DKI Diminta Batasi Kendaraan Pribadi untuk Efektifitas Simpang Susun Semanggi
A
A
A
JAKARTA - Proyek Pembangunan Simpang Susun Semanggi II masuk dalam tahap penyelesaian pekerjaan dan akan open traffic pada akhir bulan ini. Pemprov DKI diminta menyiapkan fasilitas pendukung jembatan agar tujuan mengurai kemacetan di kawasan Semanggi terwujud.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, keberhasilan keberadaan jembatan simpang susun Semanggi tergantung kepada pembatasan ketat penggunaan kendaraan pribadi yang masuk ke pusat kota.
Dia mencontohkan, misalnya dengan menerapkan ganjil genap secara konsisten atau segera diberlakukan Eletronik Road Pricing (ERP), dan mengalihkan warga ke penggunaan kendaraan angkutan massal yang nyaman serta memadai.
“Kalau mau efektif ya harus siapkan fasilitas pendukung jembatan tersebut. Batasi kendaraan pribadi dan alihkan ke kendaraan umum. Tapi yang paling penting, Semanggi harus punya sertifikat layak fungsi (SLF) dan harus diserahterimakan dahulu asetnya ke DKI,” kata Nirwono Joga, Selasa (4/7/2017).
Nirwono menjelaskan, pembangunan simpang susun semanggi itu menggunakan dana dan dikerjakan oleh perusahaan swasta dalam bentuk Koefensi Luas Bangunan (KLB).
Artinya, sebelum diujicobakan, simpang susun semanggi harus diserahterimakan ke Pemprov DKI berikut dengan SLF yang dikeluarkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPera) sebagai bukti bahwa jembatan semanggi sudah layak dan aman.
Kedepan, Nirwono menyarankan agar Pemprov DKI mengevaluasi penggunaan dana KLB atau
Corporate Sosial Responsibility (CSR) untuk pembangunan sarana publik seperti jalan, taman dan sebagainya.
Menurutnya, penggunaan dana tersebut menjadi pilihan terkahir Pemprov DKI dan harus dievaluasi.
Sebab, penggunaan air, listrik dan kemacetan akibat peninggian gedung perusahaan swasta sangat penting ke depannya dan tidak bisa dihitung rupiah.
“Penggunaan dana KLB itu tidak bisa menghitung total rupiah tinggi gedung yang dibangun lalu hasilnya digunakan untuk pembangunan kota Jakarta. Pikirkan dampak dari peninggian gedung ke depannya. Penggunaan dana KLB atau CSR itu harus dievaluasi lantaran pembangunan tidak berkelanjutan dan perawatanya juga tidak jelas,” tegasnya.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, keberhasilan keberadaan jembatan simpang susun Semanggi tergantung kepada pembatasan ketat penggunaan kendaraan pribadi yang masuk ke pusat kota.
Dia mencontohkan, misalnya dengan menerapkan ganjil genap secara konsisten atau segera diberlakukan Eletronik Road Pricing (ERP), dan mengalihkan warga ke penggunaan kendaraan angkutan massal yang nyaman serta memadai.
“Kalau mau efektif ya harus siapkan fasilitas pendukung jembatan tersebut. Batasi kendaraan pribadi dan alihkan ke kendaraan umum. Tapi yang paling penting, Semanggi harus punya sertifikat layak fungsi (SLF) dan harus diserahterimakan dahulu asetnya ke DKI,” kata Nirwono Joga, Selasa (4/7/2017).
Nirwono menjelaskan, pembangunan simpang susun semanggi itu menggunakan dana dan dikerjakan oleh perusahaan swasta dalam bentuk Koefensi Luas Bangunan (KLB).
Artinya, sebelum diujicobakan, simpang susun semanggi harus diserahterimakan ke Pemprov DKI berikut dengan SLF yang dikeluarkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPera) sebagai bukti bahwa jembatan semanggi sudah layak dan aman.
Kedepan, Nirwono menyarankan agar Pemprov DKI mengevaluasi penggunaan dana KLB atau
Corporate Sosial Responsibility (CSR) untuk pembangunan sarana publik seperti jalan, taman dan sebagainya.
Menurutnya, penggunaan dana tersebut menjadi pilihan terkahir Pemprov DKI dan harus dievaluasi.
Sebab, penggunaan air, listrik dan kemacetan akibat peninggian gedung perusahaan swasta sangat penting ke depannya dan tidak bisa dihitung rupiah.
“Penggunaan dana KLB itu tidak bisa menghitung total rupiah tinggi gedung yang dibangun lalu hasilnya digunakan untuk pembangunan kota Jakarta. Pikirkan dampak dari peninggian gedung ke depannya. Penggunaan dana KLB atau CSR itu harus dievaluasi lantaran pembangunan tidak berkelanjutan dan perawatanya juga tidak jelas,” tegasnya.
(pur)