Elite Politik Diminta Jaga Kondusifitas Pascavonis Ahok
A
A
A
JAKARTA - Elite politik diminta untuk tidak memperkeruh keadaan di Ibu Kota Jakarta pascavonis Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 2 tahun penjara. Karena setelah putusan sidang kasus penistaan agama, muncul isu intoleransi dan radikalisme.
"Proses hukum di Indonesia ini seharusnya independen, karena yang berperkara itu Gubernur DKI (Ahok) memungkinkan terjadinya tafsir politik. Tafsir-tafsir politik ini yang menjadi dramaturgi yang mana efeknya dahsyat," ujar Pengamat Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (14/5/2017).
Menurutnya, dalam kasus tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berstatmen tak melakukan intervensi, langkah tersebut dianggap tepat sehingga proses hukum dalam kasus tersebut sudah bisa dikatakan independen. "Bahkan, pengadilan sudah mempersilakan banding bila tak terima hasil vonisnya, itu bukti hukum independen," tuturnya.
Namun, kata dia, di masyatakat malah berkembang isu-isu akan adanya gerakan intoleransi dan radikalisme yang mana isu tersebut sejatinya diproduksi oleh elite politik belaka demi mendapatkan kekuasaan. Maka itu, elite politik bertanggung jawab untuk menenangkan suasana pascasidang vonis kasus penistaan agama sehingga keadaan yang tak kondusif ini tidak berlarut-larut.
"Elite politik kedua kubu harus tanggung jawab untuk meredakan suasana. Publik pun harus merespon secara rasional isu-isu yang berkembang terkait ini. Biarkan proses hukum berjalan," jelasnya.
Selain dua isu tersebut, bebernya, ada pula isu pemisahan wilayah yang mana itu dianggap respon yang berlebihan. Isu tersebut muncul karena vonis kepada Ahok tak sesuai dengan keinginan elit politik tertentu, muncul gerakam sosial dan direspon publik dengan semangat perlawanan.
"Apapun putusannya, publik harusnya menerima. Sebab, tak ada korelasi hukum antara pemisahan wilayah dengan perkara Ahok, jangan karena kasus ini terjadi perpecahan, ini terlalu mahal," katanya.
"Proses hukum di Indonesia ini seharusnya independen, karena yang berperkara itu Gubernur DKI (Ahok) memungkinkan terjadinya tafsir politik. Tafsir-tafsir politik ini yang menjadi dramaturgi yang mana efeknya dahsyat," ujar Pengamat Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (14/5/2017).
Menurutnya, dalam kasus tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berstatmen tak melakukan intervensi, langkah tersebut dianggap tepat sehingga proses hukum dalam kasus tersebut sudah bisa dikatakan independen. "Bahkan, pengadilan sudah mempersilakan banding bila tak terima hasil vonisnya, itu bukti hukum independen," tuturnya.
Namun, kata dia, di masyatakat malah berkembang isu-isu akan adanya gerakan intoleransi dan radikalisme yang mana isu tersebut sejatinya diproduksi oleh elite politik belaka demi mendapatkan kekuasaan. Maka itu, elite politik bertanggung jawab untuk menenangkan suasana pascasidang vonis kasus penistaan agama sehingga keadaan yang tak kondusif ini tidak berlarut-larut.
"Elite politik kedua kubu harus tanggung jawab untuk meredakan suasana. Publik pun harus merespon secara rasional isu-isu yang berkembang terkait ini. Biarkan proses hukum berjalan," jelasnya.
Selain dua isu tersebut, bebernya, ada pula isu pemisahan wilayah yang mana itu dianggap respon yang berlebihan. Isu tersebut muncul karena vonis kepada Ahok tak sesuai dengan keinginan elit politik tertentu, muncul gerakam sosial dan direspon publik dengan semangat perlawanan.
"Apapun putusannya, publik harusnya menerima. Sebab, tak ada korelasi hukum antara pemisahan wilayah dengan perkara Ahok, jangan karena kasus ini terjadi perpecahan, ini terlalu mahal," katanya.
(mhd)