Cara Jakarta Mengentaskan Kekumuhan
A
A
A
AROMA tak sedap menyergap hidung begitu kaki melangkah memasuki Jalan Jati Bunder Dalam, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2017) pekan lalu. Bau tersebut berasal dari sungai yang membelah permukiman tersebut. Dari jembatan kecil di kampung itu, berderet rumah-rumah tingkat semipermanen berimpitan di sepanjang sungai selebar kurang lebih 2,5 meter.
Beberapa orang lelaki bersantai sambil merokok di dekat jembatan ketika seorang wanita terlihat sedang menjemur cucian. Baju-baju yang bergantungan di rumah-rumah itu melengkapi kesan kumuh permukiman ini. Menurut warga, sore itu bau sungai tidak terlalu menyengat karena sehari sebelumnya dibersihkan petugas. "Kami sudah biasa saja dengan kondisi ini," kata Umar, salah satu warga sambil mengisap sebatang rokok kepada SINDO Weekly.
Jati Bunder yang tak jauh dari Pasar Melati Lontar tersembunyi di antara gedung-gedung bertingkat dan hiruk pikuk kawasan Tanah Abang. Keberadaannya diibaratkan seperti noktah hitam kemegahan sebuah kota. Kawasan kumuh tersebut muncul seiring pesatnya pembangunan mal, hotel, dan gedung-gedung pencakar langit. Gubuk-gubuk yang berjajar di bantaran kali atau di bawah kolong jembatan sudah menjadi pemandangan biasa.
Fenomena ini diyakini sebagai akibat pembangunan yang tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana sosial yang memadai. Permukiman kumuh adalah potret riil bagaimana kaum urban bersikap irit untuk bertahan hidup. Tak heran, seperti kota-kota besar lain di dunia, Jakarta pun menyimpan banyak permukiman kumuh.
Pemerintah sendiri sudah sejak lama merancang dan melaksanakan berbagai program penanganan permukiman kumuh. Toh, faktanya permukiman-permukiman jorok masih menghiasi Jakarta. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta pada 2013, permukiman kumuh terdapat di 181 kelurahan dengan luas 1.024,52 hektare.
Bagaimana langkah Pemprov DKI mengatasi pemukiman kumuh di wilayahnya? Anda bisa membaca laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 37/VI/2017 yang terbit Senin (13/11/2017).
Beberapa orang lelaki bersantai sambil merokok di dekat jembatan ketika seorang wanita terlihat sedang menjemur cucian. Baju-baju yang bergantungan di rumah-rumah itu melengkapi kesan kumuh permukiman ini. Menurut warga, sore itu bau sungai tidak terlalu menyengat karena sehari sebelumnya dibersihkan petugas. "Kami sudah biasa saja dengan kondisi ini," kata Umar, salah satu warga sambil mengisap sebatang rokok kepada SINDO Weekly.
Jati Bunder yang tak jauh dari Pasar Melati Lontar tersembunyi di antara gedung-gedung bertingkat dan hiruk pikuk kawasan Tanah Abang. Keberadaannya diibaratkan seperti noktah hitam kemegahan sebuah kota. Kawasan kumuh tersebut muncul seiring pesatnya pembangunan mal, hotel, dan gedung-gedung pencakar langit. Gubuk-gubuk yang berjajar di bantaran kali atau di bawah kolong jembatan sudah menjadi pemandangan biasa.
Fenomena ini diyakini sebagai akibat pembangunan yang tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana sosial yang memadai. Permukiman kumuh adalah potret riil bagaimana kaum urban bersikap irit untuk bertahan hidup. Tak heran, seperti kota-kota besar lain di dunia, Jakarta pun menyimpan banyak permukiman kumuh.
Pemerintah sendiri sudah sejak lama merancang dan melaksanakan berbagai program penanganan permukiman kumuh. Toh, faktanya permukiman-permukiman jorok masih menghiasi Jakarta. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta pada 2013, permukiman kumuh terdapat di 181 kelurahan dengan luas 1.024,52 hektare.
Bagaimana langkah Pemprov DKI mengatasi pemukiman kumuh di wilayahnya? Anda bisa membaca laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 37/VI/2017 yang terbit Senin (13/11/2017).
(amm)