Bogor Dikritik Banyak Terima Penghargaan, Ini Alasannya
A
A
A
BOGOR - Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia Syamsudin Alimsyah mengkritik Pemkot dan Pemkab Bogor yang banyak menerima penghargaan sepanjang 2017, akan tetapi rakyat menderita dari segi pemenuhan fasilitas pendidikan dan infrastruktur jalan.
"Ironi dua daerah ini (Kota/Kabupaten Bogor) banyak mendapatkan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri bahkan dari pemerintah pusat. Apa arti sebuah penghargaan peringkat terbaik, tapi rakyatnya menderita. Saya sebut daerah ini, nyata gagal dalam membelanjakan APBD. Karena SILPA dimasing-masing daerah tinggi," katanya di Bogor, Rabu 27 Desember 2017.
Ia menyayangkan kalau alasan Wali Kota dan Bupati enggan membelanjakan APBD dan lebih memilih mengendapkan di bank karena faktor regulasi yang ketat dan khawatir melanggar hukum jika melakukan lelang karena waktu sudah mepet. (Baca Juga: Duel ala Gladiator Terulang Lagi di Bogor, Satu Pelajar Tewas
"Bahkan, faktanya, sekarang seperti di sengaja, di masa injury time baru mau lelang. Itu suatu modus, misalnya ketika ada yang gagal lelang dilakukan penunjukan langsung. Ada yang gagal lelang kemudian di take over kembali ke kas jadilah SILPA," ungkapnya.
Ia menyebutkan, Silpa itu, harusnya dibelanjakan untuk mengatasi berbagai persoalan, baik itu untuk membangun gedung sekolah atau jalan rusak. Tapi karena tidak jadi dibelanjakan. "Sekolah dan jalan banyak yang rusak. Kalau sudah seperti ini siapa yang dirugikan ya masyarakat," tegasnya.
Tapi, kenapa sekolah atau jalan itu tak kunjung diperbaiki juga karena mereka tak pernah merencanakan. Bagi kami adalah catatan bagi Kota dan Kabupaten Bogor ini. (Baca Juga: Pemkot Bogor Minta Pembangunan Masjid Imam Ahmad Dihentikan Sementara
"Kepala daerah dan DPRD harus di refleksi betul, harus dievaluasi betul. Bagi kami dua daerah ini, diatas kertas sangat bagus dalam perencanaan alokasi anggaran Rp7 triliun lebih (Kabupaten Bogor). Begitu eksekusi, ternyata Rp7 triliun itu tidak ada. Karena ada yang mengendap Rp1 triliun," katanya.
Memang betul, lanjut dia, hampir di setiap daerah ada SILPA, karena tidak otomatis ada duit untuk tahun depannya. Untuk membayar belanja rutin tahun depannya. Kalau terjadi defisit batasannya hanya 2,5 persen dari total APBD. "Alasan 2,5 persen agar ada belanja APBD yang bisa ditangani. Sama saja ketika terjadi adanya SILPA juga dibatasi. Agar menghindari adanya kepala daerah yang kerjanya mengendapkan duit. Duit mengendap yang rugi adalah rakyat," katanya.
Ia juga mempertanyakan APBD Kota Bogor hanya Rp2,3 triliun. "Bagi saya sebuah kota yang berada di penyangga ibu kota negara yang APBD nya Rp72 triliun (DKI). Masa hanya Rp2,3 triliun APBD nya. Kemanakan uang atau ABPD Jakarta. Kan banyak orang Jakarta yang tinggal di Bogor," jelasnya.
Untuk Kota Bogor, seharusnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), itu lebih tinggi dibandingkan dana transferan dari pusat. Beda dengan daerah lain, seperti Cianjur, Sukabumi atau Karawang.
"Ini Bogor, daerah transit, kita metropolitan, tempat persinggahan orang-orang ke sini. Sebetulnya sangat mudah dibaca. Ini dibutuhkan kreativitas seorang kepala daerah, kalau hanya diam saja tentu tak akan bisa," katanya.
"Ironi dua daerah ini (Kota/Kabupaten Bogor) banyak mendapatkan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri bahkan dari pemerintah pusat. Apa arti sebuah penghargaan peringkat terbaik, tapi rakyatnya menderita. Saya sebut daerah ini, nyata gagal dalam membelanjakan APBD. Karena SILPA dimasing-masing daerah tinggi," katanya di Bogor, Rabu 27 Desember 2017.
Ia menyayangkan kalau alasan Wali Kota dan Bupati enggan membelanjakan APBD dan lebih memilih mengendapkan di bank karena faktor regulasi yang ketat dan khawatir melanggar hukum jika melakukan lelang karena waktu sudah mepet. (Baca Juga: Duel ala Gladiator Terulang Lagi di Bogor, Satu Pelajar Tewas
"Bahkan, faktanya, sekarang seperti di sengaja, di masa injury time baru mau lelang. Itu suatu modus, misalnya ketika ada yang gagal lelang dilakukan penunjukan langsung. Ada yang gagal lelang kemudian di take over kembali ke kas jadilah SILPA," ungkapnya.
Ia menyebutkan, Silpa itu, harusnya dibelanjakan untuk mengatasi berbagai persoalan, baik itu untuk membangun gedung sekolah atau jalan rusak. Tapi karena tidak jadi dibelanjakan. "Sekolah dan jalan banyak yang rusak. Kalau sudah seperti ini siapa yang dirugikan ya masyarakat," tegasnya.
Tapi, kenapa sekolah atau jalan itu tak kunjung diperbaiki juga karena mereka tak pernah merencanakan. Bagi kami adalah catatan bagi Kota dan Kabupaten Bogor ini. (Baca Juga: Pemkot Bogor Minta Pembangunan Masjid Imam Ahmad Dihentikan Sementara
"Kepala daerah dan DPRD harus di refleksi betul, harus dievaluasi betul. Bagi kami dua daerah ini, diatas kertas sangat bagus dalam perencanaan alokasi anggaran Rp7 triliun lebih (Kabupaten Bogor). Begitu eksekusi, ternyata Rp7 triliun itu tidak ada. Karena ada yang mengendap Rp1 triliun," katanya.
Memang betul, lanjut dia, hampir di setiap daerah ada SILPA, karena tidak otomatis ada duit untuk tahun depannya. Untuk membayar belanja rutin tahun depannya. Kalau terjadi defisit batasannya hanya 2,5 persen dari total APBD. "Alasan 2,5 persen agar ada belanja APBD yang bisa ditangani. Sama saja ketika terjadi adanya SILPA juga dibatasi. Agar menghindari adanya kepala daerah yang kerjanya mengendapkan duit. Duit mengendap yang rugi adalah rakyat," katanya.
Ia juga mempertanyakan APBD Kota Bogor hanya Rp2,3 triliun. "Bagi saya sebuah kota yang berada di penyangga ibu kota negara yang APBD nya Rp72 triliun (DKI). Masa hanya Rp2,3 triliun APBD nya. Kemanakan uang atau ABPD Jakarta. Kan banyak orang Jakarta yang tinggal di Bogor," jelasnya.
Untuk Kota Bogor, seharusnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), itu lebih tinggi dibandingkan dana transferan dari pusat. Beda dengan daerah lain, seperti Cianjur, Sukabumi atau Karawang.
"Ini Bogor, daerah transit, kita metropolitan, tempat persinggahan orang-orang ke sini. Sebetulnya sangat mudah dibaca. Ini dibutuhkan kreativitas seorang kepala daerah, kalau hanya diam saja tentu tak akan bisa," katanya.
(mhd)