Polusi Udara di Ibu Kota Menghawatirkan, DKI Susun Grand Design
A
A
A
JAKARTA - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta menyebut pencemaran udara di Ibu Kota saat ini menduduki peringkat empat dan termasuk dalam 10 risiko lingkungan paling signifikan di Indonesia.
“Beberapa sumber utama polusi udara berasal dari kendaraan bermotor, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, debu, pembakaran sampah dan biomassa,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Isnawa Adj, di sela-sela loka karya peningkatan kualitas udara perkotaan, di Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2018.
Menurut Adji, pencemaran udara ini sangat berbahaya terhadap kesehatan, khususnya terhadap anak-anak dan para ibu hamil. "Karena dapat menyebabkan kematian bayi dan anak akibat infeksi saluran pernapasan bagian atas, kematian janin, berat badan lahir rendah, tingkat IQ rendah, dan stunting," ucapnya.
Isnawa menyebutkan, polusi udara merupakan salah satu isu lingkungan paling berbahaya karena berdampak pada kesehatan manusia, pembangunan berkelanjutan, dan pertumbuhan ekonomi. Hal itulah yang mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun desain besar (grand design) pengelolaan udara Ibu Kota.
Di tempat yang sama, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Oswar Mungkasa, menyebutkan, penanganan polusi udara harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta dilakukan secara skala besar, dan lintas pemerintah daerah di Jabodetabek.
“Perbaikan kualitas udara Ibu Kota perlu dilakukan secara terprogram, terpadu, dan berjangka panjang. Para pemangku kepentingan bekerja dalam silo sehingga hasil program peningkatan kualitas udara di Jakarta belum mencapai tingkat optimal," ucap Oswar.
Untuk itu, kata dia, keberadaan desain besar pengelolaan kualitas udara sebagai komitmen dan konsensus para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kualitas udara, merupakan sebuah keharusan.
Oswar menjelaskan, lokakarya tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama di antara semua pihak dalam mengatasi permasalahan polusi udara di Jakarta sekaligus menetapkan visi jangka panjang peningkatan kualitas udara perkotaan.
“Dari lokakarya ini dihasilkan pemetaan kebijakan dan aksi-aksi perbaikan kualitas udara di DKI Jakarta yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Tahap awal, kita akan menemukenali isu strategis, dan keluaran utama, memetakan pemangku kepentingan, dan menyusun peta jalan penyusunan desain besar,” jelas Oswar.
Lokakarya ini merumuskan isu utama yang menjadi proritas dalam aksi peningkatan kualitas udara. Para pemangku kepentingan bersepakat untuk membentuk Forum Pengelolaan Kualitas Udara DKI Jakarta sebagai wadah komunikasi, koordinasi, bertukar pembelajaran pemangku kepentingan dengan DLH Provinsi DKI Jakarta sebagai jangkarnya.
Peserta kegiatan lokakarya terdiri atas berbagai pemangku kepentingan, mulai dari unsur pemerintah pusat, unsur organisasi perangkat daerah (OPD) Pemprov DKI Jakarta, pemerintah kota/kabupaten di Jabodetabek, organisasi masyarakat dan akademisi.
“Beberapa sumber utama polusi udara berasal dari kendaraan bermotor, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, debu, pembakaran sampah dan biomassa,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Isnawa Adj, di sela-sela loka karya peningkatan kualitas udara perkotaan, di Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2018.
Menurut Adji, pencemaran udara ini sangat berbahaya terhadap kesehatan, khususnya terhadap anak-anak dan para ibu hamil. "Karena dapat menyebabkan kematian bayi dan anak akibat infeksi saluran pernapasan bagian atas, kematian janin, berat badan lahir rendah, tingkat IQ rendah, dan stunting," ucapnya.
Isnawa menyebutkan, polusi udara merupakan salah satu isu lingkungan paling berbahaya karena berdampak pada kesehatan manusia, pembangunan berkelanjutan, dan pertumbuhan ekonomi. Hal itulah yang mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun desain besar (grand design) pengelolaan udara Ibu Kota.
Di tempat yang sama, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Oswar Mungkasa, menyebutkan, penanganan polusi udara harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta dilakukan secara skala besar, dan lintas pemerintah daerah di Jabodetabek.
“Perbaikan kualitas udara Ibu Kota perlu dilakukan secara terprogram, terpadu, dan berjangka panjang. Para pemangku kepentingan bekerja dalam silo sehingga hasil program peningkatan kualitas udara di Jakarta belum mencapai tingkat optimal," ucap Oswar.
Untuk itu, kata dia, keberadaan desain besar pengelolaan kualitas udara sebagai komitmen dan konsensus para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kualitas udara, merupakan sebuah keharusan.
Oswar menjelaskan, lokakarya tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama di antara semua pihak dalam mengatasi permasalahan polusi udara di Jakarta sekaligus menetapkan visi jangka panjang peningkatan kualitas udara perkotaan.
“Dari lokakarya ini dihasilkan pemetaan kebijakan dan aksi-aksi perbaikan kualitas udara di DKI Jakarta yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Tahap awal, kita akan menemukenali isu strategis, dan keluaran utama, memetakan pemangku kepentingan, dan menyusun peta jalan penyusunan desain besar,” jelas Oswar.
Lokakarya ini merumuskan isu utama yang menjadi proritas dalam aksi peningkatan kualitas udara. Para pemangku kepentingan bersepakat untuk membentuk Forum Pengelolaan Kualitas Udara DKI Jakarta sebagai wadah komunikasi, koordinasi, bertukar pembelajaran pemangku kepentingan dengan DLH Provinsi DKI Jakarta sebagai jangkarnya.
Peserta kegiatan lokakarya terdiri atas berbagai pemangku kepentingan, mulai dari unsur pemerintah pusat, unsur organisasi perangkat daerah (OPD) Pemprov DKI Jakarta, pemerintah kota/kabupaten di Jabodetabek, organisasi masyarakat dan akademisi.
(thm)