Peradaban Betawi, Golok Memiliki Magnet Tersendiri
A
A
A
JAKARTA - Bagi masyarakat modern saat ini, golok merupakan senjata tajam yang memiliki fungsi beragam. Sayangnya golok mengarah pada kesan negatif lantaran kerap digunakan pelaku kejahatan untuk menakuti maupun melukai korbannya.
Namun bagi masyarakat Betawi, golok merupakan bagian dari peradaban masyarakat. Golok atau yang lebih dikenal sebagai bilah di masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang yang melekat di kehidupan sosial Betawi.
"Golok itu peradaban Betawi kuno, bukan senjata. Tapi sebagai alat kerja, harga diri, sekaligus aksesoris masyarakat Betawi," kata tokoh masyarakat betawi sekaligus sukarelawan, bersih-bersih kali di Jakarta, Babeh Idin Chaerudin, yang ditemui di Lebaran Betawi, Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemarin.
Menurutnya, golok di setiap daerah di Betawi memiliki ciri khasnya masing-masing sesuai dengan geografis daerahnya masing-masing. "Di daerah kita semua punya golok, sesuai dengan karakter daerahnya, seperti masyarakat Betawi di pegunungan, laut atau pantai. Tapi yang pasti itu bagian dari peradaban bangsa Indonesia," kata Idin.
Contohnya, kata dia, Golok Sorenan yang biasa dipakai masyarakat Betawi untuk pergi kondangan, golok ini menjadi salah satu aksesories. "Kemudian ada Golok Gapokan, Golok Gobang, Botak dan Pisau Raut, masing-masing punya fungsinya," jelas Idin.
Pria yang tinggal di bantaran Kali Pesanggrahan ini pun menyayangkan jika masyarakat saat ini jadi salah kaprah dengan penggunaan golok. Bahkan ekstrimnya mengarah pada perbuatan kejahatan.
"Masyarakt modern ini salah kaprah, disalah artiin jadi senjata tajam yang artiannya mengarah ke negatif," keluh Idin.
Padahal, kata dia, dalam masyarakat Betawi untuk mengeluarkan golok dari sarungnya saja ada pakem atau adabnya. "Nyabut golok itu enggak sembarang ada adabnya ada pakemnya, si penempanya saja kalau zaman dahulu itu dianggap orang suci. Kalau sekarang kan golok dibuat secara ekonomi, kalau dahulu enggak sembarang," tuturnya.
Bahkan untuk membeli atau membuat golok saja ada hitung-hitungannya. Pasalnya hal tersebut berkaitan dengan karakter si pemegang golok. "Jadinya beli atau buat golok itu enggak bisa sembarang. Karena golok itu membawa karakter si pemegangnya, ada magnetnya di golok," ujar Idin.
Babeh Idin melanjutkan, sebelum membeli atau membuat golok Betawi, si pemegang atau pemilik golok harus menghitungnya dengan ibu jari mulai dari pangkal sampai ke ujung.
Jika hitungan ibu jari tersebut berujung pada hitungan ibu jari, kata dia, maka pemilik golok bisa menjadi sosok pengayom. Jika hitungan berujung bapa, maka pemilik golok bisa menjadi pendekar atau jawara, pelindung dan pekerja keras bagi keluarganya.
"Panjangnya golok kalau diukur di bapa itu bagus, itu pekerja keras atau usaha, kalau ibu pengayom. Asal jangan itungan anak, karena kalau anak itu si pemilik bawaanya emosi jadi enggak baik, dia masih labih kaya anak muda," jelasnya.
Karenanya, untuk memiliki sebuah golok bagi masyarakat Betawi tentu tidak sembarangan karena golok memiliki magnet atau pembawaan karakter seseorang. "Golok itu membawa karakternya, ada magnet di golok dan di orangnya, kalau salah itungannya bisa timbul karakter tadi," jelasnya.
Namun bagi masyarakat Betawi, golok merupakan bagian dari peradaban masyarakat. Golok atau yang lebih dikenal sebagai bilah di masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang yang melekat di kehidupan sosial Betawi.
"Golok itu peradaban Betawi kuno, bukan senjata. Tapi sebagai alat kerja, harga diri, sekaligus aksesoris masyarakat Betawi," kata tokoh masyarakat betawi sekaligus sukarelawan, bersih-bersih kali di Jakarta, Babeh Idin Chaerudin, yang ditemui di Lebaran Betawi, Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemarin.
Menurutnya, golok di setiap daerah di Betawi memiliki ciri khasnya masing-masing sesuai dengan geografis daerahnya masing-masing. "Di daerah kita semua punya golok, sesuai dengan karakter daerahnya, seperti masyarakat Betawi di pegunungan, laut atau pantai. Tapi yang pasti itu bagian dari peradaban bangsa Indonesia," kata Idin.
Contohnya, kata dia, Golok Sorenan yang biasa dipakai masyarakat Betawi untuk pergi kondangan, golok ini menjadi salah satu aksesories. "Kemudian ada Golok Gapokan, Golok Gobang, Botak dan Pisau Raut, masing-masing punya fungsinya," jelas Idin.
Pria yang tinggal di bantaran Kali Pesanggrahan ini pun menyayangkan jika masyarakat saat ini jadi salah kaprah dengan penggunaan golok. Bahkan ekstrimnya mengarah pada perbuatan kejahatan.
"Masyarakt modern ini salah kaprah, disalah artiin jadi senjata tajam yang artiannya mengarah ke negatif," keluh Idin.
Padahal, kata dia, dalam masyarakat Betawi untuk mengeluarkan golok dari sarungnya saja ada pakem atau adabnya. "Nyabut golok itu enggak sembarang ada adabnya ada pakemnya, si penempanya saja kalau zaman dahulu itu dianggap orang suci. Kalau sekarang kan golok dibuat secara ekonomi, kalau dahulu enggak sembarang," tuturnya.
Bahkan untuk membeli atau membuat golok saja ada hitung-hitungannya. Pasalnya hal tersebut berkaitan dengan karakter si pemegang golok. "Jadinya beli atau buat golok itu enggak bisa sembarang. Karena golok itu membawa karakter si pemegangnya, ada magnetnya di golok," ujar Idin.
Babeh Idin melanjutkan, sebelum membeli atau membuat golok Betawi, si pemegang atau pemilik golok harus menghitungnya dengan ibu jari mulai dari pangkal sampai ke ujung.
Jika hitungan ibu jari tersebut berujung pada hitungan ibu jari, kata dia, maka pemilik golok bisa menjadi sosok pengayom. Jika hitungan berujung bapa, maka pemilik golok bisa menjadi pendekar atau jawara, pelindung dan pekerja keras bagi keluarganya.
"Panjangnya golok kalau diukur di bapa itu bagus, itu pekerja keras atau usaha, kalau ibu pengayom. Asal jangan itungan anak, karena kalau anak itu si pemilik bawaanya emosi jadi enggak baik, dia masih labih kaya anak muda," jelasnya.
Karenanya, untuk memiliki sebuah golok bagi masyarakat Betawi tentu tidak sembarangan karena golok memiliki magnet atau pembawaan karakter seseorang. "Golok itu membawa karakternya, ada magnet di golok dan di orangnya, kalau salah itungannya bisa timbul karakter tadi," jelasnya.
(mhd)