Retribusi Karcis di Lokasi Parkir Elektronik Merugikan

Rabu, 27 Desember 2017 - 07:24 WIB
Retribusi Karcis di...
Retribusi Karcis di Lokasi Parkir Elektronik Merugikan
A A A
JAKARTA - Tempat parkir elektronik (TPE) di Jakarta kembali menggunakan karcis manual. Selain mengalami penurunan pendapatan retribusi, penggunaan karcis manual mengubah kembali kebiasaan pengendara.

Berdasarkan pantauan, TPE di Jalan Sabang, Jakarta Pusat yang terpasang parkir mesin sejak 2014 itu kini kembali menggunakan karcis sebagai tanda retribusi parkir kendaraan. Padahal, TPE yang menjadi percontohan pelaksanaan TPE di titik parkir on street itu mampu menutup kebocoran retribusi parkir yang sebelumnya menggunakan karcis hanya Rp500.000 per hari menjadi Rp12 Juta per hari.

Bahkan, meski kemacetan juga terjadi saat berlakunya TPE, penggunaan karcis manual saat ini justru malah menjadi tambah parah.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjiatmoko mengakui adanya penurunan pendapatan pada penggunaan karcis di lokasi TPE Jalan Sabang. Dia pun telah memerintahkan Kepala Unit Pelayanan Perparkiran (UPP) Dinas Perhubungan, Teodor Sianturi untuk menempatkan mesin parkir di Jalan Sabang lantaran pengendara atau pengguna dan juru parkir sudah teredukasi dengan baik terhadap penerapan mesin parkir di TPE.

"Sudah pasti pendapatan berkurang. Saya sudah minta sambil menunggu lelang, tempatkan parkir mesin milik UP di Jalan Sabang karena masyarakat dan petugas sudah teredukasi baik. Kan UPP punya 201 mesin," kata Sigit Widjiatmoko saat dihubungi Selasa, 26 Desember 2017 kemarin

Sigit menuturkan, tiga lokasi TPE percontohan di Jakarta yakni di Kelapa Gading, Jakarta Utara; Falatehan, Jakarta Selatan; dan Jalan Sabang, Jakarta Pusat merupakan TPE yang dibangun perusahaan swasta PT Mata Biru melalui kerja sama bagi hasil 70:30. Dimana PT Mata Biru mendapatkan 70% hasil retribusi lantaran berkewajiban merawat mesin dan menggaji juru parkir TPE.

Kerja sama yang dilakukan sejak 2004 itu, lanjut Sigit, sudah melewati batas akhir pada 4 Desember lalu. DKI tidak lagi melanjutkan kerja sama dengan PT Mata Biru tersebut lantaran hasil evaluasi banyak hal yang keluar dari perjanjian kerja sama. Salah satunya belum optimalnya pembayaran juru parkir.

"Hasil evaluasi penggunaan parkir mesin di TPE percontohan sangat baik. Masyarakat sudah mulai terbiasa, makanya sayang kalau kembali menggunakan karcis," ungkapnya. Bagi Dinas Perhubungan, lanjut Sigit, parkir on street/parkir tepi jalan adalah bagian dari TDM ( Transport Demand Management) atau manajemen pengendalian lalu lintas.

Penggunaan mesin parkir di TPE tidak hanya sekedar menekan kebocoran tapi lebih kepada manajemen ke depan, dimana kebijakan tarif parkir akan dibuat berdasarkan zonasi. Idealnya semakin ke tengah kota, tarif parkir on street semakin mahal dalam rangka mengoptimalkan penggunaan ruang jalan dan juga mendorong moda sharing ke transportasi umum.

Selain itu, Fungsi TPE sebagai pengendali harus berjalan berbarengan dengan Elektroni Road Pricin (ERP), operasional Mass Rapid Transit (MRT), Liht Rail Transit (LRT) dan Bus Rapid Transit (BRT) yang saling terintegrasi.

Namun, lanjut Sigit, pemasangan harus dilakukan diseluruh parkir on street yang diperkirakan butuh sekitar 700 mesin. Menurutnya, apabila mengunakan skema pengadaan BLUD parkir yang dilakukan saat ini dari anggaran pendapatan, 700 mesin parkir yang dibutuhkan memakan waktu 5-6 tahun.

"Nah, makanya kami tetap membutuhkan pihak ketiga. Kerja samanya nanti sistem investasi. Dengan kerja sama diperkirakan hanya butuh waktu satu tahun memasang 700 mesin parkir. Jadi pihak ketiga membangun, UPP melalui pendapatnya akan mencicil pembayarannya. Sama seperti ERP yang kini dalam tahap lelang," ungkapnya.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit mengatakan, sebelum menerapkan mesin parkir, Pemprov DKI harus memperhatikan dua hal. Pertama, jangan sampai penerapan mesin parkir menjadi moral hazard sumber pungutan liar baru dan tata kelola keuangan. Kedua, apakah Pemprov DKI sudah mampu menyediakan fasilitas parkir off street dengan jumlah dan pelayanan memadai.

Danang menjelaskan, parkir dan Elektronik Road pricing (ERP) merupakan kebijakan pembatasan kendaraan yang merupakan akhir dari penataan transportasi. Artinya, sebelum menerapkan pembatasan kendaraan, Pemprov DKI wajib memperbaiki layanan angkutan umum yang saling terintegrasi dan mudah diangkau oleh masyarakat.

Untuk itu, apabila masyarakat didorng untuk meninggalkan kendaraannya dirumah atau dilokasi park and ride, sistem angkutanya sudah harus memadai dan memenuhi perjalananan masyarakat.

"Pembatasan kendaraan baik dengan denda retribusi parkir atau jalan berbayar harus dibarengi dengan perbaikan angkutan umum. Banyaknya pengguna ojek aplikasi saat ini salah satu bukti karut-marutnya angkutan umum," ungkapnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1499 seconds (0.1#10.140)