Jual Rumah, Seorang Ibu di Kemang Jadi Korban Komplotan Penipu
A
A
A
JAKARTA - Seorang Ibu rumah tangga melaporkan sejumlah orang ke Polda Metro Jaya setelah merasa ditipu saat akan menjual rumah dan ruko miliknya. Korban berpotensi kehilangan asetnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Awalnya, Reni Burhan (46) berniat menjual dua bangunan miliknya senilai Rp30 miliar. Setelah dipasang papan reklame, ada orang yang berminat untuk membelinya.
Jopie Rory selaku kuasa hukum Reni Burhan mengatakan, sejumlah orang, termasuk broker, datang untuk menanyakan terkait penjualan itu. Hingga akhirnya seorang berinisial I meyakinkan bahwa ia bisa mencarikan pembeli.
"Orang bernama I ini kemudian membawa orang lagi berisinial AYDSS. Awalnya bu Reni mau jual Rp35 miliar, tapi setelah negosiasi jadinya Rp28 miliar," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (16/3/2018).
Pada Agustus 2017, AYDSS mengajak Reni ke notaris dalam rangka pembayaran tahap pertama dua aset itu. Saat itu Reni mendapatkan uang Rp2 miliar dan AYDSS meminta dua sertifikat bangunan milik Reni.
"Tiga bulan kemudian, dilakukan transaksi lagi dengan notaris yang berbeda. Kali ini nominalnya Rp7,8 miliar ditransfer dua kali. Dari sinilah keanehan mulai terjadi," tegasnya.
Anehnya, saat itu Reni diminta tandatangan surat pernyataan pinjam-meminjam. Reni sempat menanyakan terkait hal itu kepada notaris berinisial LSN, namun tidak mendapatkan jawaban.
"Ibu bingung, dia jual aset kenapa disuruh tandatangan pinjam meminjam. Tapi dia tetap dipaksa untuk tandatangani surat itu," jelasnya. Jopie menerangakan, disinilah korban telah dijebak untuk melakukan transaksi pinjam meminjam.
Menurut Jopie, pada saat itu kliennya diajak oleh AYDSS ke bank swasta di Pondok Indah. Di bank itu, pelaku tarik tunai senilai Rp2,3 miliar dan melakukan transfer ke sejumlah rekening. Korban di bawah pengaruhnya diminta tanda tangan semua itu.
"Dia beralasan, model bisnisnya dia semacam itu. Nanti uangnya akan kembali di transfer ke rekening bu Reni," tegasnya. Bahkan dari Rp7,8 miliar itu hanya disisakan Rp12 juta di rekening dan dikatakan oleh pelaku untuk uang jajan
Kebingungan Reni tak berhenti sampai di sana. Pada 4 Maret 2018 lalu, tiba-tiba datang pengacara dari pihak AYDSS dan menunjukkan sejumlah dokumen dalam proses jual beli rumah sejak Agustus 2017.
"Di sana bu Reni baru menyadari bahwa di dalam suatu surat yang ia tandatangani ternyata ada klausa tertulis, sejak ditandatangani surat pinjam meminjam itu, apabila tidak dikembalikan 28 Februari 2018, maka pada 1 Maret saksi korban harus mengkosongkan rumah. Dalam surat itu juga Reni diwajibkan membayar Rp9 miliar, yakni uang Rp7,8 miliar yang dianggap utang dan bungannya sebesar Rp1,2 miliar.
"Ini jelas penjebakan. Bu Reni mau jual rumah, dikasih pembayaran kedua Rp7,8 miliar dan uangnya diambil dia lagi, tiba-tiba mereka datang dan berniat mengambil alih rumah," tukasnya.
Penasehat hukum Reni lainnya, Rogahang menambahkan, dari dua kali transaksi itu, kliennya hanya mendapat Rp2 miliar dan Rp12 juta. Padahal, setifikat dua bangunan sudah dipegang oleh pihak AYDSS.
Dalam kasus ini, pengacara Reni melaporkan tujuh orang yang mereka duga adalah sindikat penipuan dengan sasaran masyarakat yang ingin menjual rumah. Laporan dilayangkan ke Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 7 Maret lalu dengan nomor LP/1245/III/2008/PMJ/Ditreskrimum.
"Dengan adanya kasus ini, saya imbau masyarakat hati-hati mengiklankan rumah mewah yang akan dijual untuk hindari aksi kelompok seperti ini. Mereka bekerja secara sistematis dan melibatkan orang-orang profesional bahkan sudah punya backingan preman. Saya kira ini adalah sindikat besar," katanya.
Awalnya, Reni Burhan (46) berniat menjual dua bangunan miliknya senilai Rp30 miliar. Setelah dipasang papan reklame, ada orang yang berminat untuk membelinya.
Jopie Rory selaku kuasa hukum Reni Burhan mengatakan, sejumlah orang, termasuk broker, datang untuk menanyakan terkait penjualan itu. Hingga akhirnya seorang berinisial I meyakinkan bahwa ia bisa mencarikan pembeli.
"Orang bernama I ini kemudian membawa orang lagi berisinial AYDSS. Awalnya bu Reni mau jual Rp35 miliar, tapi setelah negosiasi jadinya Rp28 miliar," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (16/3/2018).
Pada Agustus 2017, AYDSS mengajak Reni ke notaris dalam rangka pembayaran tahap pertama dua aset itu. Saat itu Reni mendapatkan uang Rp2 miliar dan AYDSS meminta dua sertifikat bangunan milik Reni.
"Tiga bulan kemudian, dilakukan transaksi lagi dengan notaris yang berbeda. Kali ini nominalnya Rp7,8 miliar ditransfer dua kali. Dari sinilah keanehan mulai terjadi," tegasnya.
Anehnya, saat itu Reni diminta tandatangan surat pernyataan pinjam-meminjam. Reni sempat menanyakan terkait hal itu kepada notaris berinisial LSN, namun tidak mendapatkan jawaban.
"Ibu bingung, dia jual aset kenapa disuruh tandatangan pinjam meminjam. Tapi dia tetap dipaksa untuk tandatangani surat itu," jelasnya. Jopie menerangakan, disinilah korban telah dijebak untuk melakukan transaksi pinjam meminjam.
Menurut Jopie, pada saat itu kliennya diajak oleh AYDSS ke bank swasta di Pondok Indah. Di bank itu, pelaku tarik tunai senilai Rp2,3 miliar dan melakukan transfer ke sejumlah rekening. Korban di bawah pengaruhnya diminta tanda tangan semua itu.
"Dia beralasan, model bisnisnya dia semacam itu. Nanti uangnya akan kembali di transfer ke rekening bu Reni," tegasnya. Bahkan dari Rp7,8 miliar itu hanya disisakan Rp12 juta di rekening dan dikatakan oleh pelaku untuk uang jajan
Kebingungan Reni tak berhenti sampai di sana. Pada 4 Maret 2018 lalu, tiba-tiba datang pengacara dari pihak AYDSS dan menunjukkan sejumlah dokumen dalam proses jual beli rumah sejak Agustus 2017.
"Di sana bu Reni baru menyadari bahwa di dalam suatu surat yang ia tandatangani ternyata ada klausa tertulis, sejak ditandatangani surat pinjam meminjam itu, apabila tidak dikembalikan 28 Februari 2018, maka pada 1 Maret saksi korban harus mengkosongkan rumah. Dalam surat itu juga Reni diwajibkan membayar Rp9 miliar, yakni uang Rp7,8 miliar yang dianggap utang dan bungannya sebesar Rp1,2 miliar.
"Ini jelas penjebakan. Bu Reni mau jual rumah, dikasih pembayaran kedua Rp7,8 miliar dan uangnya diambil dia lagi, tiba-tiba mereka datang dan berniat mengambil alih rumah," tukasnya.
Penasehat hukum Reni lainnya, Rogahang menambahkan, dari dua kali transaksi itu, kliennya hanya mendapat Rp2 miliar dan Rp12 juta. Padahal, setifikat dua bangunan sudah dipegang oleh pihak AYDSS.
Dalam kasus ini, pengacara Reni melaporkan tujuh orang yang mereka duga adalah sindikat penipuan dengan sasaran masyarakat yang ingin menjual rumah. Laporan dilayangkan ke Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 7 Maret lalu dengan nomor LP/1245/III/2008/PMJ/Ditreskrimum.
"Dengan adanya kasus ini, saya imbau masyarakat hati-hati mengiklankan rumah mewah yang akan dijual untuk hindari aksi kelompok seperti ini. Mereka bekerja secara sistematis dan melibatkan orang-orang profesional bahkan sudah punya backingan preman. Saya kira ini adalah sindikat besar," katanya.
(ysw)