DKI Belum Siap Jalankan Putusan MA Hentikan Swastanisasi Air

Jum'at, 23 Maret 2018 - 06:25 WIB
DKI Belum Siap Jalankan...
DKI Belum Siap Jalankan Putusan MA Hentikan Swastanisasi Air
A A A
JAKARTA - Swastanisasi pengelolaan air bersih di Jakarta masih berjalan meski Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan agar DKI menghentikanya. Restrukturisasi dua operator swasta oleh Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya justru dinilai sebagai pembangkangan putusan MA.

Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana mengatakan, aksi masyarakat menolak swastanisasi air di halaman Balai Kota DKI Jakarta, Kamis 22 Maret ini merupakan tindak lanjut putusan MA perihal penghentian swastanisasi air. Menurutnya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan harus melaksanakan putusan MA sesegera mungkin.

"Kami apresiasi komitmen Gubernur Anies di media bahwa dia akan mengambil alih, tapi kami katakan kami tidak ingin komitmen ini hanya tipu-tipu, kami ingin real," kata Arief Maulana di Balai Kota DKI Jakarta, kemarin.

Arief menjelaskan, putusan MA No.31/Pdt/2017 telah memutus terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta, Aerta, Palyja karena gagal memenuhi hak atas air dan merugikan warga Jakarta. MA memerintahkan untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta, mengembalikan pengelolaan air minum ke publik sesuai dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No.ll Tahun 2005, serta sesuai dengan Komentar Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Hak Atas Air.

Swastanisasi yang dilakukan selama ini, lanjut Arief telah merugikan rakyat Jakarta dalam mendapatkan pemenuhan Hak Atas Air, Air menjadi mahal dan sulit didapatkan masyarakat miskin. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan kewajiban negara dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis. Konstitusi menyatakan bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air, dan akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri harus ditegakkan. Air harus dinyatakan sebagai aset nasional serta pengelolaan dan pemanfaatannya harus dengan melibatkan masyarakat laki-laki dan perempuan.

"Respon gubernur beliau masih normatif, tapi dia bilang akan melaksanakan putusan MA, jangan sampai gubernur komitmen, tetapi direktur PAM Jaya enggak komitmen, kalau enggak komitmen dan enggak sejalan dengan Gubernur, copot saja," ungkapnya.

Terkait restrukturisasi yang dilakukan PDAM Jaya sebagai tindak lanjut pengambilalihan pelayanan air dari dua operator swasta Aetra dan Palyja, Arief menilai justru itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MA dan tidak menghormati prinsip negara hukum yang sudah ditetapkan oleh UUD NRI 1945.

Restrukturisasi itu, kata Arief merupakan revisi kerja sama yang tetap lanjut hingga perjanjian kontrak habis pada 2023. Hal itu bukan putusan MA. Putusan MA jelas menghentikan kerjasama dan mengambil alih pengelolaan air. Dia berharap dengan dihentikanya swastanisasi, air betul-betul menjadi milik publik, orientasi pengelolaan air bukan keuntungan seperti yang dilakukan Aetra dan Palyja seperti sekarang ini, tapi untukkesejahteraan masyarakat.

"Kembalikan PAM Jaya seperti mandatnya marwahnya yang diatur dalam Perda 13 tahun 1992, PAM itu harus ditempatkan sebagai unit negara yang mengelola air untuk kemakmuran rakyat. Kalau saat ini kan PAM jadi alatnya Palyja dan Aetra untuk mengeruk keuntungan," tegasnya.

Arief sepakat harus ada transisi apabila Pemprov DKI mengeksekusi putusan MA. Namun, bukan dengan perjanjian kerjasama, yang penting kontraknya berhenti dulu. Transisi seperti apa dan bagaimana itulah yang harus dipikirkan Gubernur DKI Jakarta.

"Sekarang itu asetnya kan PAM Jaya, rata-rata pegawainya juga PAM Jaya, tinggal tekhnis transisinya seperti apa itu yang harus didiskusikan, bukan justru mengaburkan perintah MA dengan merestrukturisasi," pungkasnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno menyebutkan, saat ini belum ada sikap dari Pemprov DKI untuk mnghentikan swastanisasi air sesuai putusan MA. Namun, Gubernur Anies sedang mereviewnya sebelum mengambil tindakan.

Intinya, lanjut Sandi, pihaknya ingin fokus dalam penyediaan air sebagai kebutuhan dasar kepada warga khususnya yang di daerah-daerah padat, daerah-daerah termajinalkan. Dirinya ingin mendorong, partisipasi pemerintah bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat, public, people partnership. Sehinga, ada kepastian memberikan fasilitas air bersih kepada masyarakat.

"Itu yang kemarin saya potong sendiri pipa air tanah di rumah, kita harapkan daerah-daerah yang dialiri bisa menggunakan air PAM Jaya, jadi dengan itu kinerja PAM Jaya meningkat dan dia memiliki kemampuan untuk bersama-sama maupun sendiri invetasi di investasi kedepan," pungkasnya.

Sementara itu, pada wawancara sebelumnya, Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat mengatakan, sejak 1998, pengelolaan air bersih di Jakarta memang diserahkan sepenuhnya kepada kedua operator swasta. Menurutnya, hampir 18 tahun bekerjasama, ketersediaan air tidak juga bertambah, sedangkan pertambahan penduduk semakin cepat.

Secara historis tahun lalu, lanjut Erlan, yang terjadi adalah dua mitra ini tidak memperhatikan (NRW) atau kebocoran dan pelayanan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, kata dia, setelah dipelajari lebih dalam ternyata tidak juga sepenuhnya seperti itu. Kedua operatornya ternyata cukup banyak menangani NRW dan masyaralat berpenghasilan rendah.

"Tapi kenapa tidak juga bisa memenuhi kebutuhan air bersih di Jakarta?, ternyata konsep K3, kontinue, kualitas dan kuantitas tidak terpenuhi di area-area seperti di kawasan cengkareng, Jakarta Barat. Jadi ketimbang mengurusi NRW, saya memilih untuk menambah pasokan air bersih," ujarnya.

Saat ini, Erlan menyebutkan, air bersih yang dapat dikelola dan didistribusikan Palyja dan PT Aetra sebanyak 17.000 liter per detik. Sedangkan kebutuhan air bersih bagi warga Jakarta yang mencapai 10 juta jiwa itu sebanyak 26.100 liter perdetik. Artinya, Jakarta masih kekurangan air bersih sekitar 9.100 liter per detik. Untuk itu, pembangunan Water treatment Plants (WTP) yang bisa menambah 500 liter perdetik haru dilakukan.

"NRW masih mencapai 41 persen. Untuk meenakn NRW sebanyak 13 persen, saya hitung sekitar Rp 2,5 Triliun. Begitu dihitung kira-kira penghematan ini akan membawa saya kepada biaya per kubik air senilai Rp 60.000 per liter, harga jual saat ini hanya Rp 7.000. lagipula penghematan air di satu area tidak juga bisa menolong area yang lain. Akhirnya saya simpulkan tenryata kita memang kurang air," pungkasnya.

Terkait dengan pengelolaan air bersih yang harus dikelola negara melalui perusahaan Daerah dan putusan MA, Erlan menuturkan saat ini PDAM bersama kedua operatornya AETRA dan PALYJA telah sepakat untuk membahas restrukturisasi perjanjian kerjasama dengan menandatangani berita acara kesepakatan (MoU) nya pada 25 September lalu.

Restrukturisasi tersebut, kata Erlan merupakan upaya persiapan menjelang berakhirnya kerjasama pada 2023, sebelum sangat terlambat bagi PDaM untuk mempertahankan tingkat pelayanan yang sudah berjalan saat ini. Namun, bukan berarti pengelolaan air bersih tidak melibatkan swasta. Sebab, pengelolaan air bersih tidak bisa dilakukan oleh DKI Jakarta tanpa bantuan pemerintah pusat dan swasta.

"Kami akan tetap bermitra dengan dua operator kami untuk melayani air bersih di Jakarta. Tapi distribusinya di kami. Mereka pasti mau," ujarnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0988 seconds (0.1#10.140)