Saksi Ahli: Memilih Pemimpin Berdasarkan Agama Akan Memperkuat Persatuan
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta pendapat saksi ahli kedua dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Yunahar Ilyas tentang apakah memilih pemimpin berdasarkan agama melanggar Konstitusi. Saksi pun menyatakan tidak, malah akan memperkuat kesatuan.
Menurut Yunahar, Indonesia bukanlah negara yang secara langsung berlandaskan hukum Al Quran maupun hadist. Namun, dalam kehidupan bernegara itu perlu meninggalkan keduanya. "Hanya perlu mengambil dari Al Quran dan Sunnah kemudian dijadikan konstitusi dan undang-undang," ujarnya di Auditorium Kementan, Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2017).
Dia lalu menjelaskan, tentang pemahaman PP Muhammadiyah yang menyatakan memilih pemimpin itu hak dan kewajiban umat Islam. Kewajiban, yakni memilih pemimpin itu sendiri, sementara hak mencakup kriteria seorang pemimpin yang dipilih.
"Menjadi hak dia untuk menentukan kriteria terbaik, apakah terbaik satu kampung, urusan dia, satu kampus urusan dia, satu etnis urusan dia, satu agama sepenuhnya urusan dia," Kata salah satu Ketua PP Muhammadiyah tersebut.
Dia mengungkapkan, apa yang dilarang menurut pemahaman PP Muhammadiyah itu ketika umat Islam meminta dibuatkan undang-undang yang melarang non muslim menjadi pemimpin. Dalam sistem demokrasi modern, memilih pemimpin itu berdasarkan primordialisme, baik itu primordialisme agama, etnis, partai atau alasan-alasan lain.
Dia menambahkan, ketika seseorang memilih pemimpin berdasarkan agamanya, maka dapat memperkuat kesatuan negara."Memilih berdasarkan agama tidak melanggar konstitusi dan memecah belah. Tapi secara langsung akan memperkuat negara kesatuan republik Indonesia," katanya.
Menurut Yunahar, Indonesia bukanlah negara yang secara langsung berlandaskan hukum Al Quran maupun hadist. Namun, dalam kehidupan bernegara itu perlu meninggalkan keduanya. "Hanya perlu mengambil dari Al Quran dan Sunnah kemudian dijadikan konstitusi dan undang-undang," ujarnya di Auditorium Kementan, Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2017).
Dia lalu menjelaskan, tentang pemahaman PP Muhammadiyah yang menyatakan memilih pemimpin itu hak dan kewajiban umat Islam. Kewajiban, yakni memilih pemimpin itu sendiri, sementara hak mencakup kriteria seorang pemimpin yang dipilih.
"Menjadi hak dia untuk menentukan kriteria terbaik, apakah terbaik satu kampung, urusan dia, satu kampus urusan dia, satu etnis urusan dia, satu agama sepenuhnya urusan dia," Kata salah satu Ketua PP Muhammadiyah tersebut.
Dia mengungkapkan, apa yang dilarang menurut pemahaman PP Muhammadiyah itu ketika umat Islam meminta dibuatkan undang-undang yang melarang non muslim menjadi pemimpin. Dalam sistem demokrasi modern, memilih pemimpin itu berdasarkan primordialisme, baik itu primordialisme agama, etnis, partai atau alasan-alasan lain.
Dia menambahkan, ketika seseorang memilih pemimpin berdasarkan agamanya, maka dapat memperkuat kesatuan negara."Memilih berdasarkan agama tidak melanggar konstitusi dan memecah belah. Tapi secara langsung akan memperkuat negara kesatuan republik Indonesia," katanya.
(pur)