Pelarangan Motor Mendukung Kebijakan ERP
A
A
A
JAKARTA - Rencana pencabutan larangan sepeda motor di Bundaran HI-Medan Merdeka Barat masih dikaji. Kajian lebih menitikberatkan sisi positif dan negatif akibat pencabutan tersebut.
Banyak kalangan menyayangkan jika Pemprov DKI Jakarta ngotot mencabut larangan roda dua di Bundaran HI-Medan Merdeka Barat. “Pencabutan pelarangan motor melintas di Jalan MH Thamrin malah membuat jalur yang akan digunakan untuk Electronic Road Pricing (ERP) semrawut,” ujar Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Royke Lumowa, kemarin.
Apa yang sudah dilakukan di kawasan tersebut melalui kajian mendalam sekaligus melibatkan stakeholder dan praktisi. Menurut dia, pencabutan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 141 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor justru sebuah keterbelakangan. "Itu kan untuk mendukung program ke depannya yaitu pembatasan kendaraan dengan sistem jalan berbayar. Kalau dicabut akan kembali mundur ke belakang," katanya.
Royke menuturkan, yang saat ini harus dilakukan yakni membangun angkutan umum dan mengeluarkan kebijakan pembatasan kendaraan. Kebijakan atau program itu bisa mengurangi kemacetan yang semakin parah. "Kalau itu (pencabutan larangan roda dua) mengesampingkan angkutan umum, enggak setuju. Kita tetap harus mengutamakan angkutan umum," ujarnya.
Dia menilai jika sepeda motor kembali diberlakukan boleh melintas di ruas jalan protokol, itu sama saja tidak membudayakan kota metropolitan. Jakarta adalah kota metropolitan dan harus berkesan seperti itu.
Dia mengaku tidak mengetahui alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hendak mencabut larangan sepeda motor. "Bagaimanapun juga di kota metropolitan seperti ini angkutan umum harus diutamakan daripada kendaraan pribadi seperti mobil. Kemudian, angkutan umum harus dibesarkan seperti dulu di zaman Hindia Belanda," kata Royke.
Sayang, rel kereta api pada Orde Lama ditinggalkan lalu diteruskan Orde Baru. "Dahsyatnya kepada lebih kendaraan pribadi daripada besarkan kereta api atau bus besar. Zaman sekarang mulai terlihat penambahan double-double track, penambahan gerbong, dan lainnya," ujarnya.
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instrans) Dedy Herlambang meminta Gubernur Anies mengkaji ulang pencabutan larangan roda dua. Apabila dicabut dan sepeda motor diperbolehkan melintas cita-cita masyarakat yang peduli transportasi massal dengan mengkampanyekan angkutan umum dan jalan kaki akan menjadi sia-sia.
Meski bagaimanapun persoalan kemacetan harus disiasati dengan transport demand management (TDM) supaya terjadi sinkronisasi pelayanan dan kebutuhan untuk peningkatan penggunaan angkutan umum melalui konsep push and pull public transport. “Kami harap Anies melanjutkan program sebelumnya dari perencanaan jangka panjang hingga menengah agar dapat mendorong switching ke penggunaan angkutan umum," ungkap Dedy.
Berdasarkan data Rencana Induk Transportasi Jabodetabek pada 2015, jumlah kendaraan pribadi roda empat sekitar 23% dan sepeda motor memakan porsi 75% dari total kendaraan di jalan yang mencapai 24,89 juta unit. Sementara, angkutan umum hanya 2%.
Kemudian, peran bus rapid transit (BRT) baru 2-3%. Sedangkan, KRL Commuter Line sekitar 3-4%. Sementara, laju pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 16% setiap tahun. "Dalam setahun 30.000 orang meninggal karena sepeda motor. Kami takut kalau kembali diizinkan, sepeda motor akan kembali menjadi predator. Prioritaskan angkutan umum sambil menyongsong target Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) 60% pengguna angkutan umum pada 2030," ujar Dedy.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Widjiatmoko mengatakan, pencabutan larangan roda dua di Jalan MH Thamrin masih terus dikaji, salah satunya mengadakan forum group discussion (FGD) di kantornya Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, hari ini.
Sesuai studi teknis dan ketentuan yang ada bila nantinya transportasi publik telah memenuhi mobilitas masyarakat, konsekuensinya roda dua berada di luar jalur protokol atau jalur ERP. "Kita masih konsen pada aturan jenis kendaraan apa saja yang diizinkan melalui ruas jalan berbasis elektronik," ucapnya.
Dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PP No 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas, dan Perda No 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, sepeda motor tidak masuk jenis kendaraan yang diperbolehkan melintasi ERP.
Berbicara aksesibilitas kesetaraan yang menjadi alasan pencabutan larangan roda dua, sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya melalui inventarisir pintu masuk samping dan belakang gedung sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Hasilnya hanya lima gedung yang belum memiliki pintu samping dan belakang.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Ahmad Safrudin mengatakan, sepeda motor memang tidak bisa dipungut tarif ERP karena tidak diatur dalam UU, PP, perda ataupun pergub. Namun, itu merupakan kesalahan mengingat pembatasan kendaraan harus equal, tidak memihak kendaraan tertentu atau kelompok miskin dan kaya. Solusinya tarif yang dikenakan harus dihitung berbeda.
Untuk itu, PP tentang manajemen rekayasa lalu lintas perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar direvisi melalui judicial review. Menurut dia, judicial review bukanlah sesuatu yang haram terhadap UU atau PP yang tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan. "Kalau dipaksakan ya terjadi diskriminasi. Motor atau mobil sama-sama membayar pajak, tapi kenapa hanya motor yang dibatasi,” ujarnya. (Helmi Syarif/Bima Setiyadi)
Banyak kalangan menyayangkan jika Pemprov DKI Jakarta ngotot mencabut larangan roda dua di Bundaran HI-Medan Merdeka Barat. “Pencabutan pelarangan motor melintas di Jalan MH Thamrin malah membuat jalur yang akan digunakan untuk Electronic Road Pricing (ERP) semrawut,” ujar Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Royke Lumowa, kemarin.
Apa yang sudah dilakukan di kawasan tersebut melalui kajian mendalam sekaligus melibatkan stakeholder dan praktisi. Menurut dia, pencabutan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 141 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor justru sebuah keterbelakangan. "Itu kan untuk mendukung program ke depannya yaitu pembatasan kendaraan dengan sistem jalan berbayar. Kalau dicabut akan kembali mundur ke belakang," katanya.
Royke menuturkan, yang saat ini harus dilakukan yakni membangun angkutan umum dan mengeluarkan kebijakan pembatasan kendaraan. Kebijakan atau program itu bisa mengurangi kemacetan yang semakin parah. "Kalau itu (pencabutan larangan roda dua) mengesampingkan angkutan umum, enggak setuju. Kita tetap harus mengutamakan angkutan umum," ujarnya.
Dia menilai jika sepeda motor kembali diberlakukan boleh melintas di ruas jalan protokol, itu sama saja tidak membudayakan kota metropolitan. Jakarta adalah kota metropolitan dan harus berkesan seperti itu.
Dia mengaku tidak mengetahui alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hendak mencabut larangan sepeda motor. "Bagaimanapun juga di kota metropolitan seperti ini angkutan umum harus diutamakan daripada kendaraan pribadi seperti mobil. Kemudian, angkutan umum harus dibesarkan seperti dulu di zaman Hindia Belanda," kata Royke.
Sayang, rel kereta api pada Orde Lama ditinggalkan lalu diteruskan Orde Baru. "Dahsyatnya kepada lebih kendaraan pribadi daripada besarkan kereta api atau bus besar. Zaman sekarang mulai terlihat penambahan double-double track, penambahan gerbong, dan lainnya," ujarnya.
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instrans) Dedy Herlambang meminta Gubernur Anies mengkaji ulang pencabutan larangan roda dua. Apabila dicabut dan sepeda motor diperbolehkan melintas cita-cita masyarakat yang peduli transportasi massal dengan mengkampanyekan angkutan umum dan jalan kaki akan menjadi sia-sia.
Meski bagaimanapun persoalan kemacetan harus disiasati dengan transport demand management (TDM) supaya terjadi sinkronisasi pelayanan dan kebutuhan untuk peningkatan penggunaan angkutan umum melalui konsep push and pull public transport. “Kami harap Anies melanjutkan program sebelumnya dari perencanaan jangka panjang hingga menengah agar dapat mendorong switching ke penggunaan angkutan umum," ungkap Dedy.
Berdasarkan data Rencana Induk Transportasi Jabodetabek pada 2015, jumlah kendaraan pribadi roda empat sekitar 23% dan sepeda motor memakan porsi 75% dari total kendaraan di jalan yang mencapai 24,89 juta unit. Sementara, angkutan umum hanya 2%.
Kemudian, peran bus rapid transit (BRT) baru 2-3%. Sedangkan, KRL Commuter Line sekitar 3-4%. Sementara, laju pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 16% setiap tahun. "Dalam setahun 30.000 orang meninggal karena sepeda motor. Kami takut kalau kembali diizinkan, sepeda motor akan kembali menjadi predator. Prioritaskan angkutan umum sambil menyongsong target Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) 60% pengguna angkutan umum pada 2030," ujar Dedy.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Widjiatmoko mengatakan, pencabutan larangan roda dua di Jalan MH Thamrin masih terus dikaji, salah satunya mengadakan forum group discussion (FGD) di kantornya Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, hari ini.
Sesuai studi teknis dan ketentuan yang ada bila nantinya transportasi publik telah memenuhi mobilitas masyarakat, konsekuensinya roda dua berada di luar jalur protokol atau jalur ERP. "Kita masih konsen pada aturan jenis kendaraan apa saja yang diizinkan melalui ruas jalan berbasis elektronik," ucapnya.
Dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PP No 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas, dan Perda No 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, sepeda motor tidak masuk jenis kendaraan yang diperbolehkan melintasi ERP.
Berbicara aksesibilitas kesetaraan yang menjadi alasan pencabutan larangan roda dua, sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya melalui inventarisir pintu masuk samping dan belakang gedung sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Hasilnya hanya lima gedung yang belum memiliki pintu samping dan belakang.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Ahmad Safrudin mengatakan, sepeda motor memang tidak bisa dipungut tarif ERP karena tidak diatur dalam UU, PP, perda ataupun pergub. Namun, itu merupakan kesalahan mengingat pembatasan kendaraan harus equal, tidak memihak kendaraan tertentu atau kelompok miskin dan kaya. Solusinya tarif yang dikenakan harus dihitung berbeda.
Untuk itu, PP tentang manajemen rekayasa lalu lintas perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar direvisi melalui judicial review. Menurut dia, judicial review bukanlah sesuatu yang haram terhadap UU atau PP yang tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan. "Kalau dipaksakan ya terjadi diskriminasi. Motor atau mobil sama-sama membayar pajak, tapi kenapa hanya motor yang dibatasi,” ujarnya. (Helmi Syarif/Bima Setiyadi)
(nfl)