Kemacetan Jakarta Makin Parah
A
A
A
JAKARTA - Nyaris tak ada ruang bernapas bagi pengendara di Jakarta. Terutama saat pagi dan sore hari, setiap jengkal jalanan ibu kota penuh sesak. Mendapatkan ruang tersisa demi sekadar untuk melajukan kendaraan dengan lancar adalah kemewahan.
Hariyanto, 37, menghela napas panjang. Di tepi jalan tak jauh dari sebuah gedung pencakar langit bilangan Jalan Sudirman, pekerja kantoran itu menggeliatkan tubuhnya. Diregangkan otot-otot tangan dan kakinya yang berasa kaku. Sudah menjadi pekerjaan tetapnya setiap pagi dia mengantar istri bekerja di kawasan bisnis tersibuk itu.
Dengan mengendarai sepeda motor dari Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Hariyanto harus menerabas jarak yang lumayan jauh. Bukan masalah seandainya jalanan lengang. Melintasi aspal ibu kota pada pagi hari adalah pekerjaan yang membutuhkan perjuangan dan kesabaran ekstra.
"Di perempatan Slipi hanya bisa melambat. Lewat jalan alternatif juga sama saja. Ketika di Karet Bivak, jangan tanya lagi kayak apa kemacetannya," katanya di Jakarta, kemarin.
Hariyanto menuturkan, ekor kemacetan di kawasan Karet Bivak bisa lebih dari dua kilometer atau sampai Bendungan Hilir. Kendaraan hanya sanggup melintas dengan kecepatan rata-rata 10-20 kilometer per jam.
Jika bisa memilih, dia mengaku tak ingin berjibaku dengan macet parah setiap hari. Namun, apa daya keadaan tak mungkin diubah. Sudah menjadi risiko bagi semua orang yang mengadu nasib di ibu kota untuk menghadapi situasi itu.
Tak peduli mereka yang berkendara mobil atau sepeda motor, para pekerja yang menumpang angkutan umum semacam bus dan angkutan kota pun harus menerima nasib pahit, berhadapan dengan macet dan polusi udara yang merajam paru-paru.
Pasrah dengan keadaan itu juga dilakoni Suyatno. Selama 10 tahun terakhir, pria asal Pamulang, Tangerang Selatan, itu menyaksikan bagaimana kawasan Jalan Tendean, Mampang, Jakarta Selatan, menjadi lautan kendaraan tiap pagi dan sore. Kemacetan itu kini semakin parah akibat pembangunan sejumlah proyek underpass.
Mampang tak ubahnya jalur neraka bagi banyak pengendara. "Mau bagaimana lagi, kantor saya di Tendean, rumah saya di pinggiran Jakarta. Kalau tak mau macet, ya harus berangkat pagi-pagi sekali. Akhirnya itu yang saya lakoni," kata pria yang bekerja di salah satu bank swasta ini. Tak bisa disangkal kemacetan adalah wajah Jakarta.
Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000 menyebutkan Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah (gridlock ) pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, tapi penelitian JICA mendekati realitas sesungguhnya.
Hasil studi produsen GPS, TomTom, pada jam-jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Tomtom Traffic Index 2017 menunjukkan waktu ekstra yang dibutuhkan pengemudi di Jakarta untuk sampai tujuan mencapai 58%, hanya lebih baik dari Bangkok 61% dan Mexico City 66%. Data Pemprov DKI Jakarta bahwa periode kemacetan parah antara pukul 06.30-09.00 WIB dan 16.30-19.30 WIB.
Rata-rata durasi kemacetan berlangsung antara 2,5-3 jam. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan pergerakan lalu lintas harian di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang semula mencapai 37,3 juta perjalanan per hari pada 2003 melonjak sekitar 58% atau mencapai 47,5 juta perjalanan per hari pada 2015.
Perjalanan itu didominasi sepeda motor dengan total pergerakan 75%, kendaraan pribadi 23%, dan moda transportasi umum 2%. Kemacetan hebat ini bukan perkara enteng. Dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus ditanggung Jakarta sangat besar. BPTJ memperkirakan kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta diperkirakan mencapai Rp9 triliun per tahun.
Bila polusi udara dan dampak lingkungan lainnya turut diperhitungkan, maka perhitungan kerugian membengkak hingga Rp26,5 triliun per tahun. Dampak sosial juga sangat memprihatinkan. Berhadapan dengan kemacetan parah bisa memicu frustrasi. Penelitian terbaru Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan persentase penderita stres di Jakarta sangat tinggi.
Hasil survei lembaga Regus pada 2015 menunjukkan pekerja di Indonesia semakin tertekan. Survei ini diteliti berdasarkan opini lebih dari 16.000 pekerja profesional di seluruh dunia, ditemukan lebih dari setengah pekerja di Indonesia (64%) mengatakan bahwa tingkatan stres mereka bertambah dibandingkan tahun lalu.
Menjadi pemandangan umum saat ini jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang pergi dari dan ke tempat kerja. Beban itu kian bertambah berat karena mereka juga harus menghadapi risiko kecelakaan dan aksi kriminalitas yang selalu membayangi. Jakarta tak disangkal selama ini menampilkan dua wajah.
Di satu sisi menawarkan kehidupan lebih baik dan berbagai kemewahan. Namun di sisi lain, menyajikan ancaman dan penderitaan tanpa henti. Kemacetan, kemiskinan, dan kriminalitas hanya salah satu sisi gelap ibu kota yang hingga kini tak pernah terselesaikan.
Belum lagi banjir dan prahara sosial. Jika sudah demikian, kota baru yang menawarkan berbagai keindahan, kenyamanan, dan kehidupan menyenangkan tanpa perlu dihantui beraneka rupa ancaman rasanya menjadi pilihan terbaik.
Hariyanto, 37, menghela napas panjang. Di tepi jalan tak jauh dari sebuah gedung pencakar langit bilangan Jalan Sudirman, pekerja kantoran itu menggeliatkan tubuhnya. Diregangkan otot-otot tangan dan kakinya yang berasa kaku. Sudah menjadi pekerjaan tetapnya setiap pagi dia mengantar istri bekerja di kawasan bisnis tersibuk itu.
Dengan mengendarai sepeda motor dari Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Hariyanto harus menerabas jarak yang lumayan jauh. Bukan masalah seandainya jalanan lengang. Melintasi aspal ibu kota pada pagi hari adalah pekerjaan yang membutuhkan perjuangan dan kesabaran ekstra.
"Di perempatan Slipi hanya bisa melambat. Lewat jalan alternatif juga sama saja. Ketika di Karet Bivak, jangan tanya lagi kayak apa kemacetannya," katanya di Jakarta, kemarin.
Hariyanto menuturkan, ekor kemacetan di kawasan Karet Bivak bisa lebih dari dua kilometer atau sampai Bendungan Hilir. Kendaraan hanya sanggup melintas dengan kecepatan rata-rata 10-20 kilometer per jam.
Jika bisa memilih, dia mengaku tak ingin berjibaku dengan macet parah setiap hari. Namun, apa daya keadaan tak mungkin diubah. Sudah menjadi risiko bagi semua orang yang mengadu nasib di ibu kota untuk menghadapi situasi itu.
Tak peduli mereka yang berkendara mobil atau sepeda motor, para pekerja yang menumpang angkutan umum semacam bus dan angkutan kota pun harus menerima nasib pahit, berhadapan dengan macet dan polusi udara yang merajam paru-paru.
Pasrah dengan keadaan itu juga dilakoni Suyatno. Selama 10 tahun terakhir, pria asal Pamulang, Tangerang Selatan, itu menyaksikan bagaimana kawasan Jalan Tendean, Mampang, Jakarta Selatan, menjadi lautan kendaraan tiap pagi dan sore. Kemacetan itu kini semakin parah akibat pembangunan sejumlah proyek underpass.
Mampang tak ubahnya jalur neraka bagi banyak pengendara. "Mau bagaimana lagi, kantor saya di Tendean, rumah saya di pinggiran Jakarta. Kalau tak mau macet, ya harus berangkat pagi-pagi sekali. Akhirnya itu yang saya lakoni," kata pria yang bekerja di salah satu bank swasta ini. Tak bisa disangkal kemacetan adalah wajah Jakarta.
Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000 menyebutkan Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah (gridlock ) pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, tapi penelitian JICA mendekati realitas sesungguhnya.
Hasil studi produsen GPS, TomTom, pada jam-jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah ketiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Tomtom Traffic Index 2017 menunjukkan waktu ekstra yang dibutuhkan pengemudi di Jakarta untuk sampai tujuan mencapai 58%, hanya lebih baik dari Bangkok 61% dan Mexico City 66%. Data Pemprov DKI Jakarta bahwa periode kemacetan parah antara pukul 06.30-09.00 WIB dan 16.30-19.30 WIB.
Rata-rata durasi kemacetan berlangsung antara 2,5-3 jam. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan pergerakan lalu lintas harian di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang semula mencapai 37,3 juta perjalanan per hari pada 2003 melonjak sekitar 58% atau mencapai 47,5 juta perjalanan per hari pada 2015.
Perjalanan itu didominasi sepeda motor dengan total pergerakan 75%, kendaraan pribadi 23%, dan moda transportasi umum 2%. Kemacetan hebat ini bukan perkara enteng. Dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus ditanggung Jakarta sangat besar. BPTJ memperkirakan kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta diperkirakan mencapai Rp9 triliun per tahun.
Bila polusi udara dan dampak lingkungan lainnya turut diperhitungkan, maka perhitungan kerugian membengkak hingga Rp26,5 triliun per tahun. Dampak sosial juga sangat memprihatinkan. Berhadapan dengan kemacetan parah bisa memicu frustrasi. Penelitian terbaru Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan persentase penderita stres di Jakarta sangat tinggi.
Hasil survei lembaga Regus pada 2015 menunjukkan pekerja di Indonesia semakin tertekan. Survei ini diteliti berdasarkan opini lebih dari 16.000 pekerja profesional di seluruh dunia, ditemukan lebih dari setengah pekerja di Indonesia (64%) mengatakan bahwa tingkatan stres mereka bertambah dibandingkan tahun lalu.
Menjadi pemandangan umum saat ini jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang pergi dari dan ke tempat kerja. Beban itu kian bertambah berat karena mereka juga harus menghadapi risiko kecelakaan dan aksi kriminalitas yang selalu membayangi. Jakarta tak disangkal selama ini menampilkan dua wajah.
Di satu sisi menawarkan kehidupan lebih baik dan berbagai kemewahan. Namun di sisi lain, menyajikan ancaman dan penderitaan tanpa henti. Kemacetan, kemiskinan, dan kriminalitas hanya salah satu sisi gelap ibu kota yang hingga kini tak pernah terselesaikan.
Belum lagi banjir dan prahara sosial. Jika sudah demikian, kota baru yang menawarkan berbagai keindahan, kenyamanan, dan kehidupan menyenangkan tanpa perlu dihantui beraneka rupa ancaman rasanya menjadi pilihan terbaik.
(maf)