Menelusuri 'Seksinya' Jalan Mangga Besar Saat Malam
A
A
A
HARI menjelang malam, kemacetan di Jalan Mangga Besar, Jakarta Barat mulai sedikit terurai, pos lantas yang berada di seberang jalan, sudah ditinggal polisi. Namun aktifitas di kawasan Mangga Besar baru saja mulai.
Sejumlah PKL mulai mendirikan tenda jualannya di sisi kanan kiri trotoar. Kendaraan roda dua mulai berseliweran membawa wanita dan gadis gadis bercelana pendek dan rok mini. Beberapa di antara gadis yang dibawa tak canggung sekalipun berpakaian cukup terbuka, dengan rambut yang berwarna pirang, mata lelaki tergoda.
Para wanita ini kemudian menyebar ke sejumlah kawasan di sekitaran Mangga Besar Raya di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, seperti menuju diskotik Emporium di Pecenongan. Travel Connection di Mangga Besar VIII, diskotik Exotic di ujung jalan Mangga Besar Raya menuju jalan Gunung Sahari, dan kawasan Lokasari di tengah Jalan Mangga Besar.
Lokasari sendiri merupakan tempat tersohor akan prostitusi dan gemerlapnya kawasan Mangga Besar. Nama Lokasari kian tersohor lantaran beberapa pengusaha hiburan sempat menjadi tempat ini sebagai bisnis pertama, seperti Alexis Group, Raja Mas Grup, dan nama lainnya.
“Dahulu tempat ini cukup ramai, banyak diskotek, banyak orang datang, cewek-ceweknya cukup banyak,” ucap Yatno (47) salah satu pedagang di kawasan itu sat ditemui SINDOnews.
Yatno sendiri sudah 20 tahun lebih berada di kawasan Lokasari. Ia cukup mengenal luar dalam kawasan ini, hingga beberapa nama tempat diskotek lainnya.
Sepengamatan SINDO, wanita di Taman Sari ini tampak tak canggung menggunakan pakaian cukup minim. Mereka memasuki kawasan Lokasari Square hingga beberapa kios-kios baju yang berada di depannya, dan disamping Newton.
Meskipun diskotik Mille’s sudah ditutup oleh Pemprov DKI Jakarta tahun 2016 lalu, namun nama besar Lokasari tetap tak terganggu. Sebab disana masih ada Newton Eksekutif dan Olympic yang merupakan kawasan karaoke dan pub.
Meskipun di dua tempat itu, termasuk Mille’s disediakan wanita wanita pemandu lagu, namun tak mengganggu para wanita prostitusi lainnya. Para mucikari ini kemudian menyebar di sekitar pintu masuk Lokasari, seperti dekat KFC dan kios-kios depan.
Di sana mereka dengan siaga menyediakan wanita pekerja lepas yang dibawa membawa mobil-mobil. “Untuk lima jam harganya Rp750 ribu,” tutur Jampang (35) salah satu mucikari.
Panti Pijat
Sebelum berdagang baju baju wanita di kios THR Lokasari, Yatno merupakan remaja kampung yang lugu. Pria asal Lumajang, Jawa Tengah ini kemudian pergi dan nekat merantau ke Jakarta periode 90 an sebelum krisis moneter 97. Berbekal pengetahuannya mengotak-atik motor, Yatno kemudian bekerja sebagai montir di salah satu bengkel di Krukut.
Disaat weekend, usai kerja Yatno kemudian pergi bersama beberapa temannya ke Lokasari. Disinilah seringkali mabuk hingga pagi, menyisir sejumlah tempat diskotek. “Paling sering ke Pujasera,” tuturnya.
Perkenalannya dengan seorang mucikari di salah satu diskotek ‘To Day Country’ membuat dirinya terjun ke dunia malam. Oleh pria bernama Encep itu, Yatno kemudian membawa sejumlah gadis-gadis ABG dengan bayaran Rp25 ribu setiap gadisnya. “Jaman segitu (tahun 1997) sudah bisa beli empat bungkus rokok,” ucapnya terkekeh.
Kini diskotek di Lokasari mulai punah, ruko-ruko berlantai tiga dan empat tak lagi memutarkan dentuman musik disko, para pemilik yang telah memiliki banyak uang kemudian memasarkan tempatnya ke luar kawasan Mangga Besar. Ada yang membuka di Hayam Wuruk, Gajah Mada, Pecenongan hingga kawasan Kota Tua.
Meski demikian praktik jual beli wanita tak hilang begitu saja, pemilik baru kemudian berdatangan membuka praktik praktik pijat di tempat itu. Mereka kemudian membawa yang lebih muda dan membuang wanita yang tua. Lokasari tetap hidup dan lebih menjanjikan.
Pengelola Taman Hiburan Rakyat (THR) lokasari, Raya Siahaan saat ditemui SINDO menjelang penutupan diskotek Milles mengakui akan keberadaan bisnis esek-esek di Lokasari. Bahkan dirinya mengatakan bisnis ini menyumbang retribusi dan pajak bagi daerah. "Yang penting ada izin retribusi dan pajak," ucap Raya kala itu.
Raya sendiri mengungkapkan perubahan kawasan dari taman hiburan menjadi indekos dan bisnis pijat plus-plus di Lokasari terjadi saat kepemimpinan Gubernur DKI, R Suprapto sekitaran tahun 1980-an. Kala itu, Pemprov DKI memperbolehkan pihak swasta untuk berinvestasi di taman sari.
Saat ini, kata Raya, tak semua lahan di THR Lokasari dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lahan yang digunakan untuk pusat perbelanjaan dan hiburan, hotel, restoran, pusat hiburan malam, hingga griya pijat menjadi aset milik PT Gemini Sinar Perkasa. Lahan itu seluas 5.219 meter persegi. Adapun lahan lain seluas 9.924 meter persegi digunakan oleh pengusaha-pengusaha perseorangan.
Sejumlah PKL mulai mendirikan tenda jualannya di sisi kanan kiri trotoar. Kendaraan roda dua mulai berseliweran membawa wanita dan gadis gadis bercelana pendek dan rok mini. Beberapa di antara gadis yang dibawa tak canggung sekalipun berpakaian cukup terbuka, dengan rambut yang berwarna pirang, mata lelaki tergoda.
Para wanita ini kemudian menyebar ke sejumlah kawasan di sekitaran Mangga Besar Raya di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, seperti menuju diskotik Emporium di Pecenongan. Travel Connection di Mangga Besar VIII, diskotik Exotic di ujung jalan Mangga Besar Raya menuju jalan Gunung Sahari, dan kawasan Lokasari di tengah Jalan Mangga Besar.
Lokasari sendiri merupakan tempat tersohor akan prostitusi dan gemerlapnya kawasan Mangga Besar. Nama Lokasari kian tersohor lantaran beberapa pengusaha hiburan sempat menjadi tempat ini sebagai bisnis pertama, seperti Alexis Group, Raja Mas Grup, dan nama lainnya.
“Dahulu tempat ini cukup ramai, banyak diskotek, banyak orang datang, cewek-ceweknya cukup banyak,” ucap Yatno (47) salah satu pedagang di kawasan itu sat ditemui SINDOnews.
Yatno sendiri sudah 20 tahun lebih berada di kawasan Lokasari. Ia cukup mengenal luar dalam kawasan ini, hingga beberapa nama tempat diskotek lainnya.
Sepengamatan SINDO, wanita di Taman Sari ini tampak tak canggung menggunakan pakaian cukup minim. Mereka memasuki kawasan Lokasari Square hingga beberapa kios-kios baju yang berada di depannya, dan disamping Newton.
Meskipun diskotik Mille’s sudah ditutup oleh Pemprov DKI Jakarta tahun 2016 lalu, namun nama besar Lokasari tetap tak terganggu. Sebab disana masih ada Newton Eksekutif dan Olympic yang merupakan kawasan karaoke dan pub.
Meskipun di dua tempat itu, termasuk Mille’s disediakan wanita wanita pemandu lagu, namun tak mengganggu para wanita prostitusi lainnya. Para mucikari ini kemudian menyebar di sekitar pintu masuk Lokasari, seperti dekat KFC dan kios-kios depan.
Di sana mereka dengan siaga menyediakan wanita pekerja lepas yang dibawa membawa mobil-mobil. “Untuk lima jam harganya Rp750 ribu,” tutur Jampang (35) salah satu mucikari.
Panti Pijat
Sebelum berdagang baju baju wanita di kios THR Lokasari, Yatno merupakan remaja kampung yang lugu. Pria asal Lumajang, Jawa Tengah ini kemudian pergi dan nekat merantau ke Jakarta periode 90 an sebelum krisis moneter 97. Berbekal pengetahuannya mengotak-atik motor, Yatno kemudian bekerja sebagai montir di salah satu bengkel di Krukut.
Disaat weekend, usai kerja Yatno kemudian pergi bersama beberapa temannya ke Lokasari. Disinilah seringkali mabuk hingga pagi, menyisir sejumlah tempat diskotek. “Paling sering ke Pujasera,” tuturnya.
Perkenalannya dengan seorang mucikari di salah satu diskotek ‘To Day Country’ membuat dirinya terjun ke dunia malam. Oleh pria bernama Encep itu, Yatno kemudian membawa sejumlah gadis-gadis ABG dengan bayaran Rp25 ribu setiap gadisnya. “Jaman segitu (tahun 1997) sudah bisa beli empat bungkus rokok,” ucapnya terkekeh.
Kini diskotek di Lokasari mulai punah, ruko-ruko berlantai tiga dan empat tak lagi memutarkan dentuman musik disko, para pemilik yang telah memiliki banyak uang kemudian memasarkan tempatnya ke luar kawasan Mangga Besar. Ada yang membuka di Hayam Wuruk, Gajah Mada, Pecenongan hingga kawasan Kota Tua.
Meski demikian praktik jual beli wanita tak hilang begitu saja, pemilik baru kemudian berdatangan membuka praktik praktik pijat di tempat itu. Mereka kemudian membawa yang lebih muda dan membuang wanita yang tua. Lokasari tetap hidup dan lebih menjanjikan.
Pengelola Taman Hiburan Rakyat (THR) lokasari, Raya Siahaan saat ditemui SINDO menjelang penutupan diskotek Milles mengakui akan keberadaan bisnis esek-esek di Lokasari. Bahkan dirinya mengatakan bisnis ini menyumbang retribusi dan pajak bagi daerah. "Yang penting ada izin retribusi dan pajak," ucap Raya kala itu.
Raya sendiri mengungkapkan perubahan kawasan dari taman hiburan menjadi indekos dan bisnis pijat plus-plus di Lokasari terjadi saat kepemimpinan Gubernur DKI, R Suprapto sekitaran tahun 1980-an. Kala itu, Pemprov DKI memperbolehkan pihak swasta untuk berinvestasi di taman sari.
Saat ini, kata Raya, tak semua lahan di THR Lokasari dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lahan yang digunakan untuk pusat perbelanjaan dan hiburan, hotel, restoran, pusat hiburan malam, hingga griya pijat menjadi aset milik PT Gemini Sinar Perkasa. Lahan itu seluas 5.219 meter persegi. Adapun lahan lain seluas 9.924 meter persegi digunakan oleh pengusaha-pengusaha perseorangan.
(ysw)