Gerindra Sayangkan Sikap Polisi Soal Penangkapan Aktivis 313
A
A
A
JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Andre Rosiade, menyayangkan pihak kepolisian yang kembali melakukan penangkapan sejumlah aktivis jelang Aksi Bela Islam 313 atau Aksi 313 yang digelar Jumat 31 Maret lalu.
Dia menilai, penangkapan terhadap aktivis itu menunjukkan indikasi keberpihakan polisi terhadap permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Tindakan polisi menangkap sejumlah aktivis itu jelas indikasi ketidakadilan terhadap rakyat Indonesia. Demi satu orang penista agama, polisi mengorbankan tugas dan fungsinya sebagai alat negara," tegas Andre di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Andre mengungkapkan, institusi Polri saat ini terkesan makin kehilangan jati dirinya sebagai alat negara. Yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Yang ada, sambungnya, institusi Polri diduga mulai berubah menjadi bemper pemerintah. Polisi menangkap aktivis atas nama dugaan makar, padahal kegiatan ini ada parameter dan tolak ukurnya. Kalaupun ada, tentu TNI berada digaris terdepan menumpas kegiatan makar.
Polri, kata Andre, seharusnya menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan tidak membuat 'diskresi' dengan membela pemerintah atas nama penegakan hukum. Umat Islam yang bergerak dalam rangka menjaga Kebhinekaan, Pancasila dalam wadah NKRI dan meminta aparat penegak hukum menegakkan hukum justru dikriminalisasi atas nama makar.
"Umat Islam bermaksud menjaga Kebhinekaan, Pancasila, dan NKRI, meminta hukum dalam kasus dugaan penistaan agama ditegakkan. Kok malah ditangkap, dugaannya tidak main-main lagi, makar terhadap pemerintah, apa iya?" kata Andre.
"Jangan karena satu orang lalu mengorbankan segalanya, demi penista agama lalu rakyat dianggap angin lalu," sambung Andre.
Andre khawatir, umat Islam dan rakyat Indonesia umumnya bergerak dalam jumlah yang lebih besar jika aparat kepolisian terus mengambil sikap demikian. Dalam skala yang lebih besar, dia khawatir tingkat kepercayaan rakyat merembet ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Sementara, pemerintah tengah bekerja keras menciptakan pertumbuhan ekonomi dan mempercepat pembangunan infrastruktur menjadi terganggu karena kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok.
"Sulit dipisahkan, dahulu Presiden Jokowi berjanji demokrasi kita akan berkembang lebih baik ke depan. Nyatanya yang kritis karena melihat ada ketidakadilan dalam kasus Ahok malah dianggap makar lalu ditangkap," ucap Andre.
Selain pembelaan terhadap Ahok, mantan Presiden BEM Trisakti itu menyatakan, reklamasi di Pantai Utara Jakarta dan Sumber Waras sangat terang adanya pelanggaran. Namun aparat penegak hukum justru menyulitkan diri sendiri dengan tidak mengusutnya secara tuntas.
Terakhir, dia mengajak umat Islam dan warga Jakarta umumnya untuk mensukseskan Pilgub DKI Jakarta 2017 putaran kedua dengan memilih calon pemimpin yang pro terhadap pembangunan yang berkeadian. Untuk demokrasi ke depan yang lebih sehat, pilihan terbaik ada pada pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
"Jakarta miniatur Indonesia, dengan kemenangan di Jakarta kita akan kembalikan demokrasi yang sehat secara bertahap pada 2019 mendatang. Mengembalikan polisi sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan," kata Andre.
Dia menilai, penangkapan terhadap aktivis itu menunjukkan indikasi keberpihakan polisi terhadap permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Tindakan polisi menangkap sejumlah aktivis itu jelas indikasi ketidakadilan terhadap rakyat Indonesia. Demi satu orang penista agama, polisi mengorbankan tugas dan fungsinya sebagai alat negara," tegas Andre di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Andre mengungkapkan, institusi Polri saat ini terkesan makin kehilangan jati dirinya sebagai alat negara. Yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum.
Yang ada, sambungnya, institusi Polri diduga mulai berubah menjadi bemper pemerintah. Polisi menangkap aktivis atas nama dugaan makar, padahal kegiatan ini ada parameter dan tolak ukurnya. Kalaupun ada, tentu TNI berada digaris terdepan menumpas kegiatan makar.
Polri, kata Andre, seharusnya menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan tidak membuat 'diskresi' dengan membela pemerintah atas nama penegakan hukum. Umat Islam yang bergerak dalam rangka menjaga Kebhinekaan, Pancasila dalam wadah NKRI dan meminta aparat penegak hukum menegakkan hukum justru dikriminalisasi atas nama makar.
"Umat Islam bermaksud menjaga Kebhinekaan, Pancasila, dan NKRI, meminta hukum dalam kasus dugaan penistaan agama ditegakkan. Kok malah ditangkap, dugaannya tidak main-main lagi, makar terhadap pemerintah, apa iya?" kata Andre.
"Jangan karena satu orang lalu mengorbankan segalanya, demi penista agama lalu rakyat dianggap angin lalu," sambung Andre.
Andre khawatir, umat Islam dan rakyat Indonesia umumnya bergerak dalam jumlah yang lebih besar jika aparat kepolisian terus mengambil sikap demikian. Dalam skala yang lebih besar, dia khawatir tingkat kepercayaan rakyat merembet ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Sementara, pemerintah tengah bekerja keras menciptakan pertumbuhan ekonomi dan mempercepat pembangunan infrastruktur menjadi terganggu karena kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok.
"Sulit dipisahkan, dahulu Presiden Jokowi berjanji demokrasi kita akan berkembang lebih baik ke depan. Nyatanya yang kritis karena melihat ada ketidakadilan dalam kasus Ahok malah dianggap makar lalu ditangkap," ucap Andre.
Selain pembelaan terhadap Ahok, mantan Presiden BEM Trisakti itu menyatakan, reklamasi di Pantai Utara Jakarta dan Sumber Waras sangat terang adanya pelanggaran. Namun aparat penegak hukum justru menyulitkan diri sendiri dengan tidak mengusutnya secara tuntas.
Terakhir, dia mengajak umat Islam dan warga Jakarta umumnya untuk mensukseskan Pilgub DKI Jakarta 2017 putaran kedua dengan memilih calon pemimpin yang pro terhadap pembangunan yang berkeadian. Untuk demokrasi ke depan yang lebih sehat, pilihan terbaik ada pada pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
"Jakarta miniatur Indonesia, dengan kemenangan di Jakarta kita akan kembalikan demokrasi yang sehat secara bertahap pada 2019 mendatang. Mengembalikan polisi sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan," kata Andre.
(mhd)