Psikolog: Massa Pembakar Joya Dirasuki Dendam Frustasi dan Kecewa
A
A
A
JAKARTA - Kematian tragis Muhammad Al Zahra alias Joya (30), warga Cikarang yang dibakar hidup-hidup oleh massa karena dituduh mencuri amplifier atau pengeras suara di salah satu musalah di Kampung Muara Bakti RT 012/07, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, hingga kini masih sorotan publik. Sebab, belakangan diketahui korban diduga bukan pelaku pencurian tetapi sedang melaksanakan salat.
Psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai kasus ini tak lepas dari kondisi psikologis massa yang 'kurang sehat'. Ketika individu berada dalam satu kelompok maka mereka umumnya merasa lebih berani. Dalam kelompok identitas tersamarkan dan melebur sehingga orang yang biasanya tidak berani berbuat agresif menjadi lebih berani.
Aully menyebutkan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan massa bisa menjadi begitu sadis. Terlebih saat ini masyarakat relatif mudah terprovokasi karena kondisi psikologis yang 'kurang sehat', memiliki kekecewaan terpendam, frustrasi, dan lainnya. "Hal itulah yaang akhirnya mudah meledak saat ada pemicu," ujar perempuan yang akrab disapa Shinta, Minggu (6/8/2017).
Dalam kasus Joya ini, kata Shinta, korban seakan dijadikan sasaran kemarahan yang mungkin saja bukan karena penyebab utama yaitu tuduhan mencuri. Shinta melihat hal itu jutsru sebagai pelampiasan agresivitas atas kondisi psikologis massa. (Baca: Curahan Hati Istri Terduga Pencurian Amplifier yang Tewas Dibakar Massa)
Dalam kondisi chaos di dalam kerumunan maka orang tidak lagi berpikir jernih sehingga mengikuti apa yang diinginkan kelompok. Jadi, sulit bagi mereka untuk bisa berpikir logis, apalagi berpikir tentang hukum. "Setelah kembali menjadi individu di luar kelompok, barulah akan menyadari tindakannya, dan biasanya menyesal," tandasnya.
Ia juga melihat tindakan anarkistis tersebut dilihat sebagai indikasi skeptisnya masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Apalagi masyarakat saat ini disuguhkan pada banyaknya fenomena ketidakberadaan pihak berwenang untuk menyelesaikan berbagai kasus hukum.
Masyarakat juga sering dihadapkan pada kondisi lemahnya law enforcement atau penegakan hukum sehingga efek jera tidak dirasakan. Jadi, dorongan berperilaku agresif lebih mendominasi emosi ketimbang memikirkan cara penyelesaian yang baik-baik. "Situasi dan kondisi pada saat kejadian juga dapat mendorong kelompok untuk berbuaf agresif, bahkan membunuh," paparnya.
Menurut dia, apa yang terjadi pada Joya merupakan wujud pelampiasan dendam. Tetapi bukan dendam langsung pada korban. Dendam yang dimaksud adalah dendam frustasi dan kekecewaan karena kondisi tertentu.
“Korban menjadi sasaran atas dendam, frustrasi, agresivitas yang mungkin selama ini dipendam. Dendam frustrasi kecewa dan lainnya yang sifatnya pribadi per pribadi, sehingga mudah sekali terpantik saat ada sedikit saja pemicunya," pungkasnya.
Psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai kasus ini tak lepas dari kondisi psikologis massa yang 'kurang sehat'. Ketika individu berada dalam satu kelompok maka mereka umumnya merasa lebih berani. Dalam kelompok identitas tersamarkan dan melebur sehingga orang yang biasanya tidak berani berbuat agresif menjadi lebih berani.
Aully menyebutkan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan massa bisa menjadi begitu sadis. Terlebih saat ini masyarakat relatif mudah terprovokasi karena kondisi psikologis yang 'kurang sehat', memiliki kekecewaan terpendam, frustrasi, dan lainnya. "Hal itulah yaang akhirnya mudah meledak saat ada pemicu," ujar perempuan yang akrab disapa Shinta, Minggu (6/8/2017).
Dalam kasus Joya ini, kata Shinta, korban seakan dijadikan sasaran kemarahan yang mungkin saja bukan karena penyebab utama yaitu tuduhan mencuri. Shinta melihat hal itu jutsru sebagai pelampiasan agresivitas atas kondisi psikologis massa. (Baca: Curahan Hati Istri Terduga Pencurian Amplifier yang Tewas Dibakar Massa)
Dalam kondisi chaos di dalam kerumunan maka orang tidak lagi berpikir jernih sehingga mengikuti apa yang diinginkan kelompok. Jadi, sulit bagi mereka untuk bisa berpikir logis, apalagi berpikir tentang hukum. "Setelah kembali menjadi individu di luar kelompok, barulah akan menyadari tindakannya, dan biasanya menyesal," tandasnya.
Ia juga melihat tindakan anarkistis tersebut dilihat sebagai indikasi skeptisnya masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Apalagi masyarakat saat ini disuguhkan pada banyaknya fenomena ketidakberadaan pihak berwenang untuk menyelesaikan berbagai kasus hukum.
Masyarakat juga sering dihadapkan pada kondisi lemahnya law enforcement atau penegakan hukum sehingga efek jera tidak dirasakan. Jadi, dorongan berperilaku agresif lebih mendominasi emosi ketimbang memikirkan cara penyelesaian yang baik-baik. "Situasi dan kondisi pada saat kejadian juga dapat mendorong kelompok untuk berbuaf agresif, bahkan membunuh," paparnya.
Menurut dia, apa yang terjadi pada Joya merupakan wujud pelampiasan dendam. Tetapi bukan dendam langsung pada korban. Dendam yang dimaksud adalah dendam frustasi dan kekecewaan karena kondisi tertentu.
“Korban menjadi sasaran atas dendam, frustrasi, agresivitas yang mungkin selama ini dipendam. Dendam frustrasi kecewa dan lainnya yang sifatnya pribadi per pribadi, sehingga mudah sekali terpantik saat ada sedikit saja pemicunya," pungkasnya.
(thm)