Pengamat: Orang Menikmati Sosmed karena Memerankan Drama
A
A
A
DEPOK - Perceraian yang dipicu oleh sosial media (sosmed) di dunia bukanlah fenomena baru. Hal ini telah terjadi di Eropa dan Amerika sejak 2010. Dari sebuah studi menyebutkan bahwa sosmed menjadi pemicu perceraian sejumlah pasangan.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, di Inggris satu dari tiga kasus perceraian dipicu oleh sosmed. Hal ini menandakan efek global dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja. "Ini efek global. Karena di dunia pun terjadi hal serupa dan di Amerika ini telah terjadi sejak 2010. Artinya ini bukan fenomena baru," kata Devie pada SINDOnews Rabu (4/10/2017).
Devie menuturkan, ketika salah satu pasangan lebih fokus pada sosmed maka otomatis komunikasi dalam keluarga pun menjadi terbatas. Hal ini karena salah satu pasangan seolah hidup di dunia maya (sosmed) sehingga pasangan lainnya merasa diabaikan.
Bahkan, lanjut Devie, sebanyak 17% pasangan di Inggris kerap bertengkar yang pemicunya adalah karena sosmed. Sedangkan di Depok, banyak juga kasus perceraian dipicu karena sosmed.
"Ini menunjukkan bukan epidemik sosial di Indonesia saja tapi di negara lain juga. Hanya saja bergeser dari Eropa dan Amerika ke Indonesia," ujarnya.
Menurut dia, mengapa orang betah berlama-lama di sosmed adalah tak lain karena orang itu mendapatkan "kenikmatan" saat berkomunikasi di sosmed. Di mana seseorang bisa menjadi siapapun di sosmed.
"Mereka bisa bermain peran sesukanya karena apa yang tampak itu bukan yang sebenarnya," paparnya. Selain seperti bermain drama ketika "hidup" di sosmed, komunikasi yang dijalin di sosmed juga diidentifikasi sebagai hubungan palsu (shadow relation).
"Ketika mendapat pujian dari orang lain itu sangat dinikmati. Mengapa? Karena ini tidak menyentuh realita. Hal inilah yang menyebabkan orang lebih sering berkomunikasi di sosmed," paparnya.
Dia menyarankan agar tiap pasangan lebih menghargai perasaan pasangan masing-masing. Kemudian lebih bijak ketika hendak memposting apapun di sosmed. "Posisikan kalau itu adalah pasangannya. Bagaimana perasaannya kalau dirinya yang melihat pasangannya memposting hal seperti itu," ungkapnya.
Dia juga mencatat bahwa kuantitas seseorang berkomunikasi di sosmed juga bisa memicu pertengkaran. Karena pasangannya merasa diabaikan sehingga kepercayaan pun turun. Jika ini sudah terjadi maka akan timbul rasa curiga yang akhirnya membuat pasangannya terpaksa mengintai di sosmed juga.
"Maka alangkah bijaknya kalau menempatkan posisi pada pasangan Anda. Bagaiman rasanya jika Anda ada di posisi mereka. Kemudian harus saling terbuka dan memilili kesepakatan bahwa ketika sudah bersama pasangan maka kurangi berada di sosmed. Lalu lebih bijak sebelum memposting. Pikirkan bagaimana jika itu dilihat pasangan atau anak," tuturnya.
Devie menganalisa, ada tiga ciri orang yang sudah terjangkit sosmed. Yaitu, memeluk ponsel saat tidur. Biasanya, mereka sampai tertidur memegang ponsel.
Kedua, merasa bahagia ketika berada di medsos seperti Facebook. Ketiga, mengabaikan pasangan atau keluarga demi terus menerus berada di dunia maya. "Barat bukan hanya mengekspor teknologi, tetapi sekaligus menyebarkan epidemik sosial seperti rusaknya hubungan keluarga," paparnya.
Devie menuturkan, ada konsep sederhana dalam menjaga keharmonisan keluarga yaitu dengan 3M. Yaitu; Membicarakan tentang bagaimana mengelola sosial media di dalam keluarga. Kedua, memperhatikan pasangan saat bersama-sama.
Ketiga, menjaga kepercayaan yang sudah diberikan satu sama lain. "Jika itu dilakukan dan dijaga, maka keutuhan rumah tangga bisa diwujudkan," ucapnya.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, di Inggris satu dari tiga kasus perceraian dipicu oleh sosmed. Hal ini menandakan efek global dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja. "Ini efek global. Karena di dunia pun terjadi hal serupa dan di Amerika ini telah terjadi sejak 2010. Artinya ini bukan fenomena baru," kata Devie pada SINDOnews Rabu (4/10/2017).
Devie menuturkan, ketika salah satu pasangan lebih fokus pada sosmed maka otomatis komunikasi dalam keluarga pun menjadi terbatas. Hal ini karena salah satu pasangan seolah hidup di dunia maya (sosmed) sehingga pasangan lainnya merasa diabaikan.
Bahkan, lanjut Devie, sebanyak 17% pasangan di Inggris kerap bertengkar yang pemicunya adalah karena sosmed. Sedangkan di Depok, banyak juga kasus perceraian dipicu karena sosmed.
"Ini menunjukkan bukan epidemik sosial di Indonesia saja tapi di negara lain juga. Hanya saja bergeser dari Eropa dan Amerika ke Indonesia," ujarnya.
Menurut dia, mengapa orang betah berlama-lama di sosmed adalah tak lain karena orang itu mendapatkan "kenikmatan" saat berkomunikasi di sosmed. Di mana seseorang bisa menjadi siapapun di sosmed.
"Mereka bisa bermain peran sesukanya karena apa yang tampak itu bukan yang sebenarnya," paparnya. Selain seperti bermain drama ketika "hidup" di sosmed, komunikasi yang dijalin di sosmed juga diidentifikasi sebagai hubungan palsu (shadow relation).
"Ketika mendapat pujian dari orang lain itu sangat dinikmati. Mengapa? Karena ini tidak menyentuh realita. Hal inilah yang menyebabkan orang lebih sering berkomunikasi di sosmed," paparnya.
Dia menyarankan agar tiap pasangan lebih menghargai perasaan pasangan masing-masing. Kemudian lebih bijak ketika hendak memposting apapun di sosmed. "Posisikan kalau itu adalah pasangannya. Bagaimana perasaannya kalau dirinya yang melihat pasangannya memposting hal seperti itu," ungkapnya.
Dia juga mencatat bahwa kuantitas seseorang berkomunikasi di sosmed juga bisa memicu pertengkaran. Karena pasangannya merasa diabaikan sehingga kepercayaan pun turun. Jika ini sudah terjadi maka akan timbul rasa curiga yang akhirnya membuat pasangannya terpaksa mengintai di sosmed juga.
"Maka alangkah bijaknya kalau menempatkan posisi pada pasangan Anda. Bagaiman rasanya jika Anda ada di posisi mereka. Kemudian harus saling terbuka dan memilili kesepakatan bahwa ketika sudah bersama pasangan maka kurangi berada di sosmed. Lalu lebih bijak sebelum memposting. Pikirkan bagaimana jika itu dilihat pasangan atau anak," tuturnya.
Devie menganalisa, ada tiga ciri orang yang sudah terjangkit sosmed. Yaitu, memeluk ponsel saat tidur. Biasanya, mereka sampai tertidur memegang ponsel.
Kedua, merasa bahagia ketika berada di medsos seperti Facebook. Ketiga, mengabaikan pasangan atau keluarga demi terus menerus berada di dunia maya. "Barat bukan hanya mengekspor teknologi, tetapi sekaligus menyebarkan epidemik sosial seperti rusaknya hubungan keluarga," paparnya.
Devie menuturkan, ada konsep sederhana dalam menjaga keharmonisan keluarga yaitu dengan 3M. Yaitu; Membicarakan tentang bagaimana mengelola sosial media di dalam keluarga. Kedua, memperhatikan pasangan saat bersama-sama.
Ketiga, menjaga kepercayaan yang sudah diberikan satu sama lain. "Jika itu dilakukan dan dijaga, maka keutuhan rumah tangga bisa diwujudkan," ucapnya.
(whb)