Sterilisasi Busway, DKI Ingin Tilang Elektronik Segera Diterapkan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terus berupaya mensterilisasikan jalur busway dengan penempatan petugas dan separator barikade beton. Namun upaya ini dinilai sia-sia tanpa didukung tindakan tegas dari kepolisian.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjiatmoko, mengatakan, selama ini pihaknya terus berupaya memastikan waktu tempuh perjalanan sesuai standar pelayanan minimum (SPM) bus Transjakarta. Upaya tersebut di antaranya menempatkan 222 petugas Dinas Perhubungan di setiap pintu masuk koridor bus sejak pukul 05.00-22.00 WIB dan membangun separator barikade beton atau movable concrete barrier (MCB) setinggi 60 cm.
Kendati demikian, kata Sigit, rendahnya kesadaran masyarakat berlalu lintas membuat sterilisasi jalur busway belum dapat berjalan maksimal. Apalagi kalau tidak dibarengi dengan ketegasan hukum kepolisian. "Kesadaran masyarakat kita berlalu lintas itu baru terjadi ketika petugas kepolisian tegas. Operasi kencang baru pada taat. Itu fenomena yang harus diakui," ujar Sigit saat dihubungi, Senin (27/11/2017) kemarin.
Untuk itu, Sigit berharap petugas kepolisian konsisten menindak tegas pelanggar jalur busway dan mempercepat penegakan hukum melalui sistem elektronik. Apalagi armada bus Transjakarta saat ini telah dipasangi kamera closed circuit television (CCTV) di depan dan belakang bus yang bisa dijadikan bukti penindakan hukum oleh kepolisian.
Konsistensi kepolisian dalam sterilisasi jalur busway saat ini, lanjut Sigit, sulit dilaksanakan lantaran sifatnya mobile dan tidak stasiuner. Jumlahnya pun hanya puluhan yang dikerjasamakan dengan Dinas perhubungan. "Makanya kami mendorong inovasi penegakan hukum secara elektronik," ungkapnya.
Terkait banyaknya kecelakaan pada seprator busway MCB, menurut Sigit hal itu terjadi karena ketidak hati-hatian dan ketidak waspadaan pengendara. Sebab, kecepatan jalan raya itu memiliki batas maksimal, tidak boleh lebih dari 50 kilometer per jam.
"Beda dengan jalan tol. Jalan raya didesign batas kecepatan maksimal. Kami terus berupaya memasang rmabu MCB, tapi nyatanya pengendara melebihi kecepatan dan tidak hati-hati. Jadi, MCB saat ini masih efektif untuk sterilisasi," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto, mengatakan, sterilisasi merupakan langkah pendukung untuk mencapai SPM dan mengurangi kecelakaan kendaraan pribadi yang tertabrak di jalur busway dan mengurangi tugas polisi.
Namun, pemasangan MCB yang dilakukan sebagai separator busway bukan solusi untuk sterilisasi. Sterilisasi jalur busway akan efektif apabila frekuensi bus sesuai dengan SPM yakni sekitar 2-3 menit. Untuk itu Leksmono berharap agar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transportasi Jakarta segera mengoptimalkan operator-operatornya sesuai dengan SPM, mengingat saat ini frekuensi bus mencapai 7 sampai 30 menit.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjiatmoko, mengatakan, selama ini pihaknya terus berupaya memastikan waktu tempuh perjalanan sesuai standar pelayanan minimum (SPM) bus Transjakarta. Upaya tersebut di antaranya menempatkan 222 petugas Dinas Perhubungan di setiap pintu masuk koridor bus sejak pukul 05.00-22.00 WIB dan membangun separator barikade beton atau movable concrete barrier (MCB) setinggi 60 cm.
Kendati demikian, kata Sigit, rendahnya kesadaran masyarakat berlalu lintas membuat sterilisasi jalur busway belum dapat berjalan maksimal. Apalagi kalau tidak dibarengi dengan ketegasan hukum kepolisian. "Kesadaran masyarakat kita berlalu lintas itu baru terjadi ketika petugas kepolisian tegas. Operasi kencang baru pada taat. Itu fenomena yang harus diakui," ujar Sigit saat dihubungi, Senin (27/11/2017) kemarin.
Untuk itu, Sigit berharap petugas kepolisian konsisten menindak tegas pelanggar jalur busway dan mempercepat penegakan hukum melalui sistem elektronik. Apalagi armada bus Transjakarta saat ini telah dipasangi kamera closed circuit television (CCTV) di depan dan belakang bus yang bisa dijadikan bukti penindakan hukum oleh kepolisian.
Konsistensi kepolisian dalam sterilisasi jalur busway saat ini, lanjut Sigit, sulit dilaksanakan lantaran sifatnya mobile dan tidak stasiuner. Jumlahnya pun hanya puluhan yang dikerjasamakan dengan Dinas perhubungan. "Makanya kami mendorong inovasi penegakan hukum secara elektronik," ungkapnya.
Terkait banyaknya kecelakaan pada seprator busway MCB, menurut Sigit hal itu terjadi karena ketidak hati-hatian dan ketidak waspadaan pengendara. Sebab, kecepatan jalan raya itu memiliki batas maksimal, tidak boleh lebih dari 50 kilometer per jam.
"Beda dengan jalan tol. Jalan raya didesign batas kecepatan maksimal. Kami terus berupaya memasang rmabu MCB, tapi nyatanya pengendara melebihi kecepatan dan tidak hati-hati. Jadi, MCB saat ini masih efektif untuk sterilisasi," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto, mengatakan, sterilisasi merupakan langkah pendukung untuk mencapai SPM dan mengurangi kecelakaan kendaraan pribadi yang tertabrak di jalur busway dan mengurangi tugas polisi.
Namun, pemasangan MCB yang dilakukan sebagai separator busway bukan solusi untuk sterilisasi. Sterilisasi jalur busway akan efektif apabila frekuensi bus sesuai dengan SPM yakni sekitar 2-3 menit. Untuk itu Leksmono berharap agar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transportasi Jakarta segera mengoptimalkan operator-operatornya sesuai dengan SPM, mengingat saat ini frekuensi bus mencapai 7 sampai 30 menit.
(thm)