Aset First Travel Hanya Rp25 Miliar, Jamaah Cuma Dapat Rp200 Ribuan
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPAKFT) menyampaikan keberatan ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menerima aset First Travel (FT). Hal ini setelah mencermati surat tuntutan JPU pada 7 Mei 2018.
Kuasa Hukum Korban First Travel/Tim Penyelamatan Dana Umroh (TPDU) TM Luthfi Yazid mengatakan, keberatan tersebut sudah disampaikan dalam persidangan setelah diminta oleh majelis hakim untuk menyampaikan keberatannya. Alasan keberatan itu di antaranya tidak adanya transparansi soal aset-aset FT.
PPAKFT, kata dia, telah meminta secara tertulis daftar atau data barang sitaan kepada penyidik Bareskrim terkait aset FT yang disita, namun mereka hanya dijanji-janjikan dan mereka terpaksa bolak-balik ke Bareskrim dengan tangan kosong.
Begitupun, PPAKFT meminta penjelasan kepada JPU, misalnya, perihal aset kantor FT di Radar Auri Depok maupun rumah Andhika Surachman di Sentul. Namun JPU menjelaskan bahwa aset-aset tersebut adalah milik orang lain.
"Ini adalah pernyataan sepihak, yang mestinya diklarifikasi dalam persidangan. Sebab itu jika terjadi pengalihan atas aset FT selama perkara ini dalam proses litigasi, maka itu namanya pengalihan ilegal dan sepihak," ujar Luthfi dalam keterangan persnya yang diterima SINDOnews, Rabu (30/5/2018).
Menurut dia, JPU sebagai eksekutor negara mestinya tidak lepas tangan dengan hanya menyerahkan aset FT kepada PPAKFT. Sebab PPAKFT berpeluang untuk digugat dan dituntut, apalagi aset yang tercantum dalam surat tuntutan JPU, menurut perhitungan PPAKFT, hanya sekitar Rp20 miliar-25 miliar.
Jumlah itu jika dibagikan kepada sekitar 63 ribu jamaah, berarti setiap jamaah hanya dapat Rp200 ribuan. Padahal uang jamaah yang masuk ke perusahaan FT diperkirakan hampir mencapai Rp1 triliun. (Baca juga: Bos First Travel Divonis 20 Tahun Penjara dan Denda Rp10 Miliar)
Mencermati kenyataan-kenyataan yang ada, kata dia, baik dari tahap penyidikan maupun penuntutan, ada kekurang transparanan terkait aset. "PPAKFT telah meminta daftar atau data aset yang disita namun tidak diberikan secara detail," tandasnya.
Atas dasar itu, PPAKFT meminta perlindungan hukum kepada Kapolri dan Jaksa Agung, serta mendesak DPR membentuk Pansus First Travel, agar kasus ini dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Ia menegaskan, kasus FT adalah kasus umat dan membutuhkan pengawalan serius dan perlindungan yang maksimal dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag).
"Hal ini sangat penting, sebab kasus FT hanyalah fenomena gunung es yang tidak mustahil akan terjadi kasus-kasus serupa yang merugikan ummat yang skalanya lebih besar lagi," pungkasnya.
Kuasa Hukum Korban First Travel/Tim Penyelamatan Dana Umroh (TPDU) TM Luthfi Yazid mengatakan, keberatan tersebut sudah disampaikan dalam persidangan setelah diminta oleh majelis hakim untuk menyampaikan keberatannya. Alasan keberatan itu di antaranya tidak adanya transparansi soal aset-aset FT.
PPAKFT, kata dia, telah meminta secara tertulis daftar atau data barang sitaan kepada penyidik Bareskrim terkait aset FT yang disita, namun mereka hanya dijanji-janjikan dan mereka terpaksa bolak-balik ke Bareskrim dengan tangan kosong.
Begitupun, PPAKFT meminta penjelasan kepada JPU, misalnya, perihal aset kantor FT di Radar Auri Depok maupun rumah Andhika Surachman di Sentul. Namun JPU menjelaskan bahwa aset-aset tersebut adalah milik orang lain.
"Ini adalah pernyataan sepihak, yang mestinya diklarifikasi dalam persidangan. Sebab itu jika terjadi pengalihan atas aset FT selama perkara ini dalam proses litigasi, maka itu namanya pengalihan ilegal dan sepihak," ujar Luthfi dalam keterangan persnya yang diterima SINDOnews, Rabu (30/5/2018).
Menurut dia, JPU sebagai eksekutor negara mestinya tidak lepas tangan dengan hanya menyerahkan aset FT kepada PPAKFT. Sebab PPAKFT berpeluang untuk digugat dan dituntut, apalagi aset yang tercantum dalam surat tuntutan JPU, menurut perhitungan PPAKFT, hanya sekitar Rp20 miliar-25 miliar.
Jumlah itu jika dibagikan kepada sekitar 63 ribu jamaah, berarti setiap jamaah hanya dapat Rp200 ribuan. Padahal uang jamaah yang masuk ke perusahaan FT diperkirakan hampir mencapai Rp1 triliun. (Baca juga: Bos First Travel Divonis 20 Tahun Penjara dan Denda Rp10 Miliar)
Mencermati kenyataan-kenyataan yang ada, kata dia, baik dari tahap penyidikan maupun penuntutan, ada kekurang transparanan terkait aset. "PPAKFT telah meminta daftar atau data aset yang disita namun tidak diberikan secara detail," tandasnya.
Atas dasar itu, PPAKFT meminta perlindungan hukum kepada Kapolri dan Jaksa Agung, serta mendesak DPR membentuk Pansus First Travel, agar kasus ini dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Ia menegaskan, kasus FT adalah kasus umat dan membutuhkan pengawalan serius dan perlindungan yang maksimal dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag).
"Hal ini sangat penting, sebab kasus FT hanyalah fenomena gunung es yang tidak mustahil akan terjadi kasus-kasus serupa yang merugikan ummat yang skalanya lebih besar lagi," pungkasnya.
(thm)