129 Kelurahan di Jakarta Berpotensi Terendam Banjir
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 129 kelurahan di Jakarta berpotensi terendam banjir pada musim hujan 2018-2019 ini. Salah satu penyebabnya karena berhentinya normalisasi pada tahun ini.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSC), Bambang Hidayah mengatakan, berdasarkan evaluasi kajian banjir terakhir Februari lalu, ada sebanyak 129 kelurahan di Jakarta yang diprediksi terendam banjir pada musim hujan kali ini. "129 kelurahan banjir itu ada disekitar kali-kali Ciliwung, karena normalisasi terhenti sejak Februari 2018," kata Bambang saat dihubungi wartawan, Selasa, 9 Oktober 2018 kemarin.
Bambang menjelaskan, program normalisasi sepanjang 33 kilometer yang dimulai sejak 2013 lalu baru berjalan 48% atau baru sekitar 16 kilometer. Normalisasi terhenti sejak Februari 2018 lantaran Pemprov DKI belum melakukan pembebasan lahan.
Padahal, lanjut Bambang, salah satu upaya untuk mengatasi banjir itu adalah normalisasi kali. Menurutnya, normalisasi kali dapat mmbuat kapasitas kali atau sungai menjadi lebih banyak menampung debit banjir.
Selain itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta harus melakukan pengerukan secara rutin agar sungai atau kali tidak menjadi dangkal. Sebab, sendimentasi akan terus terjadi pada umumnya ketika di hulu curam, longsor dan terbawa ke hilir akhirnya menyebabkan sendimentasi.
"Di normalisasi ada pengerukan nah pengerukan rutin tetap harus dilakukan pemeliharaan rutin tiap tahun harus ada karena kalau dibiarkan sedimentasi meningkt sehingga kembali dangkal," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menuturkan, dalam menghadapi musim hujan yang diprediksi datang pada November mendatang, pihaknya telah melakukan antisipasi dengan melakukan pengerukan dan perbaikan sarana-prasarana."Kalau yang dicari betonisasi, Anda tidak (akan) ketemu. Kalau yang dicek adalah pengerukan, kemudian perbaikan-perbaikan sarana, itu dikerjakan terus. Jadi jangan diartikan kalau tidak ada betonisasi, tidak ada antisipasi untuk banjir. Bukan! Betonisasi itu lain," tuturnya.
Anies menjelaskan, betonisasi memang tidak dilakukan lantaran pihaknya ingin melakukan naturalisasi dan membuat ekosistem sungai. Namun, pengerukan tetap terus berjalan dengan menumbuhkan ekosistem yang natural di sisi kiri kanan sungai.
Sungai-sungai besar, sebetulnya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan projek-projek waduk, situ di wilayah Bogor, Jawa Barat lantaran itu akan menentukan sekali debit air yang sampai ke Jakarta. "Di Jakarta sendiri, akan ada program nanti sekitar akhir Oktober. Kita akan launching, saya tidak akan umumkan dulu sekarang. Kita akan launching beberapa program yang terkait dengan pengelolaan air di Jakarta, yang sumber airnya di Jakarta," ungkapnya.
Anies mengatakan, ada dua hulu air sebelum mengairi sungai, kali, selokan dan jalur air lainnya. Pertama hulu dari daerah pegunungan yang umumnya muncul dari mata air kemudian menuruni bukit dan membentu sungai hingga mengalir kelaut. Sementara hulu kedua yaitu berasal dari air hujan yang memang turun di wilayah Jakarta.
Semakin jauh hulu sampai ke dalam hilir, makin punya potensi banjir. Artinya, makin panjang jalur aliran air yang terbentuk dari sungai, selokan dan sebagainya, potensi akumulasi penumpukan air penyebab banjir semakin besar. Jadi, kalau hujan dari atap rumah terserap langsung menuju air tanah dan tidak mengairi selokan, sungai, dan sebagainya, air hujan tidak menimbulkan aliran air ke luar rumah yang bisa berpotensi banjir karena ada di permukaan tanah.
"Sama sepertii hulu (pegunungan), kalau bisa ditampung lebih awal, dia tidak akan memunculkan masalah (banjir) di hilir. Nah besarannya (debit air yang ada di permukaan) akan sangat bergantung pengelolaan itu. Nanti akhir Oktober akan kita launching programnya," ucapnya.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSC), Bambang Hidayah mengatakan, berdasarkan evaluasi kajian banjir terakhir Februari lalu, ada sebanyak 129 kelurahan di Jakarta yang diprediksi terendam banjir pada musim hujan kali ini. "129 kelurahan banjir itu ada disekitar kali-kali Ciliwung, karena normalisasi terhenti sejak Februari 2018," kata Bambang saat dihubungi wartawan, Selasa, 9 Oktober 2018 kemarin.
Bambang menjelaskan, program normalisasi sepanjang 33 kilometer yang dimulai sejak 2013 lalu baru berjalan 48% atau baru sekitar 16 kilometer. Normalisasi terhenti sejak Februari 2018 lantaran Pemprov DKI belum melakukan pembebasan lahan.
Padahal, lanjut Bambang, salah satu upaya untuk mengatasi banjir itu adalah normalisasi kali. Menurutnya, normalisasi kali dapat mmbuat kapasitas kali atau sungai menjadi lebih banyak menampung debit banjir.
Selain itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta harus melakukan pengerukan secara rutin agar sungai atau kali tidak menjadi dangkal. Sebab, sendimentasi akan terus terjadi pada umumnya ketika di hulu curam, longsor dan terbawa ke hilir akhirnya menyebabkan sendimentasi.
"Di normalisasi ada pengerukan nah pengerukan rutin tetap harus dilakukan pemeliharaan rutin tiap tahun harus ada karena kalau dibiarkan sedimentasi meningkt sehingga kembali dangkal," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menuturkan, dalam menghadapi musim hujan yang diprediksi datang pada November mendatang, pihaknya telah melakukan antisipasi dengan melakukan pengerukan dan perbaikan sarana-prasarana."Kalau yang dicari betonisasi, Anda tidak (akan) ketemu. Kalau yang dicek adalah pengerukan, kemudian perbaikan-perbaikan sarana, itu dikerjakan terus. Jadi jangan diartikan kalau tidak ada betonisasi, tidak ada antisipasi untuk banjir. Bukan! Betonisasi itu lain," tuturnya.
Anies menjelaskan, betonisasi memang tidak dilakukan lantaran pihaknya ingin melakukan naturalisasi dan membuat ekosistem sungai. Namun, pengerukan tetap terus berjalan dengan menumbuhkan ekosistem yang natural di sisi kiri kanan sungai.
Sungai-sungai besar, sebetulnya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan projek-projek waduk, situ di wilayah Bogor, Jawa Barat lantaran itu akan menentukan sekali debit air yang sampai ke Jakarta. "Di Jakarta sendiri, akan ada program nanti sekitar akhir Oktober. Kita akan launching, saya tidak akan umumkan dulu sekarang. Kita akan launching beberapa program yang terkait dengan pengelolaan air di Jakarta, yang sumber airnya di Jakarta," ungkapnya.
Anies mengatakan, ada dua hulu air sebelum mengairi sungai, kali, selokan dan jalur air lainnya. Pertama hulu dari daerah pegunungan yang umumnya muncul dari mata air kemudian menuruni bukit dan membentu sungai hingga mengalir kelaut. Sementara hulu kedua yaitu berasal dari air hujan yang memang turun di wilayah Jakarta.
Semakin jauh hulu sampai ke dalam hilir, makin punya potensi banjir. Artinya, makin panjang jalur aliran air yang terbentuk dari sungai, selokan dan sebagainya, potensi akumulasi penumpukan air penyebab banjir semakin besar. Jadi, kalau hujan dari atap rumah terserap langsung menuju air tanah dan tidak mengairi selokan, sungai, dan sebagainya, air hujan tidak menimbulkan aliran air ke luar rumah yang bisa berpotensi banjir karena ada di permukaan tanah.
"Sama sepertii hulu (pegunungan), kalau bisa ditampung lebih awal, dia tidak akan memunculkan masalah (banjir) di hilir. Nah besarannya (debit air yang ada di permukaan) akan sangat bergantung pengelolaan itu. Nanti akhir Oktober akan kita launching programnya," ucapnya.
(whb)