Sengketa Tanah di Karet Kuningan, BPN Diminta Laksanakan Putusan Pengadilan
A
A
A
JAKARTA - Persoalan tanah seluas 16 haktare (ha) di kawasan Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, hingga kini masih terus bergulir. Hal ini dikarenakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum juga melaksanakan putusan pengadilan.
Untuk itu, kuasa hukum ahli waris meminta BPN segera melaksanakan putusan pengadilan terkait tanah seluas 16 ha tersebut, karena statusnya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Adapun dasar hukumnya yakni Keputusan Pengadilan Negeri Klas I A Jakarta Selatan No 523/Pdt.G/2001/PN.Jak. Sel tertanggal 14 November 2002.
Kemudian Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No 245.PDT/3003/PT. DKI tertanggal 11 September 2003, Jo Putusan Mahkamah Agung No 611 K/ PDT/ 2004 tertanggal 25 Oktober 2005, dan Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor: 64 PK/Pdt/2007 tertanggal 3 Juli 2008.
Namun hingga kini keputusan tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini BPN. “Kami sudah ke Kementerian Keuangan, sudah dijelaskan bahwa BPN selama ini tidak mengajukan usulan ganti rugi atas kasus No 523/Pdt-G/2001/PN.Jkt.Sel. Padahal sejak 2013 sudah inkrah putusannya,” ungkap kuasa hukum ahli waris RM Wahjoe A Setiadi, dalam keterangan persnya yang diterima, Sabtu (7/4/2018)
Ia menyebutkan, pihaknya selama ini tidak mendapat surat pemberitahuan terkait masalah tersebut dari BPN. Pada Selasa (3/4/2018) lalu pihaknya memutuskan mendatangi BPN, namun tidak mendapatkan jawaban memuaskan.
“Saya diping-pong kanan kiri. Jawaban BPN karena banyak yang mengaku-ngaku sebagai kuasa hukum ahli waris. Kalau kerja BPN benar, tinggal lihat website Mahkamah Agung, sudah jelas itu siapa,” tegas Wahjoe.
Atas dasar itu ia menuding ada mafia tanah di BPN. Apalagi semua pegawai BPN dalam kasus otorita kuningan saat ini menjadi pejabat di BPN pusat, di mana kasus no 523 terjadi.
“Tersendat-sendatnya kasus ini menciderai Nawacitra Pak Jokowi tentang penegakkan hukum. Kasihan Pak Jokowi, karena nila setitik rusak Nawacitanya,” tukasnya.
Wahjoe berharap Presiden segera membenahi BPN, serta mengawasi dan memerintahkan agar pelaksanaan putusan pengadilan atas kasus ini dilaksanakan sungguh-sungguh.
Untuk itu, kuasa hukum ahli waris meminta BPN segera melaksanakan putusan pengadilan terkait tanah seluas 16 ha tersebut, karena statusnya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Adapun dasar hukumnya yakni Keputusan Pengadilan Negeri Klas I A Jakarta Selatan No 523/Pdt.G/2001/PN.Jak. Sel tertanggal 14 November 2002.
Kemudian Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No 245.PDT/3003/PT. DKI tertanggal 11 September 2003, Jo Putusan Mahkamah Agung No 611 K/ PDT/ 2004 tertanggal 25 Oktober 2005, dan Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor: 64 PK/Pdt/2007 tertanggal 3 Juli 2008.
Namun hingga kini keputusan tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini BPN. “Kami sudah ke Kementerian Keuangan, sudah dijelaskan bahwa BPN selama ini tidak mengajukan usulan ganti rugi atas kasus No 523/Pdt-G/2001/PN.Jkt.Sel. Padahal sejak 2013 sudah inkrah putusannya,” ungkap kuasa hukum ahli waris RM Wahjoe A Setiadi, dalam keterangan persnya yang diterima, Sabtu (7/4/2018)
Ia menyebutkan, pihaknya selama ini tidak mendapat surat pemberitahuan terkait masalah tersebut dari BPN. Pada Selasa (3/4/2018) lalu pihaknya memutuskan mendatangi BPN, namun tidak mendapatkan jawaban memuaskan.
“Saya diping-pong kanan kiri. Jawaban BPN karena banyak yang mengaku-ngaku sebagai kuasa hukum ahli waris. Kalau kerja BPN benar, tinggal lihat website Mahkamah Agung, sudah jelas itu siapa,” tegas Wahjoe.
Atas dasar itu ia menuding ada mafia tanah di BPN. Apalagi semua pegawai BPN dalam kasus otorita kuningan saat ini menjadi pejabat di BPN pusat, di mana kasus no 523 terjadi.
“Tersendat-sendatnya kasus ini menciderai Nawacitra Pak Jokowi tentang penegakkan hukum. Kasihan Pak Jokowi, karena nila setitik rusak Nawacitanya,” tukasnya.
Wahjoe berharap Presiden segera membenahi BPN, serta mengawasi dan memerintahkan agar pelaksanaan putusan pengadilan atas kasus ini dilaksanakan sungguh-sungguh.
(thm)