Pemprov DKI Giatkan Normalisasi Drainase
A
A
A
JAKARTA - Normalisasi saluran air atau drainase di wilayah Jakarta digiatkan untuk menghadapi musim hujan yang diprediksi pada Desember 2017 hingga Februari 2018.
Pengerukan dan pembersihan saluran air harus berjalan tepat waktu. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, penanganan saluran air selama ini telah dilakukan Dinas Sumber Daya Air (SDA). Dia pun akan mengecek pembersihan drainase berjalan dengan baik.
“Nanti kita lihat. Semua harus berjalan tepat waktu,” ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta kemarin.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan menjelaskan, pihaknya terus melakukan kegiatan rutin untuk mengatasi banjir, seperti perbaikan pompa dan penempatan pasukan biru guna membersihkan saluran secara berkelanjutan sesuai program pemerintah.
“Lihat saja hujan beberapa kali aman. Banjir kayak tahun kemarin masih aman,” ungkapnya.
Sayangnya, normalisasi saluran air kerap terkendala banyaknya bangunan warga yang menyumbat aliran air, termasuk bangunan di bantaran kali yang membuat kali menjadi sekitar 5 meter dari lebar seharusnya 20 meter.
Untuk menyelesaikan kendala tersebut, dia menunggu perintah Anies lantaran kewenangan penertiban ada di tangan gubernur. Dia berharap Anies segera memerintahkannya lantaran intensitas hujan semakin sering.
“Normalisasi tetap jalan di tempat yang tidak ada bangunannya,” kata mantan camat Pulogadung itu. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai penanganan saluran air di wilayah Jakarta hanya parsial. Menangani genangan itu harus dari dasarnya terlebih dulu sehingga titik-titik perbaikan dapat dilakukan secara bertahap.
Dia berharap camat dan lurah sebagai garda terdepan dengan pendampingan dari Dinas Sumber Daya Air menginventarisasi kembali saluran air untuk dibuatkan rencana induknya.
“Selama ini perbaikan saluran hanya berdasarkan jumlah titik genangan tahun sebelumnya, sementara sifat air berpindah ke tempat rendah. Misalnya pada 2016 ada 15 titik genangan dan pada 2017 15 titik genangan tersebut dibenahi, maka genangan di tempat lain pasti akan muncul,” jelasnya.
Selama ini Jakarta tidak mempunyai rencana induk saluran air, padahal sejak 10-15 tahun lalu atau sejak banjir besar pada 2002, dia sudah mendorong Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk menyusun rencana induk saluran air.
Dalam penyusunan rencana induk saluran air itu dibuat bersamaan dengan rencana induk jaringan utilitas, di mana saluran air terbagi tiga yakni makro diameter seluas 5 meter, meso seluas 3 meter, dan mikro 1 meter. “Saluran makro itu terbagi atas kiri untuk utilitas kabel listrik, telepon, dan serat optik.
Kanan untuk pipa air bersih dan gas. Bukan justru asal semua utilitas dimasukkan ke bawah dengan hanya dibuatkan lubang agar trotoar tidak dibongkar saat penanganan dilakukan,” ujar Nirwono.
Menurut dia, belum adanya rencana induk saluran air bukan karena tidak adanya anggaran, melainkan tidak adanya kemauan yang serius dari Pemprov DKI, sebab dalam perbaikan saluran itu terdapat 12 instansi yang sudah memiliki kaveling masing-masing.
Misalnya dalam membongkar trotoar, perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Bina Marga; kemudian bila ada tanaman bersentuhan dengan Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Begitu juga di bawah halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO), perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Perhubungan.
Belum lagi kabel listrik, pipa gas, dan utilitas lainnya. Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Rikardo mengatakan, selama ini Pemprov DKI belum pernah menunjukkan blueprint dan leveling untuk menangani genangan di wilayahnya.
Blueprint dan leveling merupakan sebuah pokok dasar memudahkan menangani genangan. Terlebih seluruh saluran di Jakarta, kecuali Jalan Sudirman hingga Medan Merdeka, merupakan drainase warisan Belanda. “Seluruh drainase harus dileveling setiap tahun.
Kalau ternyata lebih rendah dari saluran penghubung, itu harus dibuat bak kontrol dan pompa agar tidak ada lagi genangan,” ujarnya. Menurut dia, blueprint dan leveling drainase berbeda dengan peta aliran 13 sungai yang mengalir ke saluran penghubung.
Blueprint adalah peta dasar penghubung drainase yang mencatat luas drainase itu sendiri sehingga bila ada pendangkalan dan penyempitan drainase Pemprov DKI dapat mengembalikannya sesuai blueprint .
Adapun leveling merupakan peta dasar tinggi atau rendahnya drainase dari saluran penghubung. Leveling menjadi hal paling penting dan harus dilakukan setiap tahun mengingat permukaan tanah tiap tahunnya menurun.
Apabila drainase sama dengan saluran penghubung atau malah lebih rendah, Pemprov DKI harus membuat bak kontrol dan menaruh pompa. “Drainase itu mengalirnya ke saluran penghubung. Kalau lebih rendah atau sama dari saluran penghubung, ya air di drainase tidak mengalir dong ,” kata Rikardo. (Bima Setiyadi)
Pengerukan dan pembersihan saluran air harus berjalan tepat waktu. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, penanganan saluran air selama ini telah dilakukan Dinas Sumber Daya Air (SDA). Dia pun akan mengecek pembersihan drainase berjalan dengan baik.
“Nanti kita lihat. Semua harus berjalan tepat waktu,” ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta kemarin.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan menjelaskan, pihaknya terus melakukan kegiatan rutin untuk mengatasi banjir, seperti perbaikan pompa dan penempatan pasukan biru guna membersihkan saluran secara berkelanjutan sesuai program pemerintah.
“Lihat saja hujan beberapa kali aman. Banjir kayak tahun kemarin masih aman,” ungkapnya.
Sayangnya, normalisasi saluran air kerap terkendala banyaknya bangunan warga yang menyumbat aliran air, termasuk bangunan di bantaran kali yang membuat kali menjadi sekitar 5 meter dari lebar seharusnya 20 meter.
Untuk menyelesaikan kendala tersebut, dia menunggu perintah Anies lantaran kewenangan penertiban ada di tangan gubernur. Dia berharap Anies segera memerintahkannya lantaran intensitas hujan semakin sering.
“Normalisasi tetap jalan di tempat yang tidak ada bangunannya,” kata mantan camat Pulogadung itu. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai penanganan saluran air di wilayah Jakarta hanya parsial. Menangani genangan itu harus dari dasarnya terlebih dulu sehingga titik-titik perbaikan dapat dilakukan secara bertahap.
Dia berharap camat dan lurah sebagai garda terdepan dengan pendampingan dari Dinas Sumber Daya Air menginventarisasi kembali saluran air untuk dibuatkan rencana induknya.
“Selama ini perbaikan saluran hanya berdasarkan jumlah titik genangan tahun sebelumnya, sementara sifat air berpindah ke tempat rendah. Misalnya pada 2016 ada 15 titik genangan dan pada 2017 15 titik genangan tersebut dibenahi, maka genangan di tempat lain pasti akan muncul,” jelasnya.
Selama ini Jakarta tidak mempunyai rencana induk saluran air, padahal sejak 10-15 tahun lalu atau sejak banjir besar pada 2002, dia sudah mendorong Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk menyusun rencana induk saluran air.
Dalam penyusunan rencana induk saluran air itu dibuat bersamaan dengan rencana induk jaringan utilitas, di mana saluran air terbagi tiga yakni makro diameter seluas 5 meter, meso seluas 3 meter, dan mikro 1 meter. “Saluran makro itu terbagi atas kiri untuk utilitas kabel listrik, telepon, dan serat optik.
Kanan untuk pipa air bersih dan gas. Bukan justru asal semua utilitas dimasukkan ke bawah dengan hanya dibuatkan lubang agar trotoar tidak dibongkar saat penanganan dilakukan,” ujar Nirwono.
Menurut dia, belum adanya rencana induk saluran air bukan karena tidak adanya anggaran, melainkan tidak adanya kemauan yang serius dari Pemprov DKI, sebab dalam perbaikan saluran itu terdapat 12 instansi yang sudah memiliki kaveling masing-masing.
Misalnya dalam membongkar trotoar, perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Bina Marga; kemudian bila ada tanaman bersentuhan dengan Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Begitu juga di bawah halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO), perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Perhubungan.
Belum lagi kabel listrik, pipa gas, dan utilitas lainnya. Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Rikardo mengatakan, selama ini Pemprov DKI belum pernah menunjukkan blueprint dan leveling untuk menangani genangan di wilayahnya.
Blueprint dan leveling merupakan sebuah pokok dasar memudahkan menangani genangan. Terlebih seluruh saluran di Jakarta, kecuali Jalan Sudirman hingga Medan Merdeka, merupakan drainase warisan Belanda. “Seluruh drainase harus dileveling setiap tahun.
Kalau ternyata lebih rendah dari saluran penghubung, itu harus dibuat bak kontrol dan pompa agar tidak ada lagi genangan,” ujarnya. Menurut dia, blueprint dan leveling drainase berbeda dengan peta aliran 13 sungai yang mengalir ke saluran penghubung.
Blueprint adalah peta dasar penghubung drainase yang mencatat luas drainase itu sendiri sehingga bila ada pendangkalan dan penyempitan drainase Pemprov DKI dapat mengembalikannya sesuai blueprint .
Adapun leveling merupakan peta dasar tinggi atau rendahnya drainase dari saluran penghubung. Leveling menjadi hal paling penting dan harus dilakukan setiap tahun mengingat permukaan tanah tiap tahunnya menurun.
Apabila drainase sama dengan saluran penghubung atau malah lebih rendah, Pemprov DKI harus membuat bak kontrol dan menaruh pompa. “Drainase itu mengalirnya ke saluran penghubung. Kalau lebih rendah atau sama dari saluran penghubung, ya air di drainase tidak mengalir dong ,” kata Rikardo. (Bima Setiyadi)
(nfl)