Simpang Gadog Bisa untuk Kurangi Kemacetan

Selasa, 24 April 2018 - 09:46 WIB
Simpang Gadog Bisa untuk...
Simpang Gadog Bisa untuk Kurangi Kemacetan
A A A
BOGOR - Untuk mengatasi kemacetan di Jalur Puncak mulai dari Simpang Gadog, Ciawi, hingga Cipayung Megamendung, pemerintah akan membangun infrastruktur penghubung kawasan Gadog, tepatnya simpang Pasir Angin, Megamendung, Kabupaten Bogor.

Selain sebagai salah satu solusi mengurai kemacetan, infrastruktur penghubung yang bakal dibangun ini juga untuk mengantisipasi ambruknya jembatan lama akibat beban volume kendaraan. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 3 Metropolitan ll Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) Elsa Putra Friandi mengatakan, pembangunan jembatan baru Gadog akan dimulai akhir Mei 2018.

“Rencana pengerjaan konstruksinya akan dilakukan akhir Mei. Saat ini kita masih menunggu proses lelang,” kata Elsa, kepada KORAN SINDO , beberapa waktu lalu. Elsa pun mengatakan konstruksi jembatan yang melintang di atas Sungai Ciliwung dibangun secara terpisah, tepat di samping jembatan yang sudah ada.

“Alhasil nantinya tepat di kawasan Pasir Angin, Gadog, ada empat lajur dengan (jembatan yang lama),” katanya. Sementara itu, Bupati Bogor Nurhayanti mengatakan program pelebaran ruas jalan di jalur Puncak dinilai belum tentu mampu mengatasi permasalahan kemacetan jangka panjang.

Apalagi, belakangan ini kondisi jalur Puncak yang rawan bencana menjadi hambatan tersendiri dalam proses pelebaran jalan.

“Pelebaran jalur Puncak harus dibarengi dengan pembangunan jalur baru, yakni jalur Puncak II. Selain akan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah timur Kabupaten Bogor, jalur Puncak II yang sudah diusulkan sejak 2010 itu juga dapat mengatasi kemacetan di jalur Puncak I,” katanya.

Hanya, pihaknya masih terkendala biaya untuk melanjutkan pembangunan jalur Puncak II ini. “Sebetulnya hanya masalah dana, anggarannya kan dari pusat (APBN), tapi diturunkan ke provinsi,” tuturnya.

Belum lama ini juga kawasan Puncak kembali mendapat sorotan sejumlah kalangan terkait bencana longsor yang menutup akses utama Jalan Raya Puncak- Cipanas dalam waktu tak terpaut lama.

Bahkan, sejumlah pihak memandang maraknya bencana longsor dan meluapnya air Sungai Ciliwung di kawasan Puncak tidak terlepas dari peralihan fungsi lahan hijau di kawasan hulu, yakni Puncak. Menurutnya, sebagian lahan yang beralih fungsi itu telah memiliki izin, baik dari PTPN maupun kementerian.

Hanya, ada beberapa di antaranya yang tidak memiliki izin, terutama bangunan. Saat ini, PTPN VIII tengah berusaha mengembalikan lahan-lahan yang hilang tersebut. “Tujuan pendataan kami sebagai pengembalian fungsi lahan Gunung Mas yang sempat dikuasai penggarap,” ucapnya.

Sementara itu, Budi Burhanudin, salah seorang tokoh masyarakat Puncak, meminta BUMN itu mengambil alih lahan yang dikuasai penggarap. Menurutnya, alih fungsi lahan ini berdampak negatif terhadap lingkungan.

“Perizinan dalam pengelolaan lahan terlalu banyak. Izin penguasaan lahan menjadi puncak kerusakan lingkungan. Ini sudah diperjuangkan sejak dulu. Saya minta perkebunan teh yang telah beralih fungsi dikembalikan ke fungsi awalnya,” paparnya.

Forest Watch Indonesia bersama Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak yang sempat menggelar pertemuan dua pekan lalu mendesak pemerintah segera bertindak untuk mengembalikan fungsi kawasan lindung Puncak Bogor.

Menurut para penggiat lingkungan ini, deforestasi, pelanggaran tata ruang dan perizinan di kawasan Puncak adalah penyebab terjadinya banjir dan longsor sekitar Bogor-Jakarta. Pengampanye FWI Anggi Putra Prayoga mengungkapkan kawasan Puncak mengalami kerusakan hutan dan lahan yang masif selama puluhan tahun.

Analisis FWI pada 2000-2016, seluas 5,7 ribu hektare hutan alam hilang dari Puncak. Menyisakan 21% hutan alam dari total wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung.

“Padahal, peranan kawasan Puncak sangat vital untuk banyak daerah di bawahnya. Puncak adalah hulu dari empat DAS besar, yaitu Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum. Bila kawasan ini rusak, dapat dipastikan daerah di bawahnya akan ikut terpapar juga,” ungkap Anggi.

Pihaknya mencontohkan terkait pembukaan hutan dan pendirian bangunan permanen untuk pengembangan wisata yang terjadi dalam kawasan hutan di Taman Wisata Alam Telaga Warna.

“Hingga hari ini sudah lebih dari 10 ribu dukungan untuk menghentikan pembangunan Telaga Warna dan tuntutan pengembalian fungsi lindung di Kawasan Puncak,” papar Anggi.

Sementara itu, Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak Ernan Rustiadi menilai perlunya perhatian lebih terhadap kawasan Puncak.

“Peristiwa banjir dan tanah longsor yang terjadi menunjukkan kerusakan daerah aliran sungai. Hal ini semata-mata diakibatkan daya dukung di kawasan Puncak yang semakin menurun sehingga rentan bila menghadapi cuaca ekstrem,“ ujar Ernan.

Menurut Ernan, yang juga Dekan Fakultas Pertanian IPB, hutan tersisa di kawasan Puncak saat ini tidak cukup. Pemerintah harus serius dan mengkaji ulang peruntukan dan kesesuaian lahan buat meningkatkan daya dukung lingkungan di kawasan Puncak yang kian hari semakin menyusut. “Jika tidak, bencana serupa akan terus berulang dan menjadi semakin parah,” ungkapnya. (Haryudi)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0393 seconds (0.1#10.140)