Saksi Ahli Pidana Kubu Ahok Sebut Dakwaan JPU Prematur
A
A
A
JAKARTA - Saksi ahli hukum pidana dari Universitas Udayana yang dihadirkan terdakwa dugaan kasus penistaan agama Basuki T Purnama (Ahok) menyebut dakwaan yang ditujukan pada Ahok tidak tepat dan prematur.
Ahli pidana, I Gusti Ketut Ariawan mengatakan, alasan pertama, dua pasal yang didakwakan pada Ahok tidak tepat karena tidak menyangkut substansi kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok.
"Ada dua pasal alternatif yang dikenakan. Pertama pasal 156 jelas-jelas kasus penodaan hanya ditujukan bagi golongan dan bukan soal agama," ujarnya di Kementan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Menurutnya, pada dakwaan pasal alternatif yang lain adalah pasal 156a KUHP pun dinilai tak mengenai substansi. Sebab, berdasarkan sejarahnya pun pasal 156a KUHP digunakan untuk menghindari perpecahan.
"Pasal itu untuk menghindari hadirnya kepercayaan-kepercayaan baru di Indonesia pada masa itu (dikeluarkan pasal 156a KUHP). Jadi, dakwaannya tak jelas dan tak dapat diterima," tuturnya.
Sedang alasan kedua, kata Gusti, dakwaan dianggap prematur karena sejatinya, sebelum menyeret Ahok ke pengadilan, seharusnya ada tindakan preventif yang dilakukan pemerintah dengan mengenakan Undang-Undang nomor 1 PNPS tahun 1995.
Isinya, sebagai pejabat publik hendaknya mendapat teguran terlebih dahulu saat dia tersandung masalah tindak pidana. "Harusnya diselesaikan dengan ketentuan prosedur yang ada. Tapi ini tidak, langsung pakai hukum," katanya.
Ahli pidana, I Gusti Ketut Ariawan mengatakan, alasan pertama, dua pasal yang didakwakan pada Ahok tidak tepat karena tidak menyangkut substansi kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok.
"Ada dua pasal alternatif yang dikenakan. Pertama pasal 156 jelas-jelas kasus penodaan hanya ditujukan bagi golongan dan bukan soal agama," ujarnya di Kementan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Menurutnya, pada dakwaan pasal alternatif yang lain adalah pasal 156a KUHP pun dinilai tak mengenai substansi. Sebab, berdasarkan sejarahnya pun pasal 156a KUHP digunakan untuk menghindari perpecahan.
"Pasal itu untuk menghindari hadirnya kepercayaan-kepercayaan baru di Indonesia pada masa itu (dikeluarkan pasal 156a KUHP). Jadi, dakwaannya tak jelas dan tak dapat diterima," tuturnya.
Sedang alasan kedua, kata Gusti, dakwaan dianggap prematur karena sejatinya, sebelum menyeret Ahok ke pengadilan, seharusnya ada tindakan preventif yang dilakukan pemerintah dengan mengenakan Undang-Undang nomor 1 PNPS tahun 1995.
Isinya, sebagai pejabat publik hendaknya mendapat teguran terlebih dahulu saat dia tersandung masalah tindak pidana. "Harusnya diselesaikan dengan ketentuan prosedur yang ada. Tapi ini tidak, langsung pakai hukum," katanya.
(ysw)