Gelar Perkara Gagal, IPW Desak Reserse Disanksi
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) mendesak perlunya sanksi untuk pihak kepolisian yang gagal menjalankan tugas, khususnya bagian reserse. Hal itu untuk memberikan efek jera terhadap penyidik yang gagal menggelar perkara.
Presidium IPW Neta S Pane mengatakan, Profesionalisme penyidik akan menjadi tolak ukur dari institusi polri. Sebab, ujung tombak kepolisian berada di tangan reserse.
"Jangan sampai seperti kasus Jessica, saksi dan alat bukti tidak ada. Itu kegagalan reserse," kata Neta di Jakarta, Senin 9 Januari 2017.
Maka itu, dia meminta, perlu adanya sanksi untuk memberikan efek jera kepada penyidik. Propam dan Kompolnas mempunyai peran untuk mengusut, sehingga fungsi kontrol dapat menjadi maksimal, dengan demikian profesionalisme akan terus terbentuk. "Jangan terpaut pada pencitraan, kasus mau cepat beres. Tapi kedodoran," kata Neta.
Termasuk persoalan penggunaan seragam yang melekat seperti Turn Back Crime (TBC), menurut dia, itu tak sesuai dengan jiwa reserse. Karena, reserse itu hanya memiliki dua pakaian, yakni seragam dinas dan preman sipil.
Selain itu, reserse itu memiliki pekerjaan aktif, maupun tidak dideteksi pelaku kejahatan. Karena itu penggunaan pakaian harus berbentuk preman maupun sipil.
"Jadi tidak ada pakaiannya seperti (tulisan TBC) itu, dalam tugas kepolisian harusnya dilarang," tuturnya.
Selain itu juga, Neta melihat beberapa waktu terakhir, Polda Metro Jaya selalu mengedapankan pencitraan dan sikap arogansi dan tidak profesional. Hal itu kemudian menjadi catatan reserse.
Termasuk soal pencapaian tugas reserse yang kerap bercuap cuap di media. Penyidikan menjadi tak maksimal. Sebab, dalam hal ini juru bicara sudah memiliki tugas khusus yakni Kabid Humas.
"Harusnya kalau ada reserse yang cenderung lebay dan pencitraan harus ditegur kapolda ataupun kapolri," saran Neta.
Presidium IPW Neta S Pane mengatakan, Profesionalisme penyidik akan menjadi tolak ukur dari institusi polri. Sebab, ujung tombak kepolisian berada di tangan reserse.
"Jangan sampai seperti kasus Jessica, saksi dan alat bukti tidak ada. Itu kegagalan reserse," kata Neta di Jakarta, Senin 9 Januari 2017.
Maka itu, dia meminta, perlu adanya sanksi untuk memberikan efek jera kepada penyidik. Propam dan Kompolnas mempunyai peran untuk mengusut, sehingga fungsi kontrol dapat menjadi maksimal, dengan demikian profesionalisme akan terus terbentuk. "Jangan terpaut pada pencitraan, kasus mau cepat beres. Tapi kedodoran," kata Neta.
Termasuk persoalan penggunaan seragam yang melekat seperti Turn Back Crime (TBC), menurut dia, itu tak sesuai dengan jiwa reserse. Karena, reserse itu hanya memiliki dua pakaian, yakni seragam dinas dan preman sipil.
Selain itu, reserse itu memiliki pekerjaan aktif, maupun tidak dideteksi pelaku kejahatan. Karena itu penggunaan pakaian harus berbentuk preman maupun sipil.
"Jadi tidak ada pakaiannya seperti (tulisan TBC) itu, dalam tugas kepolisian harusnya dilarang," tuturnya.
Selain itu juga, Neta melihat beberapa waktu terakhir, Polda Metro Jaya selalu mengedapankan pencitraan dan sikap arogansi dan tidak profesional. Hal itu kemudian menjadi catatan reserse.
Termasuk soal pencapaian tugas reserse yang kerap bercuap cuap di media. Penyidikan menjadi tak maksimal. Sebab, dalam hal ini juru bicara sudah memiliki tugas khusus yakni Kabid Humas.
"Harusnya kalau ada reserse yang cenderung lebay dan pencitraan harus ditegur kapolda ataupun kapolri," saran Neta.
(mhd)