BMKG: Belum Ada Teknologi yang Bisa Pastikan Gempa Megathrust
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat dalam beberapa hari terakhir sempat heboh akan potensi terjadinya gempa bumi megathrust berkekuatan 8,7 skala richter (SR) di Jakarta. Potensi gempa ini terungkap dalam diskusi yang digelar Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) dengan Pemprov DKI baru-baru ini. Lantas, apakah benar gempa megathrust berkekuatan 8,7 SR bakal mengguncang Jakarta?
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Hary Tirto Djatmiko, menjelaskan, sebenarnya diskusi tersebut dirancang untuk kalangan terbatas, antara para pakar dan pemegang kebijakan. Sebab diskusi membahas hal yang cukup sensitif, namun urgen untuk segera dilakukan langkah lanjut. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab para pakar dalam memberikan layanan keselamatan publik di daerah rawan gempa bumi.
"Namun ternyata ada beberapa tulisan yang beredar viral, yang kurang tepat dalam menyimpulkan diskusi dalam sarasehan tersebut, sehingga dimaknai berbeda oleh sebagian masyarakat," ujar Hary dalam keterangan persnya yang dikutip dari laman resmi BMKG, Sabtu (3/3/2018).
Menurut Hary, perlu dipahami bahwa wilayah Indonesia terletak di zona pertemuan lempeng tektonik aktif, sehingga menjadi wilayah yang rawan gempa bumi. Oleh karena itu, pemerintah melalui Pusat Studi Gempa Nasional-PUSGEN, dengan didukung oleh para pakar gempa dari beberapa perguruan tinggi, lembaga/kementerian, termasuk BMKG, telah menerbitkan buku "Peta Sumber dan Bahaya Gempabumi Indonesia tahun 2017" sebagai salah satu upaya dan langkah mitigasi gempa bumi di Indonesia.
Peta tersebut merupakan pedoman untuk mendesain konstruksi bangunan di daerah rawan gempa bumi, dengan mempertimbangkan percepatan tanah akibat perambatan gelombang gempa. Peta tersebut diterbitkan bersama buku dengan judul yang sama.
Di dalam buku tersebut diinformasikan bahwa berdasarkan hasil kajian para pakar gempa bumi, zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menunjam masuk ke bawah Pulau Jawa disebut sebagai zona megathrust, dan proses penunjaman lempeng tersebut masih terjadi dengan laju 60-70 mm per tahun.
Selanjutnya, menurut analisis para pakar gempa bumi, gerakan penunjaman lempeng tersebut memungkinkan dapat mengakibatkan gempa megathrust dengan kekuatan/magnitudo maksimum yang diperkirakan dapat mencapai magnitudo 8,7. Maka itulah, IKAMEGA berinisiatif menyelenggarakan diskusi dengan Pemprov DKI untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi gempa bumi tersebut.
Meski para ahli mampu menghitung perkiraan magnitudo maksimum gempa di zona megathrust, akan tetapi teknologi saat ini belum mampu memprediksi dengan tepat, apalagi memastikan kapan terjadinya gempa megathrust tersebut. "Kami pun belum mampu memastikan apakah gempa megathrust magnitudo 8,7 akan benar-benar terjadi, kapan, dimana, dan berapa kekuatannya," tandasnya.
Oleh karena itu, dalam ketidakpastian tersebut, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi yang tepat, menyiapkan langkah-langkah kongkrit yang perlu segera dilakukan untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa seandainya gempa benar-benar terjadi. Khususnya dengan cara menyiapkan kesiapan masyarakat maupun inftrastrukturnya.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Hary Tirto Djatmiko, menjelaskan, sebenarnya diskusi tersebut dirancang untuk kalangan terbatas, antara para pakar dan pemegang kebijakan. Sebab diskusi membahas hal yang cukup sensitif, namun urgen untuk segera dilakukan langkah lanjut. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab para pakar dalam memberikan layanan keselamatan publik di daerah rawan gempa bumi.
"Namun ternyata ada beberapa tulisan yang beredar viral, yang kurang tepat dalam menyimpulkan diskusi dalam sarasehan tersebut, sehingga dimaknai berbeda oleh sebagian masyarakat," ujar Hary dalam keterangan persnya yang dikutip dari laman resmi BMKG, Sabtu (3/3/2018).
Menurut Hary, perlu dipahami bahwa wilayah Indonesia terletak di zona pertemuan lempeng tektonik aktif, sehingga menjadi wilayah yang rawan gempa bumi. Oleh karena itu, pemerintah melalui Pusat Studi Gempa Nasional-PUSGEN, dengan didukung oleh para pakar gempa dari beberapa perguruan tinggi, lembaga/kementerian, termasuk BMKG, telah menerbitkan buku "Peta Sumber dan Bahaya Gempabumi Indonesia tahun 2017" sebagai salah satu upaya dan langkah mitigasi gempa bumi di Indonesia.
Peta tersebut merupakan pedoman untuk mendesain konstruksi bangunan di daerah rawan gempa bumi, dengan mempertimbangkan percepatan tanah akibat perambatan gelombang gempa. Peta tersebut diterbitkan bersama buku dengan judul yang sama.
Di dalam buku tersebut diinformasikan bahwa berdasarkan hasil kajian para pakar gempa bumi, zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menunjam masuk ke bawah Pulau Jawa disebut sebagai zona megathrust, dan proses penunjaman lempeng tersebut masih terjadi dengan laju 60-70 mm per tahun.
Selanjutnya, menurut analisis para pakar gempa bumi, gerakan penunjaman lempeng tersebut memungkinkan dapat mengakibatkan gempa megathrust dengan kekuatan/magnitudo maksimum yang diperkirakan dapat mencapai magnitudo 8,7. Maka itulah, IKAMEGA berinisiatif menyelenggarakan diskusi dengan Pemprov DKI untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi gempa bumi tersebut.
Meski para ahli mampu menghitung perkiraan magnitudo maksimum gempa di zona megathrust, akan tetapi teknologi saat ini belum mampu memprediksi dengan tepat, apalagi memastikan kapan terjadinya gempa megathrust tersebut. "Kami pun belum mampu memastikan apakah gempa megathrust magnitudo 8,7 akan benar-benar terjadi, kapan, dimana, dan berapa kekuatannya," tandasnya.
Oleh karena itu, dalam ketidakpastian tersebut, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi yang tepat, menyiapkan langkah-langkah kongkrit yang perlu segera dilakukan untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa seandainya gempa benar-benar terjadi. Khususnya dengan cara menyiapkan kesiapan masyarakat maupun inftrastrukturnya.
(thm)