 ton per hari, disusul Surabaya, Bandung dan Bekasi.
Diperkirakan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut mampu menghasilkan potensi energi listrik sekitar 2.000 MW. Pemerintah menargetkan pembangunan PLTSa di 12 kota, yakni DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, Manado dan Bali.
"Kita menyadari sampah mempunyai potensi energi biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi listrik, tetapi juga tidak tertutup peluang untuk bisa kita manfaatkan menjadi biofuel," ujar Andriah.Asosiasi lndustri Olefin, Aromatik dan Plastik lndonesia (Inaplas), mendukung upaya sejumlah pemda yang mengelola sampah plastik menjadi sumber pembangkit listrik. Wakil Ketua Inaplas, Suhat Miyarso menuturkan, asosiasinya mendukung pemerintah pusat memberikan insetif kepada sejumlah pemda tersebut, karena dinilai kreatif dan proaktif dalam menangani masalah sampah, khususnya sampah plastik.
Selain itu, Inaplas menolak tegas rencana pemberian insentif kepada pemda yang melarang kantong dan produk plastik, karena dinilai tidak akan menyelesaikan masalah sampah plastik. Inaplas menolak pemberian insentif pemerintah kepada pemda yang menerbitkan perda larangan kantong plastik.
Insentif tersebut akan lebih efektif dan tepat guna, jika diberikan kepada pemda yang kreatif menyelesaikan masalah sampah, salah satunya dengan membangun PLTSa. Penanganan sampah plastik menurut Inaplas, bukan dengan melarangnya, melainkan melakukan manajemen sampah yang baik, salah satunya dimanfaatkan menjadi bahan baku energi listrik.
“Plastik itu sebenarnya bermanfaat buat kehidupan. Akar masalah sampah plastik bukan dari material plastiknya, melainkan manajemen sampah yang kurang diperhatikan dengan baik. PLTSa adalah contoh bahwa sampah plastik jika dikelola dengan baik, malah memberikan banyak manfaat, salah satunya sumber energi listrik,” ucap Suhat Miyarso.
Suhat menambahkan, dalam waktu dekat, Inaplas dan sejumlah asosiasi terafiliasi, akan melakukan langkah hukum terhadap sejumlah perda yang melarang penggunaan kantong plastik dan produk plastik. Peraturan tersebut dinilai melanggar dan tidak mengindahkan peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18/2008. Dalam UU tersebut, pemerintah daerah diminta melakukan pengurangan sampah dan bukan melarang penggunaan produk plastik.
Pemerhati masalah persampahan dari Green Indonesia Foundation Asrul Hoesein menyatakan, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik ini memang lebih menguntungkan dibanding pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi; 100 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batubara.
Menurut Asrul, yang mesti dilakukan pemerintah adalah memberikan intensif tambahan untuk pemerintah daerah yang memilih meningkatkan kinerja pengelolaan sampah dari pada melarang penggunaan kantong belanja plastik termasuk di antaranya mengolah sampah menjadi sumber energi listrik.
Saat ini, pemerintah telah memberlakukan bantuan (tipping fee) atau bantuan biaya layanan pengolahan sampah maksimal sebesar Rp500.000 per ton sampah yang berasal dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain. Tentunya jika tipping fee tersebut ditambah, akan lebih menarik bagi investor untuk membangun PLTSa.
Sejumlah pemda yang sudah berkomitmen membangun pembangkit listrik berbahan baku sampah tersebut, di antaranya Kota Semarang, Denpasar, Tangerang, Tangerang Selatan, dan sejumlah kota besar lainnya.
Progress paling cepat adalah yang dilakukan Pemkot Semarang, yang menargetkan PLTSa Jatibarang dapat beroperasi pada April 2019 ini. PLTSa tersebut direncanakan akan memproduksi arus listrik sebesar 1,3 megawatt dengan menggunakan teknologi insinerator dan landfill gas (LFG), yang saling terintegrasi.
"Teknologi insinerator bisa mengurangi sampah secara signifikan karena mampu mereduksi hingga 90%. Jadi, nantinya hanya akan tersisa residu sampah 10%," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang Muthohar dalam siaran tertulis yang diterima SINDOnews pada Senin (14/1/2018).
Begitupula halnya dengan Pemkot Tangerang Selatan dan Pemkab Tangerang, keduanya mempercepat proses pembangunan PLTSa di masing-masing wilayah. Pemkot Tangsel saat ini tengah melakukan proses seleksi terhadap 12 perusahaan yang akan membangun PLTSa di Cipeucang, Tangsel.
Sebagian besar perusahaan tersebut berasal dari luar negeri. Diharapkan, proses seleksi tersebut bisa segera selesai dan pembangunan serta operasional PLTSa tersebut bisa berproduksi pada 2021. Sementara, Pemkot Tangerang tengah melakukan studi kelayakan terutama biaya pengelolaan sampah alias tipping fee yang akan ditawarkan ke investor.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementrian ESDM, Andriah Febby Misna mengatakan, hasil survei yang dilakukan terdapat sekitar 15 kota yang memiliki sampah dengan jumlah besar, di antaranya DKI Jakarta dengan potensi sampah yang mencapai 7.000 ton per hari, disusul Surabaya, Bandung dan Bekasi.
Diperkirakan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut mampu menghasilkan potensi energi listrik sekitar 2.000 MW. Pemerintah menargetkan pembangunan PLTSa di 12 kota, yakni DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, Manado dan Bali.
"Kita menyadari sampah mempunyai potensi energi biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi listrik, tetapi juga tidak tertutup peluang untuk bisa kita manfaatkan menjadi biofuel," ujar Andriah.Asosiasi lndustri Olefin, Aromatik dan Plastik lndonesia (Inaplas), mendukung upaya sejumlah pemda yang mengelola sampah plastik menjadi sumber pembangkit listrik. Wakil Ketua Inaplas, Suhat Miyarso menuturkan, asosiasinya mendukung pemerintah pusat memberikan insetif kepada sejumlah pemda tersebut, karena dinilai kreatif dan proaktif dalam menangani masalah sampah, khususnya sampah plastik.
Selain itu, Inaplas menolak tegas rencana pemberian insentif kepada pemda yang melarang kantong dan produk plastik, karena dinilai tidak akan menyelesaikan masalah sampah plastik. Inaplas menolak pemberian insentif pemerintah kepada pemda yang menerbitkan perda larangan kantong plastik.
Insentif tersebut akan lebih efektif dan tepat guna, jika diberikan kepada pemda yang kreatif menyelesaikan masalah sampah, salah satunya dengan membangun PLTSa. Penanganan sampah plastik menurut Inaplas, bukan dengan melarangnya, melainkan melakukan manajemen sampah yang baik, salah satunya dimanfaatkan menjadi bahan baku energi listrik.
“Plastik itu sebenarnya bermanfaat buat kehidupan. Akar masalah sampah plastik bukan dari material plastiknya, melainkan manajemen sampah yang kurang diperhatikan dengan baik. PLTSa adalah contoh bahwa sampah plastik jika dikelola dengan baik, malah memberikan banyak manfaat, salah satunya sumber energi listrik,” ucap Suhat Miyarso.
Suhat menambahkan, dalam waktu dekat, Inaplas dan sejumlah asosiasi terafiliasi, akan melakukan langkah hukum terhadap sejumlah perda yang melarang penggunaan kantong plastik dan produk plastik. Peraturan tersebut dinilai melanggar dan tidak mengindahkan peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18/2008. Dalam UU tersebut, pemerintah daerah diminta melakukan pengurangan sampah dan bukan melarang penggunaan produk plastik.
Pemerhati masalah persampahan dari Green Indonesia Foundation Asrul Hoesein menyatakan, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik ini memang lebih menguntungkan dibanding pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi; 100 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batubara.
Menurut Asrul, yang mesti dilakukan pemerintah adalah memberikan intensif tambahan untuk pemerintah daerah yang memilih meningkatkan kinerja pengelolaan sampah dari pada melarang penggunaan kantong belanja plastik termasuk di antaranya mengolah sampah menjadi sumber energi listrik.
Saat ini, pemerintah telah memberlakukan bantuan (tipping fee) atau bantuan biaya layanan pengolahan sampah maksimal sebesar Rp500.000 per ton sampah yang berasal dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain. Tentunya jika tipping fee tersebut ditambah, akan lebih menarik bagi investor untuk membangun PLTSa.
(whb)