Polisi Diminta Abaikan Asumsi Dokter Helmi Alami Gangguan Kejiwaan
A
A
A
JAKARTA - Polisi hingga kini masih mengumpulkan sejumlah bukti dan memeriksa tersangka kasus penembakan terhadap dokter Letty Sultri di Klinik Az Zahra Medical Center, Cawang, Jakarta Timur, pada Kamis pekan lalu.
Tak ingin pelaku yang merupakan suami korban lolos dari hukuman berat, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel meminta polisi mengabaikan asumsi bahwa tersangka, dokter Ryan Helmi, mengalami gangguan kejiwaan.
Menurut Reza, pelaku kejahatan yang rasional akan memilih modus yang paling efisien sekaligus aman. "Toh setelah beraksi, dia (dokter Helmi) masih menjalankan misi kedua, yakni menghindari proses hukum. Itu kita jadikan sebagai dasar untuk menakar rasionalitas pelaku penembakan itu," ujar Reza kepada SINDOnews, Rabu (15/11/2017).
Reza meragukan kalau tersangka mengalami gangguan kejiwaan. Kemungkinan besar pelaku hanya mengalami gangguan emosial. Sebab pelaku sampai mengeluarkan enam kali tembakan, padahal peluru satu saja mungkin cukup menghabisi nyawa korban. Malah banyak barang bukti dan dilakukan di hadapan orang banyak atau banyak saksi mata.
"Sepertinya rasionalitas pelaku saat beraksi tidak sedang optimal, maka spekulatif dia berada dalam kondisi sangat emosional. Amarah, kebencian, sakit hati, frustrasi, semacam itulah. Kita kesampingkan kemungkinan pelaku tidak waras, kesurupan, ataupun mengonsumsi zat kimia yang mengganggu kesadaran," tandasnya. (Baca: Kejiwaan Penembak Dokter Letty Bakal Diperiksa Polisi)
Masyarakat, kata Reza, kerap geger dan sedih kala suami menghabisi isterinya dengan sekian banyak peluru. Padahal, boleh jadi ini hanya sebuah titik ekstrim dalam spektrum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Realitasnya, KDRT sudah jadi fenomena. Titik paling pojok kanan adalah KDRT yang membuat pasangan kehilangan nyawa.
"KDRT adalah fenomena, terbukti Indonesia punya UU KDRT. Pun angka perceraian yang diakibatkan KDRT juga terus mendaki. Jelas, pelaku penembak harus dimintai pertanggung-jawaban secara pidana. Hukum berat jika terbukti," tegas Reza.
Tanpa mengabaikan hak korban akan keadilan, perlu juga ditelisik sebab-musabab kejadian menyedihkan tersebut. Apakah ada kemungkinan pelaku sebelumnya berada di posisi teraniaya. Tapi di balik itu semua, Reza meminta kepolisian tetap meyakini bahwa pelaku dalam kondisi sehat, baik jasmani dan rohani.
"Dalam setiap aksi kejahatan, saya selalu semaksimal mungkin memakai asumsi bahwa pelaku waras. Itu satu-satunya opsi agar pelaku bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum," pungkasnya.
Tak ingin pelaku yang merupakan suami korban lolos dari hukuman berat, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel meminta polisi mengabaikan asumsi bahwa tersangka, dokter Ryan Helmi, mengalami gangguan kejiwaan.
Menurut Reza, pelaku kejahatan yang rasional akan memilih modus yang paling efisien sekaligus aman. "Toh setelah beraksi, dia (dokter Helmi) masih menjalankan misi kedua, yakni menghindari proses hukum. Itu kita jadikan sebagai dasar untuk menakar rasionalitas pelaku penembakan itu," ujar Reza kepada SINDOnews, Rabu (15/11/2017).
Reza meragukan kalau tersangka mengalami gangguan kejiwaan. Kemungkinan besar pelaku hanya mengalami gangguan emosial. Sebab pelaku sampai mengeluarkan enam kali tembakan, padahal peluru satu saja mungkin cukup menghabisi nyawa korban. Malah banyak barang bukti dan dilakukan di hadapan orang banyak atau banyak saksi mata.
"Sepertinya rasionalitas pelaku saat beraksi tidak sedang optimal, maka spekulatif dia berada dalam kondisi sangat emosional. Amarah, kebencian, sakit hati, frustrasi, semacam itulah. Kita kesampingkan kemungkinan pelaku tidak waras, kesurupan, ataupun mengonsumsi zat kimia yang mengganggu kesadaran," tandasnya. (Baca: Kejiwaan Penembak Dokter Letty Bakal Diperiksa Polisi)
Masyarakat, kata Reza, kerap geger dan sedih kala suami menghabisi isterinya dengan sekian banyak peluru. Padahal, boleh jadi ini hanya sebuah titik ekstrim dalam spektrum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Realitasnya, KDRT sudah jadi fenomena. Titik paling pojok kanan adalah KDRT yang membuat pasangan kehilangan nyawa.
"KDRT adalah fenomena, terbukti Indonesia punya UU KDRT. Pun angka perceraian yang diakibatkan KDRT juga terus mendaki. Jelas, pelaku penembak harus dimintai pertanggung-jawaban secara pidana. Hukum berat jika terbukti," tegas Reza.
Tanpa mengabaikan hak korban akan keadilan, perlu juga ditelisik sebab-musabab kejadian menyedihkan tersebut. Apakah ada kemungkinan pelaku sebelumnya berada di posisi teraniaya. Tapi di balik itu semua, Reza meminta kepolisian tetap meyakini bahwa pelaku dalam kondisi sehat, baik jasmani dan rohani.
"Dalam setiap aksi kejahatan, saya selalu semaksimal mungkin memakai asumsi bahwa pelaku waras. Itu satu-satunya opsi agar pelaku bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum," pungkasnya.
(thm)