Tuntutan JPU Tak Konsisten, GNPF MUI: Kejahatan Negara di Lembaga Peradilan

Kamis, 04 Mei 2017 - 10:37 WIB
Tuntutan JPU Tak Konsisten,...
Tuntutan JPU Tak Konsisten, GNPF MUI: Kejahatan Negara di Lembaga Peradilan
A A A
JAKARTA - Kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah memasuki tahap Final, pada pengadilan tingkat pertama. Vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta ini dijadwalkan akan dibacakan pada Selasa, 9 Mei 2017, di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.

Tim Kuasa Hukum GNPF-MUI, Kapitra Ampera menyebutkan, pada persidangan ke-20, Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Terdakwa dengan tuntutan yang debatable, yaitu melanggar ketentuan Pasal 156 KUHP dengan tuntutan Hukuman Penjara selama 1 Tahun dengan masa percobaan 2 Tahun.

"Tuntutan JPU ini seakan mengotori proses peradilan di Indonesia karena dirasa menciderai kepercayaan publik terhadap Penegakan Hukum yang adil," kata Kapitra kepada Sindonews, Kamis (4/5/2017).

Kapitra menambahkan, terdapat banyak kekeliruan besar yang dilakukan JPU dalam tuntutan Ahok tersebut. Pertama, Perkara Penodaan Agama ini diajukan ke Pengadilan atas perbuatan terdakwa yang membuat pernyataan di depan umum yang mengandung penodaan terhadap Kitab Suci umat Islam, yaitu Surat Al-Maidah ayat 51.

"Sangat jelas dan terang, kasus ini dilaporkan hingga dibawa ke pengadilan adalah karena pernyataan terdakwa yang menyatakan 'dibohongi pakai Al-Maidah 51' merupakan penodaan atau penistaan terhadap agama yang menimbulkan keresahan dan perpecahan di masyarakat," lanjut Kapitra.

Dia pun menilai, sejak awal hingga Persidangan, perkara ini diperiksa berkaitan dengan penodaan agama (Blasphemi), dengan begitu banyak bukti, saksi, dan ahli yang diajukan oleh JPU dengan kekuatan pembuktian yang mendukung dakwaan tentang penodaan agama sebagaimana ketentuan pasal 156a KUHP.

Kapitra menegaskan, menjadi tidak relevan, JPU malah menuntut Ahok dengan dakwaan alternatif kedua, yaitu pasal 156 KUHP tentang perbuatan menyatakan kebencian, permusuhan, penghinaan kepada golongan rakyat Indonesia.

"Tuntutan JPU yang tidak konsisten dengan pemeriksaan perkara merupakan suatu kejahatan negara di lembaga peradilan. Quod ad facta Nullum crimen majus est in obedientia (tak ada kejahatan yang paling besar dari pada ketidakpatuhan/inkonsistensi)," tegas Kapitra.

Tuntutan ini dirasa menghina nalar publik. Masyarakat telah paham, objek penodaan oleh terdakwa adalah agama, bukan golongan masyarakat tertentu. Sehingga, JPU seakan meletakkan tuntutan pada posisi yang lemah dan mudah dibantah.

"Tidak dijabarkan pula golongan mana yang dihina, dimusuhi, dibenci oleh terdakwa. Hal ini lantas menjadi celah bagi pembelaan Terdakwa dalam Pleidooi-nya," tutup Kapitra.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1341 seconds (0.1#10.140)