Masa Tenggang Angkutan Online Dinilai Tak Realistis

Senin, 03 April 2017 - 16:12 WIB
Masa Tenggang Angkutan Online Dinilai Tak Realistis
Masa Tenggang Angkutan Online Dinilai Tak Realistis
A A A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai masa tenggang pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 selama tiga bulan dinilai tidak realistis. Semestinya, masa tenggang itu memiliki waktu enam bulan.

‎Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri menyatakan, masih banyak keterbatasan yang dimiliki pemerintah dalam menerapkan aturan baru. Sehingga, masa tenggang yang diterapkan terlalu singkat.

‎"Idealnya mesti enam bulan," kata Hendri di Jakarta, Senin (3/4/2017).

Melihat hal itu, dia mengingatkan pemerintah, agar bijaksana dalam menyikapi kekurang yang ada, salah satunya fasilitas dan tempat pengujian kendaraan secara berkala (uji KIR) yang menjadi kewajiban.

Sebelumnya, Permenhub nomor 32 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek‎ mulai diterapkan 1 April lalu. Dalam aturan itu, Pemerintah menetapkan masa tenggang pemberlakuan aturan ini selama tiga bulan. Artinya, selama tiga bulan ke depan aturan baru tersebut belum akan berlaku, sehingga belum ada sanksi bagi mereka yang melanggar.

Ada 11 butir revisi dalam peraturan tersebut, namun empat di antaranya menjadi polemik. Keempat butir peraturan tersebut adalah kewajiban uji KIR, pengalihan kepemilikan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) taksi online dari pribadi menjadi badan hukum, penetapan tarif, serta penetapan kuota taksi online.

Melihat rentetan aturan itu, Febri menjelaskan, berbagai keterbatasan yang ada membuka peluang munculnya pungutan liar (pungli) dan praktik suap. Umumnya, pungli lahir dari buruknya fasilitas pelayanan publik serta rumitnya birokrasi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan tiga rekomendasi terkait penerapan Permenhub nomor 32. Pertama, KPPU meminta pemerintah menghapus batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional. Sebagai gantinya, pemerintah hanya mengatur batas atas tarif.

Ketua KPPU, Syarkawi Rauf menjelaskan, penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi industri taksi yang bermuara pada mahalnya tarif bagi konsumen, menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi, dan menjadi sumber inflasi.

"Regulasi batas atas dapat menjadi pelindung konsumen dari eksploitasi pelaku usaha taksi yang strukturnya oligopoli," jelasnya.

Kedua, KPPU menyarankan pemerintah tidak mengatur kuota taksi konvensional maupun online di suatu daerah dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Artinya, setiap pelaku usaha menyesuaikan jumlah armada sesuai kebutuhan konsumen. Pengaturan oleh pemerintah mengurangi persaingan merugikan konsumen.

Selain itu, diperlukan sebuah standar pelayanan minimal. Pemerintah harus mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan taksi dan tegas memberikan sanksi pencabutan izin operasi jika melanggar regulasi. Pengawasan super ketat ini menjaga kinerja operator taksi konvensional dan online untuk memenuhi standar pelayanan minimal.

Ketiga, Komisi menyarankan pemerintah menghapus kebijakan STNK taksi online atas nama badan hukum. Menurut Syarkawi, pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi sistem taksi online dengan badan hukum koperasi yang asetnya dimiliki anggota.

Pengalihan STNK kendaraan pribadi menjadi koperasi tidak sejalan dengan prinsip gotong royong dan Undang-Undang Koperasi.

Pola pengaturan STNK ini memberikan ruang bagi masyarakat yang ingin berusaha dalam industri taksi online sekaligus peluang mengembangkan pembagian ekonomi yang sangat besar dari taksi online dengan mengubah tatanan di mana pelaku perseorangan bisa masuk ke dalam industri.

"Tinggal pengawasannya yang harus sangat ketat agar sesuai regulasi yang pro persaingan usaha sehat," tutupnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4328 seconds (0.1#10.140)