Belasan Orang Tewas Minum Miras Oplosan, Ini Kata Pengamat
A
A
A
DEPOK - Beberapa hari terakhir kasus minuman keras (miras) oplosan di wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi, menjadi perhatian khalayak menyusul adanya belasan orang yang tewas.
Lantas kenapa masyarakat masih gemar minum miras, termasuk oplosan, kendati disadari risikonya sangat berbahaya? Praktisi komunikasi yang juga dosen vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, minuman beralkohol menjadi sebuah alternatif ‘rekreasi’ yang sederhana bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia.
“Rekreasi yang dimaksud adalah un tuk melepaskan kepenatan/kesulitan, bersosialisasi bersama dan bersenang senang sebagai gaya hidup,” ujar Devie kepada KORAN SINDO.
Lebih lanjut Devie menjelaskan, ketika ada kebijakan pelarangan alkohol maka jenis alkohol palsu (oplosan) menjadi alternatif. Mengingat konsumen minuman alkohol bervariasi dari masyarakat menengah ke bawah hingga menengah atas. Bagi masyarakat atas yang memiliki daya beli tinggi, alkohol impor yang mahal tentu tidak menjadi persoalan.
“Sedangkan bagi kalangan menengah ke bawah, hal ini menjadi tantangan, yang kemudian dijawab oleh para pebisnis gelap yang melihat potensi pendapatan dari alkohol KW ini,” tukasnya.
Di sisi lain, penjual dalam perspektif bisnis tentu saja akan melihat peluang yang ada. Dalam sejarah global seperti di Amerika, kata dia, pelarangan memang menyuburkan peredaran alkohol ilegal. Kebutuhan yang bertemu ketersediaan alkohol ‘alternatif’ yang independen, membuat masyarakat merasa ‘terlayani’ dengan masih hadirnya variasi variasi pilihan minuman.
Selain itu, pengetahuan klinis masyarakat tentang bahaya minuman KW masih rendah, mengingat minuman yang diracik secara mandiri bukan barang baru di indonesia. Minuman mengandung alkohol yang dikembangkan mandiri dan menjadi bagian perayaan tertentu juga sudah dikenal di beberapa komunitas masyarakat, yang tidak berujung pada kematian.
"Ini yang membuat masyarakat memiliki persepsi bahwa yang meninggal karena ketidak beruntungan dan lainnya,” tandasnya.
Lantas kenapa masyarakat masih gemar minum miras, termasuk oplosan, kendati disadari risikonya sangat berbahaya? Praktisi komunikasi yang juga dosen vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, minuman beralkohol menjadi sebuah alternatif ‘rekreasi’ yang sederhana bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia.
“Rekreasi yang dimaksud adalah un tuk melepaskan kepenatan/kesulitan, bersosialisasi bersama dan bersenang senang sebagai gaya hidup,” ujar Devie kepada KORAN SINDO.
Lebih lanjut Devie menjelaskan, ketika ada kebijakan pelarangan alkohol maka jenis alkohol palsu (oplosan) menjadi alternatif. Mengingat konsumen minuman alkohol bervariasi dari masyarakat menengah ke bawah hingga menengah atas. Bagi masyarakat atas yang memiliki daya beli tinggi, alkohol impor yang mahal tentu tidak menjadi persoalan.
“Sedangkan bagi kalangan menengah ke bawah, hal ini menjadi tantangan, yang kemudian dijawab oleh para pebisnis gelap yang melihat potensi pendapatan dari alkohol KW ini,” tukasnya.
Di sisi lain, penjual dalam perspektif bisnis tentu saja akan melihat peluang yang ada. Dalam sejarah global seperti di Amerika, kata dia, pelarangan memang menyuburkan peredaran alkohol ilegal. Kebutuhan yang bertemu ketersediaan alkohol ‘alternatif’ yang independen, membuat masyarakat merasa ‘terlayani’ dengan masih hadirnya variasi variasi pilihan minuman.
Selain itu, pengetahuan klinis masyarakat tentang bahaya minuman KW masih rendah, mengingat minuman yang diracik secara mandiri bukan barang baru di indonesia. Minuman mengandung alkohol yang dikembangkan mandiri dan menjadi bagian perayaan tertentu juga sudah dikenal di beberapa komunitas masyarakat, yang tidak berujung pada kematian.
"Ini yang membuat masyarakat memiliki persepsi bahwa yang meninggal karena ketidak beruntungan dan lainnya,” tandasnya.
(thm)