Arswendo Mengakui Tak Ada Niat Menista Agama Diganjar 4 Tahun, Ahok?
A
A
A
JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan pasal penghinaan golongan Pasal 156 KUHP bukan Pasal 156a KUHP tentang penodaan terhadap agama.
Bahkan, atas perkataannya yang membawa Surah Al Maidah Ayat 51 di Kepulauan Seribu itu, Ahok hanya dituntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Menurut pengamat hukum pidana Teuku Nasrullah, alasan jaksa menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP lantaran mantan Bupati Belitung Timur itu tidak ada niat menodai agama.
Jika dibandingkan dengan kasus penodaan agama lainnya seperti Arswendo Atmowiloto, kata Nasrullah, juga tidak memiliki niat menodai agama. Namun, pada kenyataannya dia dinyatakan bersalah dan dihukum dengan Pasal 156a KUHP.
"Dulu beberapa kasus yang sama pelakunya tidak ada niat. Tapi tetap dihukum dengan 156a. Contohnya kasus Arswendo. Apakah Pak Asrwendo membuat polling itu menempatkan Nabi Muhammad di urutan kesebelas ada niat?" katanya, Sabtu (6/5/2017).
"Kalau dilihat waktu Arswendo diperiksa penyidik polisi namanya Aris Munandar, Arswendo terang-terangan mengatakan, tidak ada niat mengina Nabi Muhammad. Sama sekali tidak ada niat menghina ajaran Islam. Tapi, saat itu dihukum karena dianggap menjadi masalah ketertiban umum," lanjutnya.
Merujuk kepada tuntutan jaksa kepada Ahok, sambung Nasrullah, tidak memperhatikan dampak ketertiban umum, melainkan hanya adanya niat atau tidak Ahok menodai agama. "Kan sudah ada perubahan politik penegakan hukumnya. Nah, sekarang harus ada niat," katanya.
Sehingga, jika nantinya hakim menjatuhkan vonis kepada Ahok merujuk kepada Pasal 156 KUHP seperti tuntutan jaksa. Maka, setiap pelaku kasus penodaan agama yang menyatakan tidak ada niat menistakan agama harus direhabilitasi nama mereka.
"Kalau merujuk kepada niat, mereka yang sudah dihukum selama ini yang tidak punya niat sudah terjadi peradilan sesat dong. Oleh karena itu, kalau ada orang yang selama ini tidak ada niat menghina agama telah dihukum dengan Pasal 156a negara harus berlaku adil merehabilitasi nama mereka. Undang-undangnya belum berubah, jangan ada perlakukan tidak adil, harus seimbang," tukasnya.
Bahkan, atas perkataannya yang membawa Surah Al Maidah Ayat 51 di Kepulauan Seribu itu, Ahok hanya dituntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Menurut pengamat hukum pidana Teuku Nasrullah, alasan jaksa menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP lantaran mantan Bupati Belitung Timur itu tidak ada niat menodai agama.
Jika dibandingkan dengan kasus penodaan agama lainnya seperti Arswendo Atmowiloto, kata Nasrullah, juga tidak memiliki niat menodai agama. Namun, pada kenyataannya dia dinyatakan bersalah dan dihukum dengan Pasal 156a KUHP.
"Dulu beberapa kasus yang sama pelakunya tidak ada niat. Tapi tetap dihukum dengan 156a. Contohnya kasus Arswendo. Apakah Pak Asrwendo membuat polling itu menempatkan Nabi Muhammad di urutan kesebelas ada niat?" katanya, Sabtu (6/5/2017).
"Kalau dilihat waktu Arswendo diperiksa penyidik polisi namanya Aris Munandar, Arswendo terang-terangan mengatakan, tidak ada niat mengina Nabi Muhammad. Sama sekali tidak ada niat menghina ajaran Islam. Tapi, saat itu dihukum karena dianggap menjadi masalah ketertiban umum," lanjutnya.
Merujuk kepada tuntutan jaksa kepada Ahok, sambung Nasrullah, tidak memperhatikan dampak ketertiban umum, melainkan hanya adanya niat atau tidak Ahok menodai agama. "Kan sudah ada perubahan politik penegakan hukumnya. Nah, sekarang harus ada niat," katanya.
Sehingga, jika nantinya hakim menjatuhkan vonis kepada Ahok merujuk kepada Pasal 156 KUHP seperti tuntutan jaksa. Maka, setiap pelaku kasus penodaan agama yang menyatakan tidak ada niat menistakan agama harus direhabilitasi nama mereka.
"Kalau merujuk kepada niat, mereka yang sudah dihukum selama ini yang tidak punya niat sudah terjadi peradilan sesat dong. Oleh karena itu, kalau ada orang yang selama ini tidak ada niat menghina agama telah dihukum dengan Pasal 156a negara harus berlaku adil merehabilitasi nama mereka. Undang-undangnya belum berubah, jangan ada perlakukan tidak adil, harus seimbang," tukasnya.
(pur)