YLBHI: Acara di LBH Bukan untuk Membangkitkan Komunisme
A
A
A
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menampik tuduhan yang menyebut acara seminar dan diskusi di kantor LBH Jakarta merupakan kegiatan untuk membangkitkan kembali PKI atau komunisme.
“Acara itu murni diskusi seputar sejarah tragedi kemanusiaan 1965,” ujar Ketua YLBHI Bidang Advokasi Muhammad Isnur, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2017).
Ia menyebutkan, apa yang terjadi pada seorang penari istana pada zaman Soekarno, yakni Ibu Nani, merupakan korban ketidakadilan. Wanita ini dituduh sebagai PKI hanya gara-gara pernah menari di hadapan Presiden Soekarno.
"Padahal dia simpatisan saja enggak. (Tahun 1965) Dia masih anak-anak, lalu dipenjara belasan tahun," kata Isnur.
Alhasil, lanjut dia, Nani dihukum tanpa melaui peradilan yang adil. Bahkan ia tak pernah mendapatkan rehabilitasi. "Dapat KTP saja susah sampai usia tua. Orang-orang seperti ini yang harus LBH dampingi. Negara harus punya perhatian pada mereka. Jangan hanya karena dituduh, hanya karena ada stigma terhadap mereka, padahal mereka tidak melakukan apa-apa," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Azriana menyebutkan, masyarakat terutama massa yang menggeruduk kantor LBH mestinya melihat nara sumber yang hadir sebagai korban. Namun sayangnya kelompok massa seperti terhasut isu PKI, sehingga tak lagi menggunakan akal sehat.
"Ini lansia-lansia, apa lagi yang bisa mereka lakukan. Mau bikin apa mereka, untuk berjalan saja mereka sulit," katanya.
Menurutnya, para penyintas itu tak layak dimintai pertanggungjawaban atas gerakan PKI pada 30 September 1965. Karenanya, pihaknya mengajak semua pihak untuk turut andil dalam pemulihan para korban tragedi kemanusiaan 1965 itu.
“Acara itu murni diskusi seputar sejarah tragedi kemanusiaan 1965,” ujar Ketua YLBHI Bidang Advokasi Muhammad Isnur, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2017).
Ia menyebutkan, apa yang terjadi pada seorang penari istana pada zaman Soekarno, yakni Ibu Nani, merupakan korban ketidakadilan. Wanita ini dituduh sebagai PKI hanya gara-gara pernah menari di hadapan Presiden Soekarno.
"Padahal dia simpatisan saja enggak. (Tahun 1965) Dia masih anak-anak, lalu dipenjara belasan tahun," kata Isnur.
Alhasil, lanjut dia, Nani dihukum tanpa melaui peradilan yang adil. Bahkan ia tak pernah mendapatkan rehabilitasi. "Dapat KTP saja susah sampai usia tua. Orang-orang seperti ini yang harus LBH dampingi. Negara harus punya perhatian pada mereka. Jangan hanya karena dituduh, hanya karena ada stigma terhadap mereka, padahal mereka tidak melakukan apa-apa," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Azriana menyebutkan, masyarakat terutama massa yang menggeruduk kantor LBH mestinya melihat nara sumber yang hadir sebagai korban. Namun sayangnya kelompok massa seperti terhasut isu PKI, sehingga tak lagi menggunakan akal sehat.
"Ini lansia-lansia, apa lagi yang bisa mereka lakukan. Mau bikin apa mereka, untuk berjalan saja mereka sulit," katanya.
Menurutnya, para penyintas itu tak layak dimintai pertanggungjawaban atas gerakan PKI pada 30 September 1965. Karenanya, pihaknya mengajak semua pihak untuk turut andil dalam pemulihan para korban tragedi kemanusiaan 1965 itu.
(thm)