KNKT: JT610 Tak Layak Terbang Sejak dari Denpasar
A
A
A
JAKARTA - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Kementerian Perhubungan menyatakan pesawat Lion Air JT-610 sempat mengalami masalah saat penerbangan Denpasar-Jakarta, dan berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta, sebelum keesokannya jatuh di perairan Karawang (29/102018 lalu).
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua KNKT Haryo Satmiko saat menyampaikan fakta-fakta terkait dengan kecelakaan pesawat JT-610 yang dirangkum dalam laporan pendahuluan atau preliminary report, yang sesuai ketentuan harus disampaikan 40 hari setelah kejadian.
"Ketika melakukan pemeriksaan preflight, Pilot in Command (PIC) melakukan diskusi dengan teknisi terkait tindakan perawatan pesawat udara yang telah dilakukan termasuk adanya informasi bahwa sensor Angle of Attack (AoA) yang diganti dan telah diuji," ucapnya, Rabu (28/11/2018) di Jakarta.
Menurutnya, pesawat tersebut berangkat pada malam hari pukul 14.20 UTC (22.20 WITA), Digital Flight Data Recorder (DFDR) mencatat adanya stick shaker yang aktif pada sesaat sebelum lepas landas dan berlangsung selama penerbangan. Ketika pesawat berada di ketinggian sekitar 400 feet, PIC menyadari adanya warning IAS DISAGREE pada Primary Flight Display (PFD).
"Kemudian PIC mengalihkan kendali pesawat udara kepada Second in Command (SIC) serta membandingkan penunjukan pada PFD dengan instrument standby dan menentukan bahwa PFD kiri yang bermasalah," ungkapnya.
PIC mengetahui bahwa pesawat mengalami trimming aircraft nose down (AND) atau hidung pesawat mengalami penurunan secara otomatis, kemudian merubah tombol STAB TRIM ke CUT OUT. SIC melanjutkan penerbangan dengan trim manual dan tanpa auto-pilot sampai dengan mendarat.
"PIC melakukan deklarasi "PAN PAN" karena mengalami kegagalan instrumen kepada petugas pemanduan lalu lintas penerbangan Denpasar dan meminta untuk melanjutkan arah terbang searah dengan landasan pacu," tegasnya.
PIC melaksanakan tiga Non-Normal Checklist dan tidak satupun dari ketiga prosedur dimaksud memuat instruksi untuk melakukan pendaratan di bandar udara terdekat. Pesawat mendarat di Jakarta pada pukul 1556 UTC (2256 WIB) atau setelah terbang selama 1 jam 36 menit.
Setelah pesawat udara parkir, PIC melaporkan permasalahan pesawat udara kepada teknisi dan menulis IAS dan ALT Disagree dan menyalanya lampu FEEL DIFF PRESS (feel differential pressure) di Aircraft Flight and Maintenance Logbook (AFML).
Begitu pun dengan Investigator Subkomite Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo yang menyatakan adanya tarik-menarik kendali antara sistem otomatis dan sistem manual dikendalikan pilot yang disebabkan kerusakan sensor 'angle of attack' (AoA) sehingga menunjukkan informasi tidak sesuai.
Menurutnya, kotak hitam Flight Data Recorder (FDR) menunjukkan adanya upaya pilot yang menyeimbangkan ketinggian karena AoA kiri dan kanan berbeda 20 derajat. "AoA di sebelah kiri itu lebih berat dari yang kanan," ucapnya.
Sedangkan pesawat JT 610 Jakarta-Pangkal Pinang, pilot tidak mematikan sistem otomatis, sehingga terus berkutat mencari ketinggian yang seimbang terlihat dari FDR yang merekam naik turun ketinggian hingga kehilangan daya angkat (stall) dan menukik jatuh ke perairan Tanjung Karawang.
"Setelah flaps dinaikkan, FDR merekam `trim aircraft nose down otomatis berhenti ketika flaps diturunkan. Ketika flaps dinaikkan kembali trim aircraft nose down otomatis dan input dari pilot untuk melakukan trim aircraft nose up terjadi kembali dan berlanjut selama penerbangan," katanya.
Nurchayo mengatakan KNKT memutuskan memperpanjang investigasi dan waktu yang dibutuhkan lebih kurang 12 bulan. KNKT menggandeng National Transportation Safety Board Amerika (ATSB) sebagai negara tempat pesawat dibuat dan dirancang dan Transport Safety Investigation Bureu (TSIB) Singapura.
"KNKT masih melakukan pencarian black box. Hanya, saya membutuhkan kemampuan dan butuh kapal tanpa jangkar dan kami butuh alat sedot lumpur yang mungkin akan terlihat. Dan alat untuk cran yang lebih besar. Dan alat selam yang lebih lama dalam air. Kita butuhkan menyelam lebih banyak," ujarnya.
Saat ini, KNKT terus berkoordinasi dengan Singapura soal hal itu. Selain itu, rekonstruksi penerbangan di pabrik pembuatan boeing, Seattle, Washington. "Investigasi rekonstruksi penerbangan yang mengalami kecelakaan di engineering simulator, fasilitas yang dimiliki oleh Boeing sebagai pabrik pembuat pesawat. Ada beberapa hal yang akan dilakukan, salah satunya adalah merekonstruksi kecelakaan ini berdasarkan data FDR," katanya.
Selain itu, KNKT juga akan berkoordinasi dengan pabrik pembuat angle of attack indicator yang terpasang di pesawat Lion Air nahas tersebut. Pabrikan berada di Florida.
"KNKT akan melakukan pemeriksaan mengenai fasilitas yang di Florida ini, apa yang dilakukan, apa kerusakan yang dialami, bagaimana perbaikan dan hasil tes yang dilakukan terhadap AoA sensor yang terpasang di pesawat," tandasnya.
Saat ini, KNKT telah mendapatkan data black box yang diambil dari quick access recorder sejak pesawat tersebut dikirim dari Boeing ke Lion yang diketahui telah melakukan 385 penerbangan. "Ini yang akan kita evaluasi apakah dalam penerbangan ini juga mengalami gangguan seperti penerbangan yang tercatat di dalam FDR," sambungnya.
Dia menjelaskan investigasi tersebut akan terus dilakukan apabila dalam proses investigasi memang ada yang perlu diperbaiki. Hal itu sangat penting supaya kejadian serupa tak terulang lagi baik pada Lion Air maupun maskapai lainnya. "Maka KNKT akan segera memberitahukan pihak terkait tentang isu keselamatan untuk dilakukan perbaikan," tutupnya.
Dalam kesempatan sama, Koordinator Investigasi Keselamatan Udara KNKT, Oni Soerjo Wibowo, menjelaskan bahwa AoA yang rusak saat penerbangan Denpasar menuju Jakarta sudah diganti, jadi penerbangan JT 610 Jakarta Pangkal Pinang memakai AoA yang baru dan sudah dites. "Sudah diganti, setiap komponen ini ada sertifikasinya dan itu bukan 'recycle'," ucapnya.
Dia mengatakan tim investigasi akan melakukan beberapa pemeriksaan termasuk pemeriksaan sensor AoA dan simulasi penerbangan dengan menggunakan engineering simulator milik Boeing.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua KNKT Haryo Satmiko saat menyampaikan fakta-fakta terkait dengan kecelakaan pesawat JT-610 yang dirangkum dalam laporan pendahuluan atau preliminary report, yang sesuai ketentuan harus disampaikan 40 hari setelah kejadian.
"Ketika melakukan pemeriksaan preflight, Pilot in Command (PIC) melakukan diskusi dengan teknisi terkait tindakan perawatan pesawat udara yang telah dilakukan termasuk adanya informasi bahwa sensor Angle of Attack (AoA) yang diganti dan telah diuji," ucapnya, Rabu (28/11/2018) di Jakarta.
Menurutnya, pesawat tersebut berangkat pada malam hari pukul 14.20 UTC (22.20 WITA), Digital Flight Data Recorder (DFDR) mencatat adanya stick shaker yang aktif pada sesaat sebelum lepas landas dan berlangsung selama penerbangan. Ketika pesawat berada di ketinggian sekitar 400 feet, PIC menyadari adanya warning IAS DISAGREE pada Primary Flight Display (PFD).
"Kemudian PIC mengalihkan kendali pesawat udara kepada Second in Command (SIC) serta membandingkan penunjukan pada PFD dengan instrument standby dan menentukan bahwa PFD kiri yang bermasalah," ungkapnya.
PIC mengetahui bahwa pesawat mengalami trimming aircraft nose down (AND) atau hidung pesawat mengalami penurunan secara otomatis, kemudian merubah tombol STAB TRIM ke CUT OUT. SIC melanjutkan penerbangan dengan trim manual dan tanpa auto-pilot sampai dengan mendarat.
"PIC melakukan deklarasi "PAN PAN" karena mengalami kegagalan instrumen kepada petugas pemanduan lalu lintas penerbangan Denpasar dan meminta untuk melanjutkan arah terbang searah dengan landasan pacu," tegasnya.
PIC melaksanakan tiga Non-Normal Checklist dan tidak satupun dari ketiga prosedur dimaksud memuat instruksi untuk melakukan pendaratan di bandar udara terdekat. Pesawat mendarat di Jakarta pada pukul 1556 UTC (2256 WIB) atau setelah terbang selama 1 jam 36 menit.
Setelah pesawat udara parkir, PIC melaporkan permasalahan pesawat udara kepada teknisi dan menulis IAS dan ALT Disagree dan menyalanya lampu FEEL DIFF PRESS (feel differential pressure) di Aircraft Flight and Maintenance Logbook (AFML).
Begitu pun dengan Investigator Subkomite Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo yang menyatakan adanya tarik-menarik kendali antara sistem otomatis dan sistem manual dikendalikan pilot yang disebabkan kerusakan sensor 'angle of attack' (AoA) sehingga menunjukkan informasi tidak sesuai.
Menurutnya, kotak hitam Flight Data Recorder (FDR) menunjukkan adanya upaya pilot yang menyeimbangkan ketinggian karena AoA kiri dan kanan berbeda 20 derajat. "AoA di sebelah kiri itu lebih berat dari yang kanan," ucapnya.
Sedangkan pesawat JT 610 Jakarta-Pangkal Pinang, pilot tidak mematikan sistem otomatis, sehingga terus berkutat mencari ketinggian yang seimbang terlihat dari FDR yang merekam naik turun ketinggian hingga kehilangan daya angkat (stall) dan menukik jatuh ke perairan Tanjung Karawang.
"Setelah flaps dinaikkan, FDR merekam `trim aircraft nose down otomatis berhenti ketika flaps diturunkan. Ketika flaps dinaikkan kembali trim aircraft nose down otomatis dan input dari pilot untuk melakukan trim aircraft nose up terjadi kembali dan berlanjut selama penerbangan," katanya.
Nurchayo mengatakan KNKT memutuskan memperpanjang investigasi dan waktu yang dibutuhkan lebih kurang 12 bulan. KNKT menggandeng National Transportation Safety Board Amerika (ATSB) sebagai negara tempat pesawat dibuat dan dirancang dan Transport Safety Investigation Bureu (TSIB) Singapura.
"KNKT masih melakukan pencarian black box. Hanya, saya membutuhkan kemampuan dan butuh kapal tanpa jangkar dan kami butuh alat sedot lumpur yang mungkin akan terlihat. Dan alat untuk cran yang lebih besar. Dan alat selam yang lebih lama dalam air. Kita butuhkan menyelam lebih banyak," ujarnya.
Saat ini, KNKT terus berkoordinasi dengan Singapura soal hal itu. Selain itu, rekonstruksi penerbangan di pabrik pembuatan boeing, Seattle, Washington. "Investigasi rekonstruksi penerbangan yang mengalami kecelakaan di engineering simulator, fasilitas yang dimiliki oleh Boeing sebagai pabrik pembuat pesawat. Ada beberapa hal yang akan dilakukan, salah satunya adalah merekonstruksi kecelakaan ini berdasarkan data FDR," katanya.
Selain itu, KNKT juga akan berkoordinasi dengan pabrik pembuat angle of attack indicator yang terpasang di pesawat Lion Air nahas tersebut. Pabrikan berada di Florida.
"KNKT akan melakukan pemeriksaan mengenai fasilitas yang di Florida ini, apa yang dilakukan, apa kerusakan yang dialami, bagaimana perbaikan dan hasil tes yang dilakukan terhadap AoA sensor yang terpasang di pesawat," tandasnya.
Saat ini, KNKT telah mendapatkan data black box yang diambil dari quick access recorder sejak pesawat tersebut dikirim dari Boeing ke Lion yang diketahui telah melakukan 385 penerbangan. "Ini yang akan kita evaluasi apakah dalam penerbangan ini juga mengalami gangguan seperti penerbangan yang tercatat di dalam FDR," sambungnya.
Dia menjelaskan investigasi tersebut akan terus dilakukan apabila dalam proses investigasi memang ada yang perlu diperbaiki. Hal itu sangat penting supaya kejadian serupa tak terulang lagi baik pada Lion Air maupun maskapai lainnya. "Maka KNKT akan segera memberitahukan pihak terkait tentang isu keselamatan untuk dilakukan perbaikan," tutupnya.
Dalam kesempatan sama, Koordinator Investigasi Keselamatan Udara KNKT, Oni Soerjo Wibowo, menjelaskan bahwa AoA yang rusak saat penerbangan Denpasar menuju Jakarta sudah diganti, jadi penerbangan JT 610 Jakarta Pangkal Pinang memakai AoA yang baru dan sudah dites. "Sudah diganti, setiap komponen ini ada sertifikasinya dan itu bukan 'recycle'," ucapnya.
Dia mengatakan tim investigasi akan melakukan beberapa pemeriksaan termasuk pemeriksaan sensor AoA dan simulasi penerbangan dengan menggunakan engineering simulator milik Boeing.
(nag)