Banyak Pengembang Nakal, RTH di Bekasi Sulit Terpenuhi
A
A
A
BEKASI - Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi kesulitan mewujudkan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayahnya. Sebab, mayoritas pengembang sektor komersil seperti rumah toko (Ruko) menyimpang dari rekomendasi desain tata ruang yang dikeluarkan pemerintah setempat.
"Kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Bekasi memang sulit terpenuhi setiap tahunnya, disebabkan beberapa pengembang tidak patuh mengikuti rekomendasi desain tata ruang," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Koswara Hanafi pada Rabu, 28 Februari 2018 kemarin.
Menurut Koswara, pertumbuhan RTH di Kota Bekasi tiap tahun hanya mencapai 0,048%. Padahal, seharusnya pemerintah menyediakan RTH publik sebesar 20% dari total wilayah Kota Bekasi seluas 210,5 kilometer persegi dan 11% RTH privat dari total keseluruhan luas wilayah.
Namun, lanjut dia, yang paling sulit disediakan adalah RTH untuk kategori publik, berbeda dengan ruang privat yang sudah hampir mencapai target. Hanya saja, masih aja ada pengemplang RTH di kalangan pengembang."Hingga tahun ini, RTH yang sudah ada baru 14%," ungkapnya.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Perda No 17/2011 yang menyebutkan pemanfaatan ruang dimana pengembang sektor apapun harus menyediakan RTH sebanyak 15-20 %. Namun, saat masuk dalam implementasi pembangunan jumlah tersebut kadang tidak sesuai.
Bahkan, menurut Koswara, untuk pengembang ruko, desain awal peruntukan RTH kebanyakan menyimpang dan lebih memilih lahan parkir. Kondisi itu terjadi sebelum tahun 2011 lalu, tak hanya pengembang pembangunan ruko yang menyimpang, tetapi para pengembang hunian luput menyediakan RTH di dalam kawasan mereka.
Karena itu mulai 2011 pihaknya mulai menata kawasan permukiman dan ruko agar tetap menyediakan RTH sesuai Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Untuk itu, Dinas Tata Ruang mengupayakan agar RTH di wilayahnya bisa segera terpenuhi.
Kabid Perencanaan, Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Erwin Guwinda menambahkan, sebetulnya masih banyak perumahan tipe cluster yang melanggar aturan main rekomendasi analisa dampak lingkungan (Amdal). Biasanya rekomendasi tersebut keluar di tingkat pejabat teknis Kantor Kecamatan.
"Sejak 2011 lalu kita perketat, banyak perumahan yang lahannya seluruhnya dibangun rumah, tidak ada RTH, tidak ada fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), mereka hanya nebeng," katanya. Menurutnya, saat ini rekomendasi Amdal terpusat hanya dikeluarkan oleh Distaru.
Sehingga, rekomendasi ini tidak lagi bisa diperoleh di tingkat kecamatan mulai rekomendasi Amdal baik permukiman, ruko atau kawasan apapun. Selain itu, pemerintah mengejar ketersediaan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU). Agar, jumlah 20 % RTH kategori publik bisa segera terpenuhi.
"Kalau pengembang yang punya lahan di bawah 100 meter persegi bisa diganti dengan uang agar pemerintah yang belikan," ungkapnya. Untuk itu, pemerintah sedang mengejar RTH di wilayahnya bisa mencapai 30% dengan menerapkan aturan dan menindak tegas pengembang.
"Kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Bekasi memang sulit terpenuhi setiap tahunnya, disebabkan beberapa pengembang tidak patuh mengikuti rekomendasi desain tata ruang," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Koswara Hanafi pada Rabu, 28 Februari 2018 kemarin.
Menurut Koswara, pertumbuhan RTH di Kota Bekasi tiap tahun hanya mencapai 0,048%. Padahal, seharusnya pemerintah menyediakan RTH publik sebesar 20% dari total wilayah Kota Bekasi seluas 210,5 kilometer persegi dan 11% RTH privat dari total keseluruhan luas wilayah.
Namun, lanjut dia, yang paling sulit disediakan adalah RTH untuk kategori publik, berbeda dengan ruang privat yang sudah hampir mencapai target. Hanya saja, masih aja ada pengemplang RTH di kalangan pengembang."Hingga tahun ini, RTH yang sudah ada baru 14%," ungkapnya.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Perda No 17/2011 yang menyebutkan pemanfaatan ruang dimana pengembang sektor apapun harus menyediakan RTH sebanyak 15-20 %. Namun, saat masuk dalam implementasi pembangunan jumlah tersebut kadang tidak sesuai.
Bahkan, menurut Koswara, untuk pengembang ruko, desain awal peruntukan RTH kebanyakan menyimpang dan lebih memilih lahan parkir. Kondisi itu terjadi sebelum tahun 2011 lalu, tak hanya pengembang pembangunan ruko yang menyimpang, tetapi para pengembang hunian luput menyediakan RTH di dalam kawasan mereka.
Karena itu mulai 2011 pihaknya mulai menata kawasan permukiman dan ruko agar tetap menyediakan RTH sesuai Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Untuk itu, Dinas Tata Ruang mengupayakan agar RTH di wilayahnya bisa segera terpenuhi.
Kabid Perencanaan, Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Erwin Guwinda menambahkan, sebetulnya masih banyak perumahan tipe cluster yang melanggar aturan main rekomendasi analisa dampak lingkungan (Amdal). Biasanya rekomendasi tersebut keluar di tingkat pejabat teknis Kantor Kecamatan.
"Sejak 2011 lalu kita perketat, banyak perumahan yang lahannya seluruhnya dibangun rumah, tidak ada RTH, tidak ada fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), mereka hanya nebeng," katanya. Menurutnya, saat ini rekomendasi Amdal terpusat hanya dikeluarkan oleh Distaru.
Sehingga, rekomendasi ini tidak lagi bisa diperoleh di tingkat kecamatan mulai rekomendasi Amdal baik permukiman, ruko atau kawasan apapun. Selain itu, pemerintah mengejar ketersediaan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU). Agar, jumlah 20 % RTH kategori publik bisa segera terpenuhi.
"Kalau pengembang yang punya lahan di bawah 100 meter persegi bisa diganti dengan uang agar pemerintah yang belikan," ungkapnya. Untuk itu, pemerintah sedang mengejar RTH di wilayahnya bisa mencapai 30% dengan menerapkan aturan dan menindak tegas pengembang.
(whb)