Berburu Manuskrip Tionghoa Abad XVIII hingga ke Eropa
A
A
A
TANGERANG - Di tengah penurunan minat baca dan budaya literasi masyarakat Indonesia, Azmi Abubakar alias Daud,44, malah gencar melakukan perburuan manuskrip Tionghoa. Tidak tanggung-tanggung, perburuan manuskrip ini dilakukan di seluruh pelosok Indonesia dan mancanegara. Mulai dari Malaysia, Singapura, Belanda, Swiss, dan belahan negara bagian Eropa lainnya.
Saat ditemui di Museum Peranakan Tionghoa, Jalan Pahlawan Seribu, Kawasan ITC BSD, Ruko Golden Road C28/25, Kota Tangerang Selatan, Banten, Daud baru saja menerima tamu. Pria berjenggot tipis ini mengaku memiliki minat terhadap Tionghoa sudah sejak lama. Bersama sejumlah komunitas Tionghoa lainnya, dia membuat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. "Proses pencarian keliling daerah, karena suka jalan-jalan, di Jawa, Sumatera, dan kota-kota besar di Indonesia," kata Daud, di Ruko Golden Road C28/25, Serpong, Senin (26/2/2018).
Selama melakukan perjalanan tersebut, tidak terhitung berapa biaya yang harus dikeluarkan Daud. Hanya kepuasan dan kecintaannya terhadap literasi yang sanggup membayar semuanya. "Manuskrip Tionghoa yang terkumpul banyak berasal dari abad ke-18, terdiri atas buku-buku antik seperti cerita silat, komik, buku, koran, dokumen pribadi, dan yang lainnya," sebut Daud.
Daud mengatakan, semua barang itu merupakan harta yang sangat berharga bagi dirinya dan memiliki nilai sejarah sangat tinggi. Bahkan, warisan bagi generasi bangsa yang akan datang. "Di sini kami simpan buku-buku yang dibuat dari saudara kita, etnis Tionghoa, dan yang ingin disampaikan bahwa apa yang dihasilkan oleh mereka, itu adalah harta karun bangsa kita yang harus dijaga," tandasnya.
Adapun majalah penting itu adalah Koran Sinpo cetakan awal, Keng Po, Starwekly, majalah Panca Warna, buku-buku tentang pendidikan, buku medik, budaya, dokumen THHK dan koran, serta majalah lawas. Beberapa manuskrip itu adalah buku catatan kegiatan kelompok pandu dengan ilustrasi Goei Tek Tjiang pada 1946-1948, dan manuskrip beraksara Jawa karya Tjan Tjoen Hiang di Surakarta pada 1891.
Azmi mengatakan, Tjan menceritakan kembali kisah roman klasik Tiongkok Sie Djin Kwie. Dia bahkan masih menyimpan karya klasik Kwee Tek Hoay (1886-1951), penulis peranakan Tionghoa tersohor. Salah satu benda menarik dalam museum itu adalah papan nama bertuliskan timbul Tan Lian Tjhoen. Di balik papan nama itu terdapat nama Djoenaedy K. Papan nama ini merupakan dokumen sangat penting.
"Papan nama itu merupakan bagian dari ingatan negeri ini ketika kekuasaan berusaha memberangus budaya Tionghoa dengan aturan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, Asri, salah satu pengunjung museum, mengaku sangat kagum dengan koleksi yang dimiliki Daud. Dari museum itu, dia banyak belajar tentang budaya panjang Tionghoa di Indonesia. "Koleksinya sangat lengkap, ada buku, catatan-catatan pertemuan, papan nama, patung, dan lainnya. Foto-foto keluarga Tionghoa dan organisasinya juga ada. Museum ini sangat penting," ungkapnya.
Di juga tidak menyangka jika Daud bisa mengumpulkan semua manuskrip itu dan tidak pernah membayangkan berapa biaya yang harus dibayarnya. Dia berharap koleksi museum ini terus bertambah.
Saat ditemui di Museum Peranakan Tionghoa, Jalan Pahlawan Seribu, Kawasan ITC BSD, Ruko Golden Road C28/25, Kota Tangerang Selatan, Banten, Daud baru saja menerima tamu. Pria berjenggot tipis ini mengaku memiliki minat terhadap Tionghoa sudah sejak lama. Bersama sejumlah komunitas Tionghoa lainnya, dia membuat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. "Proses pencarian keliling daerah, karena suka jalan-jalan, di Jawa, Sumatera, dan kota-kota besar di Indonesia," kata Daud, di Ruko Golden Road C28/25, Serpong, Senin (26/2/2018).
Selama melakukan perjalanan tersebut, tidak terhitung berapa biaya yang harus dikeluarkan Daud. Hanya kepuasan dan kecintaannya terhadap literasi yang sanggup membayar semuanya. "Manuskrip Tionghoa yang terkumpul banyak berasal dari abad ke-18, terdiri atas buku-buku antik seperti cerita silat, komik, buku, koran, dokumen pribadi, dan yang lainnya," sebut Daud.
Daud mengatakan, semua barang itu merupakan harta yang sangat berharga bagi dirinya dan memiliki nilai sejarah sangat tinggi. Bahkan, warisan bagi generasi bangsa yang akan datang. "Di sini kami simpan buku-buku yang dibuat dari saudara kita, etnis Tionghoa, dan yang ingin disampaikan bahwa apa yang dihasilkan oleh mereka, itu adalah harta karun bangsa kita yang harus dijaga," tandasnya.
Adapun majalah penting itu adalah Koran Sinpo cetakan awal, Keng Po, Starwekly, majalah Panca Warna, buku-buku tentang pendidikan, buku medik, budaya, dokumen THHK dan koran, serta majalah lawas. Beberapa manuskrip itu adalah buku catatan kegiatan kelompok pandu dengan ilustrasi Goei Tek Tjiang pada 1946-1948, dan manuskrip beraksara Jawa karya Tjan Tjoen Hiang di Surakarta pada 1891.
Azmi mengatakan, Tjan menceritakan kembali kisah roman klasik Tiongkok Sie Djin Kwie. Dia bahkan masih menyimpan karya klasik Kwee Tek Hoay (1886-1951), penulis peranakan Tionghoa tersohor. Salah satu benda menarik dalam museum itu adalah papan nama bertuliskan timbul Tan Lian Tjhoen. Di balik papan nama itu terdapat nama Djoenaedy K. Papan nama ini merupakan dokumen sangat penting.
"Papan nama itu merupakan bagian dari ingatan negeri ini ketika kekuasaan berusaha memberangus budaya Tionghoa dengan aturan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, Asri, salah satu pengunjung museum, mengaku sangat kagum dengan koleksi yang dimiliki Daud. Dari museum itu, dia banyak belajar tentang budaya panjang Tionghoa di Indonesia. "Koleksinya sangat lengkap, ada buku, catatan-catatan pertemuan, papan nama, patung, dan lainnya. Foto-foto keluarga Tionghoa dan organisasinya juga ada. Museum ini sangat penting," ungkapnya.
Di juga tidak menyangka jika Daud bisa mengumpulkan semua manuskrip itu dan tidak pernah membayangkan berapa biaya yang harus dibayarnya. Dia berharap koleksi museum ini terus bertambah.
(amm)