Alih Fungsi Lahan, 5.700 Hektare Hutan di Puncak Hilang
A
A
A
BOGOR - Alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor semakin mengkhawatirkan. Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat 5.700 hektare (Ha) hutan di Puncak hilang dalam kurun waktu 16 tahun terhitung sejak 2000-2016.
Aktivis kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menyebutkan, data tersebut berdasarkan hasil risetnya setelah Kementerian Kehutanan (Kemenhut) merilis potensi bencana akibat ada dugaan alih fungsi hutan di kawasan Puncak, Bogor. "Tutupan hutan di kawasan Puncak dalam kurun waktu 16 tahun sudah beralih fungsi di antaranya menjadi area terbangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Secara keseluruhan ditemukan 5.700 hektare hutan di sepanjang DAS itu hilang," katanya dalam ekspose program upaya pemulihan ekosistem kawasan Puncak Hulu DAS Ciliwung di Wisma Affandi, Gunung Mas, Puncak, Bogor, Rabu (4/4/2018).
Pihaknya telah menganalisis alih fungsi hutan tersebut dengan cara memisahkan antara hutan dan yang bukan hutan. Kemudian ditemukan bahwa hutan seluas 5.700 hektare tersebut telah beralih fungsi menjadi bukan hutan dan dimanfaatkan oleh oknum menjadi bentuk lain. "Bahkan, yang semula hutan menjadi bukan hutan ini dikuasai oleh beberapa oknum. Awalnya pembiaran dengan tidak ada pengawasan dari pemangku kawasan, dicoba dikuasai, dimanfaatkan oleh oknum, kemudian dikonversi menjadi lahan pertanian, vila dan bangunan lain," katanya.
Pihaknya sangat menyayangkan kawasan hutan bisa hilang begitu luas tanpa pengawasan yang ketat. "Jadi saat ini sepanjang DAS Ciliwung hanya menyimpan 34.000 hektare hutan alam atau 8,9% dari total DAS Ciliwung. Padahal dalam aturan angka minimalnya adalah 30%," jelasnya.
Pihaknya berharap kawasan tersebut bisa dikembalikan ke semula dengan melibatkan semua stakeholder seperti LSM, pemerintahan, kelompok masyarakat, dan private sector. "FWI ingin kawasan Puncak kembali dihutankan, memang tak mudah, makanya harus melibatkan sejumlah pihak," jelasnya.
Peneliti Senior Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB Ernan Rustiandi memaparkan terjadi alih fungsi lahan di Puncak sebagai bagian dari fenomena urban sprawl. "Urban sprawl, itu kota yang luas, tapi tidak efisien, meluasnya pun tidak teratur, termasuk imbasnya ya ke kawasan Puncak, banyak alih fungsi lahan yang enggak perlu," paparnya.
Hal itu karena wilayah Jabodetabek terjadi pertumbuhan pembangunan secara horizontal atau melebar yang membuat wilayah kota semakin meluas. Menurut dia, kawasan Jabodetabek merupakan kesatuan yang jumlah penduduknya mencapai angka 30 juta jiwa. "Jabodetabek pertumbuhannya belum ada tanda-tanda berhenti seperti Megacity yang ada di negara-negara lain. Kota-kota besar termasuk Tokyo enggak melebar lagi, tapi kalau Jabodetabek belum ada tanda-tanda berhenti malah melebar, yang paling raksasa, yang paling cepat ke arah Bekasi," katanya.
Menurut Ernan, kota yang terlalu besar itu tidak efisien secara sosial, budaya, juga ekonomi di mana jarak masyarakat pulang dan pergi bekerja semakin panjang. Dia menilai Jakarta harus bergerak ke arah yang lebih Compact City yakni membangun kota secara vertikal karena saat ini masih horizontal. "Banyak ditemukan permukiman-permukiman horizontal. Kita terlalu banyak mengonversi lahan-lahan pertanian, ruang-ruang terbuka hijau termasuk hutan yang sebenarnya enggak perlu," ungkap Ernan.
Bupati Bogor Nurhayanti yang baru saja melakukan pertemuan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur mengaku sempat menyampaikan persoalan alih fungsi lahan itu. Pihaknya berharap BKSP Jabodetabekjur dapat membantu upaya Pemkab Bogor dalam mengembalikan kawasan Puncak seperti dulu lagi. "Tahun lalu kita sudah melakukan penertiban bangunan liar yang ada di tepi jalan dengan tujuan melakukan pelebaran jalan. Ini merupakan program kerja sama pemkab, pemprov, dan pemerintah pusat," katanya.
Menurut dia, penertiban itu bagian dari awal mewujudkan mimpi Pemkab Bogor mengembalikan Puncak sebagai kawasan wisata yang indah, nyaman, sejuk, asri, dan tak kumuh. "Kami harap masyarakat mendukung penuh langkah pemerintah daerah maupun pusat yang akan menata kembali Puncak seperti dulu yang indah, tertib, nyaman, asri, dan tidak kumuh," katanya.
Pihaknya juga sudah mengajukan permohonan anggaran bantuan pada Pemprov DKI Jakarta untuk pemulihan kawasan Puncak di antaranya penggusuran vila liar atau penataan Puncak secara keseluruhan. "Kita sudah inventarisasi dan saat ini kami sedang data ulang vila dan hotel di kawasan Puncak. Kami mengajukan di dalamnya dana untuk (penggusuran) vila," katanya.
Pihaknya akan menyoroti perizinan vila-vila dan bangunan di kawasan puncak yang merupakan bagian dari DAS dan merusak kawasan hulu. "Kami masuk dari segi izin mendirikan bangunan (IMB)-nya," imbuhnya.
Aktivis kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menyebutkan, data tersebut berdasarkan hasil risetnya setelah Kementerian Kehutanan (Kemenhut) merilis potensi bencana akibat ada dugaan alih fungsi hutan di kawasan Puncak, Bogor. "Tutupan hutan di kawasan Puncak dalam kurun waktu 16 tahun sudah beralih fungsi di antaranya menjadi area terbangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Secara keseluruhan ditemukan 5.700 hektare hutan di sepanjang DAS itu hilang," katanya dalam ekspose program upaya pemulihan ekosistem kawasan Puncak Hulu DAS Ciliwung di Wisma Affandi, Gunung Mas, Puncak, Bogor, Rabu (4/4/2018).
Pihaknya telah menganalisis alih fungsi hutan tersebut dengan cara memisahkan antara hutan dan yang bukan hutan. Kemudian ditemukan bahwa hutan seluas 5.700 hektare tersebut telah beralih fungsi menjadi bukan hutan dan dimanfaatkan oleh oknum menjadi bentuk lain. "Bahkan, yang semula hutan menjadi bukan hutan ini dikuasai oleh beberapa oknum. Awalnya pembiaran dengan tidak ada pengawasan dari pemangku kawasan, dicoba dikuasai, dimanfaatkan oleh oknum, kemudian dikonversi menjadi lahan pertanian, vila dan bangunan lain," katanya.
Pihaknya sangat menyayangkan kawasan hutan bisa hilang begitu luas tanpa pengawasan yang ketat. "Jadi saat ini sepanjang DAS Ciliwung hanya menyimpan 34.000 hektare hutan alam atau 8,9% dari total DAS Ciliwung. Padahal dalam aturan angka minimalnya adalah 30%," jelasnya.
Pihaknya berharap kawasan tersebut bisa dikembalikan ke semula dengan melibatkan semua stakeholder seperti LSM, pemerintahan, kelompok masyarakat, dan private sector. "FWI ingin kawasan Puncak kembali dihutankan, memang tak mudah, makanya harus melibatkan sejumlah pihak," jelasnya.
Peneliti Senior Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB Ernan Rustiandi memaparkan terjadi alih fungsi lahan di Puncak sebagai bagian dari fenomena urban sprawl. "Urban sprawl, itu kota yang luas, tapi tidak efisien, meluasnya pun tidak teratur, termasuk imbasnya ya ke kawasan Puncak, banyak alih fungsi lahan yang enggak perlu," paparnya.
Hal itu karena wilayah Jabodetabek terjadi pertumbuhan pembangunan secara horizontal atau melebar yang membuat wilayah kota semakin meluas. Menurut dia, kawasan Jabodetabek merupakan kesatuan yang jumlah penduduknya mencapai angka 30 juta jiwa. "Jabodetabek pertumbuhannya belum ada tanda-tanda berhenti seperti Megacity yang ada di negara-negara lain. Kota-kota besar termasuk Tokyo enggak melebar lagi, tapi kalau Jabodetabek belum ada tanda-tanda berhenti malah melebar, yang paling raksasa, yang paling cepat ke arah Bekasi," katanya.
Menurut Ernan, kota yang terlalu besar itu tidak efisien secara sosial, budaya, juga ekonomi di mana jarak masyarakat pulang dan pergi bekerja semakin panjang. Dia menilai Jakarta harus bergerak ke arah yang lebih Compact City yakni membangun kota secara vertikal karena saat ini masih horizontal. "Banyak ditemukan permukiman-permukiman horizontal. Kita terlalu banyak mengonversi lahan-lahan pertanian, ruang-ruang terbuka hijau termasuk hutan yang sebenarnya enggak perlu," ungkap Ernan.
Bupati Bogor Nurhayanti yang baru saja melakukan pertemuan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur mengaku sempat menyampaikan persoalan alih fungsi lahan itu. Pihaknya berharap BKSP Jabodetabekjur dapat membantu upaya Pemkab Bogor dalam mengembalikan kawasan Puncak seperti dulu lagi. "Tahun lalu kita sudah melakukan penertiban bangunan liar yang ada di tepi jalan dengan tujuan melakukan pelebaran jalan. Ini merupakan program kerja sama pemkab, pemprov, dan pemerintah pusat," katanya.
Menurut dia, penertiban itu bagian dari awal mewujudkan mimpi Pemkab Bogor mengembalikan Puncak sebagai kawasan wisata yang indah, nyaman, sejuk, asri, dan tak kumuh. "Kami harap masyarakat mendukung penuh langkah pemerintah daerah maupun pusat yang akan menata kembali Puncak seperti dulu yang indah, tertib, nyaman, asri, dan tidak kumuh," katanya.
Pihaknya juga sudah mengajukan permohonan anggaran bantuan pada Pemprov DKI Jakarta untuk pemulihan kawasan Puncak di antaranya penggusuran vila liar atau penataan Puncak secara keseluruhan. "Kita sudah inventarisasi dan saat ini kami sedang data ulang vila dan hotel di kawasan Puncak. Kami mengajukan di dalamnya dana untuk (penggusuran) vila," katanya.
Pihaknya akan menyoroti perizinan vila-vila dan bangunan di kawasan puncak yang merupakan bagian dari DAS dan merusak kawasan hulu. "Kami masuk dari segi izin mendirikan bangunan (IMB)-nya," imbuhnya.
(amm)