Dramatisasi SARA Bahayakan Negara

Sabtu, 13 Mei 2017 - 13:48 WIB
Dramatisasi SARA Bahayakan Negara
Dramatisasi SARA Bahayakan Negara
A A A
JAKARTA - Pro-kontra yang berkembang setelah vonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah berlebihan.

Bahkan, sejumlah aksi yang digelar di antaranya mendramatisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jika hal tersebut tidak dihentikan maka akan sangat membahayakan negara karena justru akan memperuncing konflik antarmasyarakat.

Peringatan ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir dan Ketua Umum DPP Perindo Hary Tanoesoedibjo atau HT. Hingga kemarin, pendukung Ahok yang tidak terima gubernur DKI Jakarta nonaktif divonis dua tahun penjara terus melakukan aksi, termasuk di Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Haedar menangkap adanya upaya menciptakan kesan seolah- olah kondisi sedang gawat. Dia menyebut, adanya pembangunan opini bahwa kemenangan Anies-Sandi sebagai momentum merebaknya radikalisme agama, intoleransi, dan ancaman terhadap kebinekaan, bahkan dianggap mekarnya politik primordialisme atau SARA. Di sisi lain, pasangan Ahok digambarkan mewakili kebinekaan, toleransi, moderat, dan rasionalitas. Maka ketika pasangan ini kalah, lalu muncul pandangan alarm atas keindonesiaan.

"Jika pendapat-pendapat negatif seperti ini terus diproduksi, boleh jadi malah akan terjadi saling berhadapan atau dihadap- hadapkan antar dua pihak warga bangsa yang berbeda. Mayoritas versus minoritas. Pemeluk agama satu dengan peneluk agama lain. Antara satu etnik dengan etnik lain. Antara kelompok radikal satu dengan radikal lain," kata Haedar.

Dia lantas mengajak semua pihak menghormati proses hukum yang berlangsung. Dalam pandangannya, setiap putusan pasti ada yang puas dan ada yang tidak puas.

"Hormati hukum, menahan diri, dan tidak terlibat aksi yang mengganggu kepentingan publik, dan kembali berbangsa dan bernegara dengan semangat perbedaan," ujar Haedar.

HT juga mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut ideologi Pancasila. Sebagai sebuah negara, Indonesia terdiri atas berbagai macam suku dan bahasa. Sebagai negara Pancasila, sudah seharusnya perdebatan yang berbau SARA dihentikan. "Mari satukan hati dan pikiran untuk persatuan dan kesatuan bangsa," tandas HT.

Sementara itu, Ketua ICMI Jimly Asshiddiqie mengajak semua pihak, khususnya tokoh maupun pejabat, untuk tidak menggunakan isu SARA dalam berargumen atau berkomunikasi publik. Menurut Jimly, tokoh ataupun pejabat memiliki posisi penting dan menjadi panutan untuk mengajarkan kepada masyarakat menghindari SARA dalam kehidupan seharihari.

"Karena para tokoh dan juga para pejabat publik jadi panutan, dan dengan harapan kita sedikit demi sedikit mengurangi isu SARA itu di dalam komunikasi publik," ujar Jimly.

Jimly prihatin dengan kondisi masyarakat saat ini yang semuanya larut dalam kepentingan kelompoknya masing-masing dan merasa seakan paling benar. Untuk itu, dia mengajak semua pihak harus mulai membuka diri dan saling mendengar. Hingga kemarin, aksi pendukung Ahok masih berlangsung di Jakarta dan sejumlah tempat di Tanah Air. Di Jakarta, misalnya, mereka kembali mendatangi Pengadilan Tinggi DKI. Bahkan, mereka nekat melewati batas toleransi aksi pukul 18.00 WIB.

"Sesuai aturan dan undang-undang, pukul 18.00 unjuk rasa harus berakhir. Mengimbau dengan tertib dan menghormati aturan berpendapat di muka umum,” ujar Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Suyudi Ario Seto kemarin.

Namun, upaya kepolisian membubarkan mereka tidak digubris. Massa pro Ahok bersikukuh meneruskan yang diarahkan agar Ahok dibebaskan. Akhirnya polisi kemudian menyemprotkan water cannon kearahmassa pendukung Ahok. Massa Ahok pun akhirnya berlarian menjauh. "Kalian telah melewati batas waktu. Jika tidak, kita akan tindak tegas," kata Suyudi.

Kendati demikian, mereka tidak serta-merta meninggalkan lokasi. Sebagian dari mereka masih bertahan dengan meneriakkan yel-yel mendukung Ahok.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4442 seconds (0.1#10.140)