Sepasang Kekasih Diarak Bugil, Bukti Ciri Masyarakat Frustasi
A
A
A
DEPOK - Persekusi yang dialami pasangan kekasih Rian (28) dan Mia Aulina (20) di Cikupa menjadi bukti di masyarakat penyelesaian masalahnya lebih mengedepankan faktor emosi daripada rasional. Orang-orang yang melakukan tindakan persekusi tersebut disebut sebagai masyarakat yang frustrasi.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, saat ini tampaknya masyarakat memang sangat mudah bersikap reaktif. Stimulus sedikit saja langsung menjadi pemicu terjadinya hal yang berujung pada tindakan yang merugikan.
Hal itu dipicu dari kurangnya daya kritis untuk menggali lebih dalam dan mendudukkan masalah pada tempatnya."Sehingga membuat penyelesaian masalahnya lebih mengedepankan faktor emosi daripada rasional," kata Aully kepada SINDOnews pada Selasa (14/11/2017).
Aully mensinyalir ini sebagai ciri masyarakat yang frustrasi karena kemampuan untuk bersikap tenang, menelaah masalah secara runut dan menggunakan logika menjadi berkurang. Dorongan untuk menjadi agresif dan menyelesaikan masalah secara agresif menjadi kuat.
Disisi lain memang ada faktor ketidakpercayaan terhadap hukum. "Masyakarat belajar bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak berwenang malah tidak membawa efek jera bagi pelaku. Aparat hukum dinilai lambat, bertele tele bahkan perlu uang sehingga pengadilan masyarakat lebih dikedepankan," tegasnya.
Dia juga menilai, saat ini kurang tokoh masyarakat yang menjadi ‘model’ dalam menyelesaikan masalah. Pendidikan baik formal maupun informal, terbukti kurang berhasil membangun generasi muda yang memiliki rasa hormat pada orang tua.
Selain tokoh orang tua juga tidak menampilkan perilaku teladan. Ini membuat tidak ada yang ‘menengahi’ kasus seperti ini. "Sehingga yang suaranya banyak dan lantang dan agresif, cenderung diikuti," ucapnya.
Kemajuan teknologi juga menjadi pemicu terjadinya fenomena penghakiman oleh masyarakat. Karena teknologi sebenarnya membuat kita menjadi lebih ‘cepat’. Kita terbiasa menerima informasi dengan cepat, mencari informasi dengan cepat, menyesuaikan diri dengan cepat juga pada perubahan.
Hal ini membuat kita tidak terbiasa untuk menjadi sabar dan perlahan. Dikatakan, kasus main hakim sendiri sebenarnya sdh lama terjadi, hanya saja sekarang didorong juga oleh teknologi. Pada banyak orang, perubahan teknologi tidak dibarengi dengan peningkatan kemampuan berpikir atau pendidikan
"Hasilnya ya tidak kritis dalam menerima informasi, semua ditelan mentah-mentah. Pendidikan karakter mmg selama ini menjadi kurang diperhatikan. Sehingga kurang membentuk pola pikir dengan alur yang logis dan karakter pribadi yang baik dan kuat," pungkasnya.( Baca: Video Diarak Bugilnya Tersebar Luas, Pasangan Mesum Ini Trauma )
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, saat ini tampaknya masyarakat memang sangat mudah bersikap reaktif. Stimulus sedikit saja langsung menjadi pemicu terjadinya hal yang berujung pada tindakan yang merugikan.
Hal itu dipicu dari kurangnya daya kritis untuk menggali lebih dalam dan mendudukkan masalah pada tempatnya."Sehingga membuat penyelesaian masalahnya lebih mengedepankan faktor emosi daripada rasional," kata Aully kepada SINDOnews pada Selasa (14/11/2017).
Aully mensinyalir ini sebagai ciri masyarakat yang frustrasi karena kemampuan untuk bersikap tenang, menelaah masalah secara runut dan menggunakan logika menjadi berkurang. Dorongan untuk menjadi agresif dan menyelesaikan masalah secara agresif menjadi kuat.
Disisi lain memang ada faktor ketidakpercayaan terhadap hukum. "Masyakarat belajar bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak berwenang malah tidak membawa efek jera bagi pelaku. Aparat hukum dinilai lambat, bertele tele bahkan perlu uang sehingga pengadilan masyarakat lebih dikedepankan," tegasnya.
Dia juga menilai, saat ini kurang tokoh masyarakat yang menjadi ‘model’ dalam menyelesaikan masalah. Pendidikan baik formal maupun informal, terbukti kurang berhasil membangun generasi muda yang memiliki rasa hormat pada orang tua.
Selain tokoh orang tua juga tidak menampilkan perilaku teladan. Ini membuat tidak ada yang ‘menengahi’ kasus seperti ini. "Sehingga yang suaranya banyak dan lantang dan agresif, cenderung diikuti," ucapnya.
Kemajuan teknologi juga menjadi pemicu terjadinya fenomena penghakiman oleh masyarakat. Karena teknologi sebenarnya membuat kita menjadi lebih ‘cepat’. Kita terbiasa menerima informasi dengan cepat, mencari informasi dengan cepat, menyesuaikan diri dengan cepat juga pada perubahan.
Hal ini membuat kita tidak terbiasa untuk menjadi sabar dan perlahan. Dikatakan, kasus main hakim sendiri sebenarnya sdh lama terjadi, hanya saja sekarang didorong juga oleh teknologi. Pada banyak orang, perubahan teknologi tidak dibarengi dengan peningkatan kemampuan berpikir atau pendidikan
"Hasilnya ya tidak kritis dalam menerima informasi, semua ditelan mentah-mentah. Pendidikan karakter mmg selama ini menjadi kurang diperhatikan. Sehingga kurang membentuk pola pikir dengan alur yang logis dan karakter pribadi yang baik dan kuat," pungkasnya.( Baca: Video Diarak Bugilnya Tersebar Luas, Pasangan Mesum Ini Trauma )
(whb)